August 30, 2010

[SPECIAL] 62nd PRIMETIME EMMY AWARDS WINNERS


Pagelaran Emmy Awards 2010 baru saja selesai digelar beberapa jam yang lalu dan seperti halnya kebanyakan acara sejenis, tentu bukan perkara yang mudah untuk memuaskan semua pihak, pasti tetap akan ada kekecewaan. Namun satu hal yang pasti, Mad Men dan Modern Family yang meraih kategori tertinggi, Outstanding Drama and Comedy Series, memang sangat layak untuk menang. Para kritikus dan pecinta serial televisi telah sedari awal memprediksi kemenangan besar dari dua serial tersebut. Kemenangan Mad Men semakin memperpanjang rekornya sendiri karena ini adalah tahun ketiga dimana Mad Men mendapat gelar Outstanding Drama Series, sementara rekannya dari serial komedi, 30 Rock harus rela melepas gelarnya kepada pendatang baru, Modern Family. Hal serupa juga dialami oleh The Amazing Race yang gagal mempertahankan gelar sebagai Oustanding Reality Show - Competition untuk ke-8 kalinya demi Top Chef yang sebelumnya sudah tiga kali mendapat nominasi. Ini sekaligus mematahkan rekor The Amazing Race sebagai satu - satunya program yang memenangi kategori tersebut karena selama ini belum pernah ada program lain yang mengalahkan kedigdayaan The Amazing Race hingga tahun ini.

Peraih nominasi terbanyak untuk kategori serial, Glee, harus puas dengan empat piala saja untuk dibawa pulang, termasuk buat Jane Lynch atas aktingnya yang luar biasa sebagai Sue Sylvester dan sutradara Ryan Murphy. Jim Parsons secara mengejutkan mampu membuat pesaing terberatnya yang lebih dijagokan, Alec Baldwin, Tony Shalhoub dan Steve Carell, bertekuk lutut. Edie Falco merebut piala aktris komedi terbaik dari Tina Fey yang telah mengoleksi 3 piala dari kategori yang sama selama 3 tahun secara berurutan. Uniknya, Falco juga mengalami hal yang nyaris serupa dengan Fay dimana dirinya juga mengantongi 3 piala dari kategori drama berkat The Sopranos, namun tidak secara berurutan. Falco juga merupakan satu dari tiga artis yang pernah memenangkan piala aktor/aktris utama dari genre yang berbeda. Untuk kategori komedi, pemenang terbesar diraih oleh Modern Family dengan raihan 6 piala.

Kategori drama rupanya menyimpan kejutan yang lebih besar ketimbang kategori komedi meskipun Mad Men masih tetap mendominasi. Bryan Cranston dari Breaking Bad melanjutkan keperkasaannya dengan menghalangi aktor lain untuk mendapatkan gelar aktor utama terbaik. Kyra Sedgwick secara mengejutkan menyingkirkan Glenn Close dan January Jones, sedangkan penonton dibuat tercengang sekaligus bersorak sorai saat Archie Panjabi dinobatkan sebagai aktris pembantu terbaik mengalahkan para unggulan dari serial Mad Men. Kekecewaan melanda Lost saat serial ini tak berhasil membawa pulang satu pun piala baik dari sisi teknis maupun akting. Mungkin itu adalah kejutan terbesarnya. Saat pemirsa dan para kritikus menduga para juri akan berbaik hati memberi piala kepada musim terakhir Lost, ternyata yang ada justru sebaliknya.

Kemenangan terbesar diraih oleh miniseri The Pacific dengan 8 piala serta film televisi Temple Grandin yang menggondol 7 piala. Ini menjadikan HBO sebagai pemegang piala terbanyak di Emmy Awards kali ini dengan 25 piala disusul oleh ABC yang membawa pulang 18 piala. George Clooney sempat naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan khusus kemanusiaan atas kontribusinya yang besar terhadap beberapa aksi sosial.

Secara keseluruhan, Emmy Awards 2010 hadir dengan sangat memuaskan. Tidak hanya karena memberikan piala kepada yang layak, tetapi juga mengenai tampilan. Dipandu oleh Jimmy Fallon, pagelaran Emmy jauh dari kesan serius. Yang ada kalian justru akan dibuat tertawa secara terus menerus, belum ditambah dari para pengisi acara yang mampu mengimbangi kekocakan Fallon. Sejak menit pertama pun Emmy sudah menyuguhkan tontonan yang menyegarkan dengan parodi dari serial Glee yang dijamin membuat takjub sekaligus tertawa terpingkal - pingkal. Begitu lucu. Hiburan ini terus berlanjut hingga pertengahan acara, sayangnya begitu memasuki kategori miniseri, acara mulai berjalan membosankan. Rasa haru sempat muncul saat Jewel membawakan tembang "The Shape of You" untuk mengenang para artis dari serial TV yang telah meninggal. Setelah berjalan cukup membosankan, akhirnya penonton digiring menuju puncak acara dengan kemenangan Modern Family sebagai serial komedi terbaik. Congratulation!

Inilah beberapa pemenang Emmy Awards dari kategori utama di Primetime Emmy Awards :

Drama Series :

Outstanding Drama Series : Mad Men
Outstanding Lead Actor : Bryan Cranston (Breaking Bad)
Outstanding Lead Actress : Kyra Sedgwick (The Closer)
Outstanding Supporting Actor : Aaron Paul (Mad Men)
Outstanding Supporting Actress : Archie Panjabi (The Good Wife)
Outstanding Directing : Steve Shill (Dexter)
Outstanding Writing : Matthew Weiner & Erin Levy (Mad Men)
Outstanding Guest Actor : John Lithgow (Dexter)
Outstanding Guest Actress : Ann-Margret (Law & Orders : Special Victims Unit)

Comedy Series :

Outstanding Comedy Series : Modern Family
Outstanding Lead Actor : Jim Parsons (The Big Bang Theory)
Outstanding Lead Actress : Edie Falco (Nurse Jackie)
Outstanding Supporting Actor : Eric Stonestreet (Modern Family)
Outstanding Supporting Actress : Jane Lynch (Glee)
Outstanding Directing : Ryan Murphy (Glee)
Outstanding Writing : Steven Levitan & Christopher Lloyd (Modern Family)
Outstanding Guest Actor : Neil Patrick Harris (Glee)
Outstanding Guest Actress : Betty White (Saturday Night Live)

Outstanding Made for Television Movie : Temple Grandin
Outstanding Miniseries : The Pacific
Outstanding Lead Actor in a Miniseries or Movie : Al Pacino (You Don't Know Jack)
Outstanding Directing for a Miniseries, Movie or a Dramatic Special : Mick Jackson (Temple Grandin)
Outstanding Lead Actress in a Miniseries or Movie : Claire Danes (Temple Grandin)
Outstanding Writing for a Miniseries, Movie or a Dramatic Special : Adam Mazer (You Don't Know Jack)
Outstanding Supporting Actor in a Miniseries or a Movie : David Strathairn (Temple Grandin)
Outstanding Supporting Actress in a Miniseries or a Movie : Julia Ormond (Temple Grandin)
Outstanding Variety, Music or Comedy Special : The Daily With Jon Stewart
Outstanding Directing for a Variety, Music or Comedy Special : Bucky Gunts (Vancouver 2010: XXI Olympic Winter Games)
Outstanding Writing for a Variety, Music or Comedy Special : 63rd Tony Awards
Outstanding Reality Competition Program : Top Chef
Outstanding Reality Host : Jeff Probst (Survivor)
Outstanding Children's Program : Wizards of Waverly Place : The Movie

August 27, 2010

REVIEW : CATS & DOGS : THE REVENGE OF KITTY GALORE


Diggs (James Marsden), seekor anjing polisi, kembali dikandangkan setelah membuat kekacauan di tempat kejadian perkara. Belum sempat 'menikmati' dinginnya lantai kandang, Diggs keburu diculik oleh agen dari HQ. Dipecat dari kepolisian, Diggs justru mendapat tawaran dari Lou (Neil Patrick Harris) untuk menjadi agen di HQ dengan Butch (Nick Nolte) sebagai mentornya. Awalnya Diggs menolak, tapi mengetahui bahwa tugas pertamanya adalah mengejar seekor kucing, dia tak kuasa untuk menolaknya. Diggs dan Butch ditugaskan untuk menggagalkan rencana dari Kitty Galore (Bette Midler), mantan agen MEOWS yang menjadi jahat karena trauma masa lalu dengan majikannya. Kitty berencana untuk balas dendam ke semua anjing, manusia dan kucing di seluruh dunia dengan mengirimkan sinyal berbentuk suara yang bisa membuat anjing menjadi tak terkendali. Butch dan Diggs pun bekerjasama dengan seekor burung merpati yang memiliki banyak informasi mengenaik Kitty, Seamus (Katt Williams) dan seekor agen kucing dari MEOWS yang mempunyai misi yang sama dengan mereka, Catherine (Christina Applegate). Untuk pertama kalinya dalam sejarah, anjing dan kucing bekerjasama.


Cukup aneh sebenarnya mengapa sekuel Cats & Dogs baru dirilis 9 tahun sesudah film pertama tayang. Bahkan kemunculan Cats & Dogs : The Revenge of Kitty Galore juga tergolong mengejutkan karena sebelumnya Warner Bros. tak mengisyaratkan film ini akan dirilis dalam waktu dekat, seakan mereka sangat yakin bahwa Cats & Dogs 2 bakalan tetap laris di pasaran meskipun minim promo. Cats & Dogs memang bisa dibilang sukses saat pertama kali tayang 9 tahun lalu, namun tak cukup populer. Jadi keputusan Warner Bros. untuk melempar Cats & Dogs 2 di tengah gempuran film musim panas kelas berat dengan promo yang sangat minim sangatlah beresiko. Benar saja, walau sudah didukung tiket 3D yang harganya lebih mahal, nyatanya Cats & Dogs hanya mendapat sekitar $12 juta di pekan pertama penayangan, jauh berbeda dengan prekuelnya yang memperoleh $22 juta dalam periode yang sama. Muncul tiba - tiba, hilang tiba - tiba.

Tanpa menonton prekuelnya pun, penonton masih bisa mencerna jalan cerita dari Cats & Dogs : The Revenge of Kitty Galore. Saya sendiri sudah lupa bagaimana kisah dari film pendahulunya, yang saya ingat hanyalah adegan dimana keluarga Jeff Goldblum ditawan oleh sekelompok kucing dan tentu saja Mr. Tinkles (Sean Hayes) yang imut nan menggemaskan. Namun setidaknya masih ada yang bisa saya ingat dari film ringan tersebut, sementara untuk sekuelnya ini saya pesimis masih bisa mengingatnya sepuluh tahun ke depan. Selain pameran kucing - kucing imut, tak ada yang menyenangkan dari Cats & Dogs 2. Film ini begitu membosankan sehingga durasi 82 menit terasa panjang. Jelas sekali Brad Peyton mengincar penonton cilik sebagai target utamanya, tapi apa dia dan rombongan penulis skenario tidak memikirkan penonton dewasa yang menemani si penonton cilik ? Sekilas plotnya memang terlihat menarik dan menjanjikan, namun dalam eksekusinya menjadi mentah. Kisahnya begitu kekanakan dan konyol, humornya terasa garing dan alurnya tak enak untuk dinikmati.

Film dengan tokoh utama binatang yang bisa berbicara rupanya semakin mengesalkan saja untuk ditonton. Tengoklah Furry Vengeance, Beverly Hills Chihuahua dan Alvin & The Chipmunks 2 yang dibuat dengan ngawur tanpa peduli mutu cerita. Sialnya, Cats & Dogs 2 hanya memperpanjang daftar ini saja. Entah apa yang dilakukan oleh keempat penulis skenario saat sedang menggarap naskah film ini, namun yang jelas naskahnya begitu bobrok dan kacau. Penggunaan serombongan artis terkenal sebagai pengisi suara juga terkesan mubazir karena mereka tak sanggup menyelamatkan kualitas Cats & Dogs 2, hanya Sean Hayes yang lumayan saat menyuarakan Mr. Tinkles sementara sisanya tak jadi soal jika diganti oleh artis lain. Bagian paling mengerikan sesungguhnya adalah penipuan dan pemerasan yang dilakukan oleh Warner Bros. kepada para penonton dengan cara mengedarkan film ini dalam bentuk 3D. Bagaimana bisa mereka mengedarkan Cats & Dogs : The Revenge of Kitty Galore dalam bentuk RealD 3D dan Digital 3D sementara semua itu hanyalah omong kosong belaka ? Tak ada bedanya menyaksikan film ini dalam bentuk 2D atau 3D karena efeknya memang sama sekali tak terasa. Sungguh menggelikan. Malahan, film pendek 3D yang diputar sebelum Cats & Dogs : The Revenge of Kitty Galore yang melibatkan karakter favorit saya, Wile E. Coyote dan Road Runner, jauh lebih menghibur dan efek 3D-nya sangat terasa.

Nilai = 4/10 (Poor)

August 25, 2010

REVIEW : VAMPIRES SUCK


Jason Friedberg dan Aaron Seltzer rupanya konsisten sekali membuat film parodi untuk diedarkan setiap tahun. Terhitung mulai tahun 2006 film bikinan mereka hampir tak pernah absen menyambangi penonton di bioskop, terkecuali di tahun 2009 karena slot mereka diambil oleh Wayan Brothers yang nampaknya gerah melihat film parodi bikinan duo Jason & Aaron. Tak ada pesaing yang berarti, tahun ini mereka kembali ke layar lebar dan siap untuk meracuni penonton di seluruh dunia dengan karya terbaru mereka. Duo ini dikenal suka membuat parodi dari genre film yang tengah populer. Mengetahui bahwa genre horror remaja yang mengangkat vampire sebagai tokoh sentral sedang digandrungi penonton, maka kali ini mereka mencaplok genre ini untuk diobrak - abrik sedemikian rupa. Yang beruntung mendapat porsi terbanyak untuk dihancurkan tentu saja Twilight Saga, sementara serial televisi vampire yang populer seperti True Blood dan The Vampire Diaries hanya menjadi tempelan semata disini

Bagi yang sudah menyaksikan Twilight dan New Moon tentu tak akan kesulitan mengikuti jalan cerita Vampires Suck yang sebenarnya amburadul ini. Becca Crane (Jenn Proske) pindah ke sebuah kota kecil bernama Sporks untuk tinggal bersama ayahnya setelah sang ibu menjalin affair dengan Tiger Woods. Dengan cepat Becca berteman dengan beberapa siswa 'normal' di sekolah barunya, namun anehnya dia justru lebih tertarik kepada siswa misterius nan aneh yang gemar memakai bedak, Edward Sullen (Matt Lanter). Tak butuh waktu lama bagi Becca untuk akrab dengan Edward hingga kemudian jatuh cinta padanya. Bahkan saat mengetahui bahwa Edward adalah vampire, tak menyurutkan sedikit pun cintanya kepada Edward. Becca menjadi terobsesi kepada Edward hingga mengabaikan peringatan dari sahabat masa kecilnya, Jacob White (Chris Riggi), yang sebenarnya naksir Becca.


Berbeda dengan film parodi bikinan duo Jason & Aaron sebelumnya, Vampires Suck hanya memakai Twilight dan New Moon sebagai plot utama sehingga alurnya pun lebih terarah dan tidak meloncat kesana kemari. Namun sepertinya hanya sampai disini saja keunggulan Vampires Suck jika dibandingkan dengan Disaster Movie, Epic Movie atau Meet the Spartans karena sisanya tak jauh berbeda. Terlihat jelas bahwa duo ini hanya memanfaatkan ketenaran Twilight Saga sebagai mesin penghasil uang bagi mereka tanpa berusaha untuk membuat film secara serius. Jason & Aaron hanya copy paste naskah Twilight dan New Moon untuk kemudian disisipi beberapa tambahan adegan lebay dan konyol. Hasilnya ? tak usah ditanya. Bahkan sebelum dirusak oleh mereka, naskah dua film tersebut sejatinya sudah cukup memprihatinkan.

Entah selera humor saya yang buruk atau memang humor yang mereka ciptakan tak efektif sama sekali, tapi yang pasti sulit rasanya bagi saya untuk tersenyum apalagi tertawa terbahak - bahak disini. Perasaan muak dan mengira - ngira kapan film ini akan berakhir menemani saya sepanjang film. Jacob White tak berubah menjadi werewolf di Vampires Suck melainkan chihuahua, apakah kalian menganggap adegan ini lucu ? bagi saya, tidak sama sekali. Adegan tari gay yang melibatkan beberapa werewolf dengan iringan lagu "It's Raining Men" juga tak ampuh memancing tawa karena adegan yang serupa telah ditampilkan di The Comebacks dan Meet the Spartans. Ya, humor yang disodorkan oleh Jason & Aaron tak lebih dari pengulangan dari film parodi sebelumnya. Hampir tak ada humor yang segar disini. Kalaupun ada humor baru, justru menjadi garing, maksa atau malah melempem tak ada tenaga.

Akting dari para pemainnya pun tak jauh berbeda. Mereka tak lebih baik dari trio Robert Pattinson, Kristen Stewart dan Taylor Lautner yang bermain buruk di Twilight Saga. Akan tetapi usaha Jenn Proske untuk tampil semirip mungkin dengan Kristen Stewart sebagai Bella Swan cukup membuat saya kagum. Dari semua karakter di Vampires Suck, mungkin hanya Becca yang hampir mendekati aslinya. Hal ini kembali memunculkan pertanyaan di benak saya, "apakah akting Jenn Proske sedemikian hebatnya atau justru karakter Bella Swan sedemikian dangkalnya hingga semua aktris bisa menirukannya dengan baik ?" Tak penting kalian memilih yang mana karena saya sangat menyayangkan kemalasan Jason & Aaron untuk menciptakan komedi parodi yang bermutu. Parodi budaya populer Amerika yang dimunculkan di Vampires Suck hampir tak ada satupun yang berhasil, kecuali mengenai Jonas Brothers dan karakter Bella itu sendiri. Padahal jika ditangani dengan baik bukan tak mungkin menghasilkan film parodi yang segar semacam Airplane!, Hot Shots!, The Naked Gun atau setidaknya minimal menyamai kekonyolan Scary Movie. Saya tak akan terkejut jika di kemudian hari duo Jason & Aaron dinobatkan sebagai sutradara terburuk saat ini. Seorang Uwe Boll pun bisa terlihat bagaikan dewa jika disandingkan dengan mereka. Kemalasan mereka untuk menciptakan naskah dan film yang segar dan lucu serta hanya mengandalkan nama besar dari film yang mereka caplok untuk mengejar keuntungan bisa menjadikan boomerang bagi karir mereka suatu saat nanti.

Nilai = 3/10 (Troll)

August 24, 2010

REVIEW : EXAM

How far would you go to win the ultimate job ?

Delapan kandidat berbakat akhirnya mencapai tahapan akhir untuk mendapatkan sebuah posisi penting di sebuah perusahaan besar nan misterius. Untuk menggapainya, mereka harus melalui sebuah ujian dan diberi waktu 80 menit saja untuk mendapatkan jawaban. Ada tiga peraturan yang haram hukumnya dilanggar jika tidak ingin didiskualifikasi ; dilarang berbicara kepada pengawas ujian dan petugas keamanan, dilarang merusak kertas dan dilarang meninggalkan ruangan. Sepintas terlihat tak ada bedanya dengan ujian yang diberikan oleh perusahaan lain, kecuali tak ada pertanyaan dalam ujian ini. Ya, mereka hanya diberi secarik kertas kosong dan sebuah pensil saja. Bagaimana bisa mereka mendapatkan jawaban dalam waktu 80 menit jika tak ada pertanyaan ? Disitulah intinya. Mereka habiskan waktu untuk mencari pertanyaan, bukan jawaban. Saking depresinya, salah seorang peserta nekat menulis essai di atas kertas kosong tersebut yang ujung - ujungnya dia malah dinyatakan gagal karena telah dianggap merusak kertas. Akhirnya peserta yang tersisa pun memutuskan untuk bekerja sama demi mendapatkan pertanyaan. Didera perasaan stres, frustrasi dan kebingungan karena tak kunjung memperoleh pertanyaan seiring dengan sisa waktu yang terbatas, sifat asli dari para peserta pun bermunculan. Mereka rela melakukan apapun demi menyingkirkan lawan termasuk berbuat tidak manusiawi.


Sejak awal kemunculannya Exam langsung menarik perhatian saya karena plotnya yang mengundang rasa penasaran. Bayangkan jika kita sedang ujian dan tak ada pertanyaan apapun sementara kita dipaksa untuk mendapat satu jawaban jika ingin lolos. Ide cerita dari Stuart Hazeldine dan Gareth Unwin ini terbilang unik meski tak seratus persen orisinil karena banyak film sejenis yang memiliki ide cerita yang hampir mirip, misal Saw. Ya, Exam memiliki alur yang hampir sama dengan film sadis tersebut. Hanya saja tak ada adegan penyiksaan penuh darah disini, meskipun masih ditemui beberapa scene yang terbilang bikin miris. Bergenre psychological horror, Exam lebih menyoroti kepada perilaku karakternya. Penonton diajak untuk melakukan studi karakter. Apa yang akan dilakukan oleh sekelompok manusia saat mereka berada dalam kondisi yang penuh tekanan demi mendapatkan sesuatu yang mereka idamkan ? Akankah kita melakukan hal yang sama dengan mereka jika kita berada dalam posisi yang sama ?

Menonton Exam adalah salah satu pengalaman yang menyenangkan bagi saya apalagi saya memang menggemari film bergenre ini. Sepanjang film kita dibuat penasaran dengan pertanyaan misterius tersebut, tegang saat melihat para kontestan berusaha memecahkan pertanyaan tersebut dengan berbagai cara namun semuanya berujung pada kegagalan dan gemas melihat kelakuan beberapa kontestan yang egois dan tak tahu terima kasih. Emosi kita terus diaduk hingga film berakhir. Hazeldine dan Unwin juga menyisipkan sedikit twist di beberapa bagian agar penonton tetap bertahan sampai misteri terpecahkan. Cara ini memang perlu dilakukan mengingat untuk sebagian orang Exam bukanlah film yang menyenangkan, cenderung membosankan malah. Namun itu tak berlaku bagi saya karena saya selalu menemukan sisi menarik dari film ini. Dengan mengandalkan 10 karakter dan satu setting saja, diperlukan keahlian seorang penulis dan sutradara untuk menjaga tensi film sehingga tidak jatuh menjadi film yang membosankan. Untuk ukuran sutradara baru, Hazeldine tergolong berhasil . Dia mampu menghadirkan atmosfir yang pas dan menjaga ketegangan dengan sangat baik. Tak heran jika kemudian mendapat nominasi sebagai sutradara pendatang baru terbaik di BAFTA.

Akting dari para pemainnya pun terbilang menawan. Luke Mably tampil sangat menyebalkan sebagai White, Colin Salmon berhasil menghidupkan karakter pengawas ujian yang misterius, Adar Beck bermain bagus sebagai Dark yang cerdas dan tentu saja Jimi Mistry yang berakting cemerlang sebagai Brown yang sulit ditebak karakternya. Semua pemain memberi kontribusi yang baik kepada film. Gemma Chan yang tampil sebentar pun bermain apik. Sulit mencari cela dari departemen akting karena semuanya kompak bermain bagus. Pujian kembali dialamatkan kepada duo penulis yang memberi porsi akting berimbang kepada tiap pemain sehingga mereka bisa mengeksplor kemampuan akting mereka. Siapa sangka Luke Mably yang bermain tanpa kesan di Prince & Me bisa terlihat sangat menonjol disini ? Para pemain sanggup mengeluarkan emosinya dengan pas, tepat sasaran dan tidak overacting. Mereka berhasil menyatu dengan karakter mereka dan terlihat memang seperti sedang berada dalam tekanan. Sebagai informasi tambahan, karakter di Exam tidak memiliki nama. Mereka dipanggil sesuai dengan warna kulit dan ras mereka, terkesan rasis memang.

Sebenarnya Exam berpotensi menjadi film yang sukses karena film ini memiliki cukup banyak faktor penunjang seperti trailer dan desain poster yang menarik, premis cerita yang membuat penasaran dan penggarapan yang bagus. Namun sayangnya Exam menjadi produk gagal, bahkan hanya segelintir orang yang menyadari keberadaannya. Film buatan Inggris ini memang dilirik oleh distributor dari US untuk ditayangkan di wilayahnya, tapi percuma saja jika pada akhirnya cuma dirilis untuk konsumsi DVD. Betapa mengenaskannya. Konon kabarnya, film panjang pertama dari Stuart Hazeldine ini memang dibikin dengan bujet yang kecil sehingga maklum saja promonya tak kencang. Satu hal yang pasti, Exam sangat sayang untuk dilewatkan bagi kalian yang menggemari genre psychological horror. Exam adalah salah satu yang terbaik di tahun ini.

Nilai = 7/10

August 22, 2010

REVIEW : THE EXPENDABLES

Siapa yang tidak penasaran saat mengetahui sejumlah aktor ternama yang hidup di jalur action bekerjasama untuk sebuah film action yang menjanjikan hiburan yang menyenangkan dan dikomandoi oleh Sylvester Stallone ? Rasanya hampir semua pria dan para pecinta action bersemangat menantikan film tersebut. Menariknya lagi, proyek ambisius dari Sylvester Stallone tersebut didekasikan untuk genre action tahun 80-an yang penuh dengan ledakan, brutal, keras, menegangkan sekaligus menyenangkan tanpa peduli plot. Film berjudul The Expendables tersebut diramaikan oleh sejumlah bintang action yang memiliki basis fans yang cukup kuat, semisal Sylvester Stallone, Jet Li, Jason Statham, Dolph Lundgren, Mickey Rourke, Eric Roberts, Gary Daniels hingga penampilan cameo dari Bruce Willis dan Arnold Schwarzenegger. Menggiurkan, bukan ? Sayangnya Van Damme, Kurt Russell dan Steven Seagal menolak untuk bergabung, padahal dengan hadirnya mereka mungkin The Expendables bakal lebih terasa menyenangkan dan tentu saja komplit. Ah, sayang sekali. Bahkan aktor laga favorit saya semasa masa kecil semacam Mark Dacascos, Chuck Norris dan Michael Dudikoff juga tak hadir.

Telah ditekankan sebelumnya bahwa The Expendables bukanlah film action yang memiliki plot yang cerdas dan penting, kehadiran plot disini sendiri hanyalah sebagai pelengkap semata karena jualan utamanya tentu saja adegan penuh aksi dan ledakan. Plot dari The Expendables tak berbeda jauh dari film kelas B yang biasa kita saksikan lewat televisi swasta mengisahkan tentang The Expendables, kelompok tentara bayaran yang dipimpin oleh Barney Ross (Sylvester Stallone), yang mendapat tawaran dari seorang misterius bernama Church (Bruce Willis) untuk menggulingkan seorang diktator kejam yang berkuasa di Vilena, Jenderal Garza (David Zayas). Dapat ditebak, The Expendables pun terbang jauh ke Vilena untuk melaksanakan tugas mereka dan kemudian mengetahui bahwa sesungguhnya Garza berada di bawah perintah James Munroe (Eric Roberts), mantan agen CIA. Tak lengkap rasanya jika film garang seperti ini tak memiliki karakter pemanis, maka Sylvester Stallone pun menghadirkan dua wanita, Lacy (Charisma Carpenter) dan Sandra (Gisele Itie) sebagai penyedap mata.


Selama 103 menit, film yang menghabiskan biaya $82 juta ini menghadirkan sajian action tiada henti yang keras dan brutal khas tahun 80-an. Bagi para pecinta action terutama yang merindukan film action zaman itu akan dibuat bersorak sorai bergembira melihat para jagoan mereka bertarung melawan penjahat. Yang paling mengasyikkan tentu saja adegan akhir dimana The Expendables menghancurkan istana Vilena, penuh dengan tembakan, ledakan hingga pembantaian yang menjadikan The Expendables terasa sedikit seperti film slasher, haha. Tidak hanya pertarungan dengan senjata saja yang disuguhkan disini, mengingat ada nama Jet Li, tetapi juga menghadirkan seni bela diri kungfu yang menjadi keahlian dari Yin Yang (Jet Li). Bahkan Sylvester Stallone berbaik hati memberi Jet Li durasi yang cukup lama untuk memamerkan kemampuannya tersebut. Tidak begitu wah, tapi siapa yang peduli, karena Jet Li sudah jarang muncul di film sejenis dan para fans kadung kangen berat dengan aksi dari idolanya ini.

Selain Jet Li, kehadiran Bruce Willis dan Arnold Schwarzenegger sebagai cameo juga merupakan salah satu yang ditunggu. Meskipun hanya tampil dalam satu scene, namun pertemuan Willis, sang Terminator dan Rambo di gereja sangat memorable, dialog yang muncul disini pun cukup menggelitik terlebih saat Sly menyindir Arnold, secara spontan penonton dibuat tertawa terbahak - bahak. The Expendables memang tidak dilengkapi dengan naskah yang berbobot, tapi untungnya dialog yang hadir tidak cheesy banget, ada beberapa yang cukup cerdas dan menggelitik. Hal ini tentu tidak lepas dari kepiawaian Slvester Stallone dalam meracik skenario. Janggan anggap remeh Stallone dalam penulisan skenario, terbukti dia pernah mendapat nominasi Oscar di Rocky dan beberapa tulisan dia menghasilkan film yang bermutu. Sekali ini memang tak berhasil karena selain segelintir dialog cerdas tersebut, naskah The Expendables tergolong carut marut. Sly tidak memberi porsi yang berimbang bagi setiap aktor utama untuk berakting dan beberapa karakter kehadirannya terkesan dipaksakan, utamanya Sandra. Rasanya tanpa Sandra pun tak apa.

Memaksakan adanya drama di The Expendables justru merusak filmnya sendiri. Entahlah, tapi rasanya Stallone tak perlu memasukkan romansa dan drama penggugah emosi disini. Bukannya membuat The Expendables terlihat menawan, malah membuatnya menjadi semakin tak jelas. Mungkin maksud dari Stallone adalah ingin menunjukkan bahwa tentara bayaran juga manusia yang punya rasa dan hati, mengajak penonton bersimpati dan bergumam "So sweet", "keren" dan lain sebagainya saat Lee Christmas (Jason Statham) dan Barney mencoba menyelamatkan sang tambatan hati. Percayalah, itu sama sekali tak berhasil. Yang ada justru kebosanan total, menguap dan sibuk mengecek status Facebook atau Twitter saat adegan ini berlangsung. Seandainya Stallone menambah porsi komedi alih - alih drama romansa nan mendayu - dayu hasilnya mungkin saja lebih menarik. Adegan aksinya saja terkadang terlihat konyol, masa masih ditambah dengan drama tak menggigit yang menggelikan juga ? Ah, bung Stallone. Ada baiknya kalian menyaksikan film ini tanpa ekspektasi apapun sehingga The Expendables dapat lebih bisa dinikmati karena percayalah nama besar pemain dan kru bukanlah jaminan. Berharap banyak ke The Expendables hanya akan melahirkan kekecewaan dan perasaan tidak puas saja.

Nilai = 5/10

August 17, 2010

REVIEW : LAKE MUNGO


Alice Palmer (Talia Zucker) menghilang saat sedang piknik bersama keluarganya di sebuah bendungan di kota kecil Ararat, Australia. Keluarganya berasumsi Alice tenggelam saat sedang berenang bersama adiknya, Matthew (Martin Sharpe). Pencarian pun segera dilakukan oleh pihak kepolisian selama beberapa hari hingga akhirnya ditemukan sesosok mayat dengan kondisi tubuh yang rusak parah dan terlihat mengerikan. Pihak keluarga diminta untuk mengidentifikasi mayat tersebut, namun June Palmer (Rosie Traynor), sang ibu, menolak karena tidak ingin nantinya kondisi terakhir Alice terus terngiang di pikirannya. Ayah Alice, Russell Palmer (David Pledger), meyakini bahwa mayat tersebut adalah anaknya. Dengan diliputi perasaan duka yang mendalam dan rasa tidak percaya jika Alice telah tiada, pihak keluarga akhirnya mengubur Alice dan mulai merelakan kepergiannya. Namun Alice sendiri nampaknya tidak ingin meninggalkan keluarganya secepat itu. Beberapa hari berselang setelah kematian Alice, keluarga Palmer mulai merasakan berbagai peristiwa aneh yang membuat mereka merasa tidak nyaman begitu pula dengan penduduk setempat yang menemukan keganjilan - keganjilan dalam rekaman video atau hasil jepretan foto mereka. Mereka melihat sosok Alice. June Palmer mulai meragukan kematian anaknya, dia yakin Alice masih hidup. Dipicu oleh keraguan itulah, keluarga Palmer mulai menyelidiki kembali kematian Alice yang menuntun mereka ke sejumlah bukti yang menunjukkan siapa sebenarnya Alice.


Mengejutkan. Mungkin itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan Lake Mungo. Dibuat dengan bujet rendah dan minim promo, Lake Mungo mungkin tak akan diketahui keberadaannya oleh para pecinta film jikalau tak diputar di After Dark Horrorfest pada Januari lalu. Tak pernah terbayangkan bagi saya akan menemukan sebuah sajian horror yang sangat mencekam dari sebuah film indie buatan Australia ini. Dibuat dengan gaya dokumentasi digabung found footage, Lake Mungo terlihat begitu nyata didukung dengan rekaman video yang sengaja dibuat agak rusak dan blur dan foto yang terlihat sudah lama. Joel Anderson memaksa kita untuk percaya bahwa film yang kabarnya diangkat dari kisah nyata ini memang benar terjadi dan itu cukup ampuh bagi saya karena ada beberapa momen yang membuat saya ragu bahwa ini hanyalah sebuah film.

Menonton Lake Mungo tak ubahnya saat kita sedang menyaksikan acara dokumentasi di layar televisi yang kerap ditayangkan saat sore hari. Cara bertuturnya sama, wawancara dengan keluarga korban serta masyarakat setempat dan disisipi dengan potongan - potongan video yang mendukung cerita dari para narasumber. Hal inilah yang membedakannya dengan Paranormal Activity yang berjalan runtut sesuai dengan rekaman video, Lake Mungo hanya mengambil yang dirasa penting saja. Joel Anderson tergolong berhasil mengarahkan film ini, dia tahu kapan persisnya adegan menyeramkan ditampilkan. Tak ada adegan hantu narsis disini atau adegan bersimbah darah, Lake Mungo mengalir pelan tapi pasti. Anderson tidak menumpahkan semua misteri sekaligus di awal film, dia mengeluarkannya secara perlahan - lahan hingga menumpuk dan kemudian mencoba untuk menjawabnya serta sesekali ditaburi twist saat adegan dirasa mulai membosankan. Membuat kita terus penasaran mengikuti film ini hingga akhir. Memang Lake Mungo tak melulu menghadirkan adegan yang mencekam karena film ini pun tak sepenuhnya horror, porsi drama yang dimunculkan juga lumayan banyak. Bahkan drama yang dihadirkan pun tergolong efektif, saya berhasil merasakan bagaimana perasaan keluarga Palmer. Penonton berhasil dibuat simpati terhadap mereka sehingga lupa ini hanyalah sebuah film (atau bukan ?)

Joel Anderson punya sejumlah amunisi untuk membuat kita ketakutan saat menonton Lake Mungo. Adegan di awal serta tampilan mayat yang rusak sudah berhasil membuat bulu kuduk kita merinding, tapi itu belum semuanya. Cara yang dipakai oleh Joel Anderson untuk menakuti penonton tidak kampungan dan berlebihan, dia tahu persis bagaimana cara yang efektif. Nuansa sunyi nan gelap serta potongan - potongan video dan bukti foto merupakan cara yang ampuh untuk menakuti penonton. Jika itu masih belum cukup, tunggu hingga film berakhir karena ada satu scene yang sukses membuat saya loncat dari kursi. Saking menyeramkannya, membuat saya sempat tidak bisa memejamkan mata malam harinya. Pujian juga patut disematkan kepada para aktor - aktrisnya yang bermain sangat natural seakan mereka memang terlibat dalam peristiwa yang menggegerkan itu. Lake Mungo mungkin bukan film horror paling orisinil, tapi jelas merupakan yang terseram dari genre horror yang mengusung gaya mockumentary dan found footage, melebihi tingkat keseraman The Blair Witch Project sekalipun. Kabarnya Lake Mungo saat ini tengah dibuat versi remake-nya dan segera dirilis pada tahun 2011.

Nilai = 8/10
Jika kalian menganggap Paranormal Activity sudah cukup menyeramkan, you should try this one.

August 13, 2010

JADWAL RILIS DI INDONESIA


Indonesia termasuk negara yang belum menjalankan industri film secara teratur. Lihat saja betapa semrawutnya industri film di negara kita ini apalagi jika dibandingkan dengan tetangga sebelah seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Begitu sulit mencari data yang valid dan terpercaya mengenai hasil box office dan jadwal rilis suatu film. Untungnya beberapa pihak berbaik hati dengan membocorkan hasilnya kepada masyarakat luas, sementara produser film Indonesia cenderung tertutup mengenai hal ini. Bandingkan dengan negara tetangga dimana masyarakatnya bisa dengan mudah mengakses data box office dan jadwal rilis dengan mudah. Kapan ya Indonesia bisa seperti itu ? Hanya bisa berharap. Namun kali ini saya tidak akan membahas mengenai hal tersebut, melainkan akan memberi sedikit bocoran kepada kalian mengenai jadwal rilis film - film terbaru di Indonesia.

Berikut ini adalah film - film yang segera tayang di Indonesia dalam waktu dekat :

Vampires Suck (18 Agustus 2010)

Grown Ups (25 Agustus 2010)

Darah Garuda / Merah Putih II (9 September 2010)

Sang Pencerah (9 September 2010)

Resident Evil : Afterlife (TBA)

The Other Guys (22 September 2010)

Legend of the Guardians : The Owls of Ga'Hoole (29 September 2010)

Wall Street : Money Never Sleeps (1 Oktober 2010)

Eat Pray Love (13 Oktober 2010)

Paranormal Activity 2 (20 Oktober 2010)

The Social Network (27 Oktober 2010)

Takers (3 November 2010)

Easy A (3 November 2010)

Megamind (5 November 2010)

Harry Potter and the Deathly Hallows Part I (18 November 2010)



August 11, 2010

REVIEW : THE LAST AIRBENDER


Sejak pertama kali proyek ini diumumkan, saya sudah merasa tidak yakin akan hasilnya. Bukan karena diarahkan oleh M. Night Shyamalan yang belakangan film - filmnya flop, melainkan trauma akan film sejenis, Dragonball Evolution, masih membayangi benak saya. Saya pribadi termasuk penggemar karya - karya Shyamalan meskipun beberapa film terakhir dia dicaci maki oleh kritikus dan penonton, namun bagi saya film buatan dia cukup menghibur. Lantas bagaimana dengan The Last Airbender yang merupakan film non horror / thriller pertama dari Shyamalan ? Kepesimisan saya terhadap film ini semakin didukung oleh buruknya review yang diterima oleh The Last Airbender saat tayang di US. Kebetulan The Last Airbender tayang terlambat di negara kita sehingga saya punya banyak waktu untuk membaca ribuan kritikan yang mayoritas bernada negatif. Seburukkah itu filmnya ? Makin ciutlah hati saya dan sempat bimbang untuk tetap menontonnya di bioskop atau tidak.

Versi live action-nya ini diangkat berdasarkan musim pertama dari serial animasinya, Avatar : The Last Airbender, yang bertajuk Book One : Water. Dikisahkan Aang (Noah Ringer), sang pengendali udara yang belakangan diketahui identitasnya sebagai reinkarnasi dari Avatar, penyeimbang dari empat bangsa besar pengendali air, bumi, api dan udara, melarikan diri dari negaranya karena enggan menjadi Avatar yang nantinya berdampak pada dirinya yang tidak bisa lagi memiliki keluarga. Aang terjebak dalam es dan ditemukan oleh Katara (Nicola Peltz) dan Sokka (Jackson Rathbone). Selama Aang menghilang, ternyata bangsa pengendali api menguasai dunia dan berhasil melumpuhkan bangsa elemen yang lainnya, termasuk udara yang sukses diberanguskan hingga tak bersisa dengan harapan tak akan ada lagi reinkarnasi Avatar. Sementara itu, Zuko (Dev Patel) yang tengah diasingkan oleh ayahnya karena dianggap lemah, berusaha menangkap Aang agar statusnya sebagai pangeran diakui dan dia disegani oleh rakyatnya. Sepanjang sisa film kemudian bercerita mengenai petualangan Katara dan Sokka dalam menemani Aang untuk mempelajari tiga elemen lain ; air, api dan bumi, yang ternyata belum dikuasai oleh Aang untuk bisa menjadi Avatar dan bangsa Api / Zuko yang mengejar Aang.

Sebelumnya saya ingin beritahukan kepada kalian bahwa saya bukanlah fans dari Avatar : The Last Airbender dan hanya pernah menontonnya sesekali, jadi ulasan berikut tak akan membandingkan filmnya dengan versi serial animasinya. Saya menulis ulasan ini berdasarkan apa yang saya lihat dari kacamata seorang penggemar film, bukan fans serialnya. Menulis ulasan film ini sendiri cukup membingungkan bagi saya karena saya tidak tahu harus memulainya darimana. Satu hal yang pasti, saya tidak menemukan kenikmatan dan kepuasan saat menyaksikan The Last Airbender. Film ini sukses membuat saya merasa depresi, bosan, mual, pusing dan menyesal. Di awal film memang The Last Airbender cukup enak untuk dinikmati dan lumayan menjanjikan, namun menginjak pertengahan hingga akhir, penggarapannya malah semakin semrawut saja. Bahkan Dragonball Evolution masih lebih mending jika saya dipaksa untuk membandingkannya dengan film semenjana ini. Mengutip dari komentar yang biasa diucapkan oleh Simon Cowell, "terrible".

The Last Airbender buruk hampir di semua segi, utamanya dari kasting. Seakan pihak kasting asal comot peserta audisi tanpa mempertimbangkan kecocokannya dengan karakter yang hendak diperankan. Bisa dibilang, semua pemeran utama disini salah kasting. Yang paling aneh tentu saja dari segi wajah yang terlalu bule untuk karakter yang memiliki wajah sangat Asia. Entah atas dasar apa mereka memilih pemain dengan wajah untuk memerankan karakter yang berasal dari Asia, rasis kah ? rasanya tidak. Hanya Zuko yang sedikit cocok dengan gambaran. Itu berdasarkan kasting, lantas bagaimana dengan akting ? Jujur, mengenaskan. Noah, Nicola dan Jackson terasa sangat kaku dan tidak bisa mendalami peran mereka secara sempurna. Noah Ringer yang memiliki tanggung jawab terbesar sukses membuat saya menjadi kesal terhadap Aang alih - alih simpati. Tak masalah bagi saya jika Shyamalan memang berniat merubah karakterisasi Aang dari ceria menjadi pemuram, itu hak dia. Tapi akting Noah yang begitu buruk membuat saya gemas dan rasanya ingin saya timpuk dia dengan kacamata 3D yang mengesalkan pula. Dari sekian banyaknya bakat di Hollywood, tak adakah yang lebih baik dari dia ? Jika saya menjadi dia, mungkin saya sudah menangis saking malunya. Untunglah Dev Patel bermain cukup bagus sebagai Zuko, begitu pula dengan Shaun Toub yang berperan sebagai paman dari Zuko.

Special effect sepertinya menjadi andalan utama The Last Airbender. Berharap menyajikan adegan aksi yang spektakuler dan visualisasi yang menawan, saya kembali menelan pil pahit bernama kekecewaan. Memang ada satu dua scene yang lumayan keren, tapi secara keseluruhan tak ada yang baru, hanya pengulangan dari film sejenis. Adegan pertarungan di akhir film antara bangsa api dengan air mungkin yang paling cihuy dan terlihat digarap serius, namun sialnya baru muncul setelah kebosanan saya sudah mencapai ubun - ubun. Tetap terlihat menawan sih, cuma hasilnya akan beda jika di pertengahan juga disisipi sedikit pemanasan untuk membuat mata penonton menjadi melek. Untuk 3D, tak ada yang spesial. The Last Airbender tak ubahnya kebanyakan film Hollywood lain yang dengan pedenya memakai 3D namun penggarapan teknologi 3D-nya ala kadarnya, seperti hanya ingin mendapat keuntungan tambahan saja. Tak masalah bagi kalian untuk menontonnya dalam versi 2D karena tak ada perbedaan yang signifikan.

Mungkin The Last Airbender akan terlihat bagus bagi mereka yang tak mau ambil pusing soal teknis dan tetek bengek lainnya. Penonton cilik pun rasanya juga mudah menyukai tontonan semacam ini. Namun bagi saya The Last Airbender hanyalah film yang membuang - buang uang dan waktu secara percuma, bahkan saya menangisi hilangnya uang saya setelah film ini selesai. Rasanya tak tega uang makan untuk dua hari dibuang secara percuma untuk menonton The Last Airbender *meratapi perginya duit di pojokan ruangan* Baiklah, the life must go on. Saya tak bisa menyesali sesuatu yang telah terjadi. Intinya, The Last Airbender hanya membuat kepala saya pusing, perut saya mual dan merasa depresi selama di dalam gedung bioskop. Akting mengenaskan, special effect biasa saja, pengarahan yang semrawut, editing yang loncat sana loncat sini, chemistry yang anyep (baca : hambar), adegan romantis yang menggelikan, naskah yang penuh lubang hingga bloopers yang terlihat begitu jelas. Saya menikmati film ini hanya di paruh awal, tengah hingga akhir pikiran saya sudah diserap habis oleh Dementor yang mendadak nongol di depan saya.

nilai = 3/10. Tapi jika kalian ingin menggantinya dengan angka favorit kalian, silahkan saja, monggo, saya ikhlas kok. beneran. saya sudah terlalu depresi untuk memikirkan rating.



August 9, 2010

REVIEW : KILLERS

Killers merupakan film komedi romantis terbaru besutan Robert Luketic yang dirilis khusus untuk dikonsumsi sebagai hiburan di musim panas. Untuk memeriahkan suasana dan menarik minat penonton, maka dipasanglah dua idola Amerika, Katherine Heigl dan Ashton Kutcher, sebagai bintang utama di Killers. Ini merupakan kedua kalinya bagi Heigl untuk bekerjasama dengan Luketic setelah sebelumnya pernah diarahkan di The Ugly Truth yang cukup manis. Sebelum membuat Killers, Luketic sudah pernah menelurkan beberapa film yang kualitasnya bisa dibilang lumayan, semisal Win a Date with Tad Hamilton!, Monster in Law, Legally Blonde dan 21. Berbeda dengan film - film yang pernah diarahkan oleh Luketic sebelumnya, Killers akan mengusung genre action meski sajian utamanya tetaplah komedi romantis. Akankah reuni Luketic dan Heigl bisa menyajikan hiburan yang manis dan menghibur ?

Setelah diputus oleh kekasihnya, Jennifer Kornfeldt (Katherine Heigl) berwisata ke Nice, Prancis, bersama kedua orang tuanya. Tak butuh waktu lama bagi Jen untuk mengobati patah hatinya karena dia kemudian bertemu dengan seorang lelaki tampan bernama Spencer Aimes (Ashton Kutcher) dalam sebuah lift. Pertemuan tak sengaja ini ternyata membawa kesan manis bagi keduanya hingga mereka memutuskan untuk kencan di malam harinya. Liburan yang awalnya dikira bakal membosankan oleh Jen sontak menjadi sebuah liburan tak terlupakan setelah menghabiskan banyak waktu dengan Spence dan berkeliling Nice bersamanya. Tiga tahun kemudian, Jen dan Spence telah menikah dan hidup mapan di pinggiran kota yang asri dan damai. Namun ketenangan Jen dan Spence terusik saat bos lama Spence mendadak menghubunginya kembali untuk melakukan sebuah tugas. Dan dari sinilah akhirnya Jen mengetahui identitas Spence yang sebenarnya.

Ashton Kutcher dan Katherine Heigl memang pilihan yang cukup tepat dan bagi kebanyakan orang tentu menyenangkan bisa melihat mereka beradu akting bersama, apalagi karakter mereka adalah pasangan. Namun saya pribadi sebal melihat mereka. Bukan karena benci, melainkan bosan melihat mereka terus bermain di film ringan seperti ini. Heigl dan Kutcher bukanlah aktor sembarangan dengan kualitas akting ecek - ecek, mereka bisa berakting dengan sangat baik. Buktinya adalah Heigl menang Emmy berkat aktingnya di Grey's Anatomy dan Kutcher pernah bermain apik di Butterly's Effect. Sementara di Killers ? Jangan berharap banyak. Karakter yang dimainkan oleh Heigl disini tak jauh berbeda dengan peran dia yang biasanya dalam komedi romantis, begitu pula dengan Kutcher. Saya akui chemistry keduanya disini lumayan mengena, tapi saya sudah mulai bosan melihat keduanya melakoni peran yang setipe. Sementara cast yang lain tidak membantu. Jika kalian sudah terbiasa melihat karakter bodoh dalam film komedi aksi, maka di Killers kalian akan kembali menemuinya dengan jumlah yang relatif banyak.

Untuk sebuah hiburan, Killers bisa dibilang cukup berhasil karena ada beberapa scene yang membuat saya tertawa tergelak. Tapi sebagai sajian yang bermutu ? rasanya masih jauh. Killers lebih tepat disebut sebagai film action komedi ketimbang komedi romantis karena porsi aksi dan komedi-nya jauh lebih banyak. Humor yang disodorkan sebenarnya sudah basi, tapi masih mampu mengundang tawa renyah penonton. Adegan aksinya cukuplah, tapi melihat bujetnya yang mencapai $ 75 juta tentu saya mengharapkan sesuatu yang cukup dahsyat dan hal itu tak saya temukan disini. Adegan romantis ? bah, tak ada yang romantis disini. Kalaupun ada, sama sekali tak terasa romantis. Jangan membayangkan pula Killers seperti Mr. & Mrs. Smith, jauh berbeda.

Kalau boleh jujur, meski plot yang disajikan oleh Killers sudah terasa umum dan sangat biasa, masih membuat saya tertarik untuk menontonnya apalagi trailer-nya juga lumayan. Tapi sekali lagi, seperti kebanyakan film komedi romantis yang hadir sekarang ini, eksekusinya gagal. Killers tak lebih dari film aksi penuh banyolan dimana setelah kita keluar gedung bioskop, tak ada yang bisa diingat. Tontonan yang pas untuk kalian yang ingin sekadar dihibur, tapi sangat tidak cocok bagi yang mencari tontonan yang bagus dan bermutu. Naskahnya begitu ringan, tapi tertata cukup baik di awal film. Semenjak identitas Spencer terbongkar, naskah mulai berantakan tak karuan hingga membuat saya pusing dibuatnya. Awal yang sebenarnya cukup manis dan menjanjikan, dirusak di pertengahan film. Makin tidak jelas adalah endingnya. Cukup lucu sebenarnya, tapi tak ada greget sama sekali. Dibiarkan berakhir begitu saja, semudah itu solusinya. Alurnya juga kelewat cepat seakan Luketic ingin film ini cepat berakhir dan dia bisa membuat film lain. Tentu ini sangat menyebalkan, dibuat ngos - ngosan di sepanjang film dan diakhiri dengan mudahnya tanpa kesan.

Nilai = 4/10

August 6, 2010

REVIEW : GLEE (TV SERIES)


Saat pertama kali menyaksikan Glee, sulit bagi kita untuk tidak membandingkan serial ini dengan trilogi High School Musical, apalagi konsepnya yang hampir sama. Tapi setelah kita mengenal baik Glee dan mulai terhanyut dengan jalan ceritanya, maka pemikiran bahwa Glee memiliki kemiripan dengan High School Musical perlahan mulai menghilang. Ya, serial ini tidak memiliki kemiripan dengan trilogi tersebut, kecuali sama - sama bergenre drama remaja musikal. Saat ini, bisa dibilang Glee adalah serial yang paling terkenal dan memiliki fanbase besar yang fanatik. Meskipun ratingnya di USA tidak terlampau fantastis, tapi kehadiran Glee selalu dinanti oleh fans-nya setiap minggu dan album soundtrack-nya pun terjual ratusan ribu keping. Kegilaan fans Glee bisa disejajarkan dengan fans Justin Bieber. Bahkan saya belum pernah menemukan sebuah serial TV yang fanbase-nya begitu besar dan fanatik.

Sebenarnya, Glee bercerita tentang apa sih ? Tak ada yang spesial dari jalan ceritanya, cenderung klise malah. Seorang guru bahasa Spanyol bernama Will Schuester (Matthew Morrison) yang sangat mencintai musik berniat untuk menyelamatkan klub Glee yang terancam ditutup setelah guru pembimbing sebelumnya dipecat karena memiliki hubungan yang tidak pantas dengan salah seorang muridnya. Klub Glee versi 'baru' ini diberi nama New Directions. Saat membuka audisi untuk klub ini, tanggapan siswa adem ayem, hanya segelintir yang berminat dan itupun berasal dari kalangan losers. Anggota angkatan pertama terdiri atas ; seorang gadis yang ambisius, Rachel Berry (Lea Michele), seorang diva, Mercedes Jones (Amber Riley), seorang gay, Kurt Hummel (Chris Colfer), seorang pemuda yang lumpuh, Artie Abrams (Kevin McHale) dan seorang gadis Asia yang gagap, Tina Cohen-Chang (Jenna Ushkowitz). Klub ini akan dibubarkan jika anggotanya tak memenuhi kuota. Dengan bantuan guru BK, Emma Pillsbury (Jayma Mays) dan pelatih football, Ken Tanaka (Patrick Gallagher), Will berhasil menarik beberapa siswa untuk menggenapi kuota, termasuk dari anggota football dan cheerleader yang awalnya menolak untuk bergabung. Meskipun anggota telah terkumpul lengkap, Glee masih harus menghadapi berbagai masalah. Sue Sylvester (Jane Lynch), pelatih Cheerios (klub Cheerleader), yang paling terang - terangan menunjukkan kebenciannya terhadap klub ini. Alasannya sederhana, dengan hadirnya klub baru, maka bujet untuk setiap klub akan berkurang dan itulah mengapa Sue tidak segan untuk menghancurkan Glee agar bujet untuk Cheerios kembali naik. Masalah lain adalah Glee harus menang dalam kompetisi Regional atau klub ini akan dibubarkan. Tentu sulit bagi klub baru untuk bisa menjadi juara, terlebih New Directions harus menghadapi klub Vocal Adrenaline yang 'jam terbangnya' lebih tinggi.



Sesederhana itulah plot Glee. Sejumlah losers yang tergabung dalam suatu klub dan mereka berusaha untuk mengejar impian mereka. Jika kita belum pernah mencicipi satu episode pun dari Glee dan hanya berpegangan pada sinopsisnya semata, maka Glee terlihat tak ada bedanya dengan serial remaja kebanyakan. Tapi jangan salah, meski plot-nya terlihat begitu klise, Glee tak akan berjalan seperti itu. Tiga kreatornya, Ryan Murphy, Brad Falchuk dan Ian Brennan, selalu memiliki cerita yang unik dan menarik untuk diangkat di setiap episodenya. Tak jarang dihadirkan pula beberapa twist agar cerita makin enak untuk diikuti. Memang masih ditemukan beberapa kisah yang cenderung klise, tapi hal itu tidak dibiarkan bertele - tele. Yang membuat saya jatuh cinta kepada Glee adalah kisahnya yang realistis, karakternya yang manusiawi dan tentu saja lagu - lagunya yang enak.

Keunggulan dari Glee adalah sederhana. Tak perlu riasan yang menor dan dramatisasi yang berlebihan dalam cara penuturannya, Glee mengalir dengan sederhana dan tampil apa adanya. Kisahnya begitu realistis, kemungkinan besar hampir semua remaja pernah mengalami apa yang dialami oleh karakter - karakter di Glee. Memang ada beberapa scene yang terlalu berlebihan, tapi itupun masih dalam batasan yang wajar, tak hadir di setiap episode. Hanya untuk menegaskan sesuatu. Untuk karakternya sendiri dibuat manusiawi. Tak akan kita temukan karakter seperti di sinetron kita yang pure evil atau pure angel. Karakter protagonis juga digambarkan kerap melakukan kesalahan, sementara sang antagonis meski menyebalkan dan sadis, tetap mengundang tawa dan berbuat kebaikan untuk orang yang membutuhkan.

Jika membicarakan masalah akting, maka jagoan utama tertuju kepada Lea Michele dan Jane Lynch. Mereka yang membuat Glee terasa hidup. Karakter Rachel yang ambisius dan Sue yang kejam berhasil mereka wujudkan dengan sempurna. Deretan cast lain yang bermain bagus yaitu Matthew Morrison sebagai Will yang bijaksana, Chris Colfer menjadi Kurt yang gay, Cory Monteith memerankan Finn yang lugu dan Jayma Mays sebagai Emma yang takut akan kotor. Masih didukung pula oleh sederetan bintang tamu yang berakting ciamik seperti Neil Patrick Harris, Kristin Chenoweth, Idina Menzel dan Molly Shannon. Sayangnya, beberapa karakter utama malah mendapat porsi yang kurang untuk bisa mengeksplor kemampuan akting mereka. Sejauh ini saya belum dibuat terpukau oleh Dianna Agron dan Jenna Ushkowitz. Karakter Quinn yang cenderung flat membuat Dianna kurang mendapat tantangan. Saya tahu Dianna bisa bermain bagus karena ada sedikit momen yang menguras emosi dan melibatkan Quinn, Dianna cukup bagus disana. Sementara untuk Jenna, entahlah, karakter Tina sulit untuk melekat di hati saya. Meski sudah mendapat porsi yang cukup besar, nyatanya Jenna kurang berhasil menghidupkan Tina. Tidak buruk, tetapi juga tidak bagus.

Jika dipaksa untuk membandingkan dengan High School Musical, maka Glee unggul hampir di semua aspek, kecuali sound mixing. Saat sedang membawakan sebuah tembang, beberapa kali terlihat jelas mereka lipsync karena suara yang terlalu menggelegar dan beberapa sebab yang lainnya. High School Musical unggul disini, Disney memang jagoan dalam urusan musikal. Persoalan yang dihadapi Glee ini sangat terasa di episode - episode awal, namun setelah break (episode Hell-O dan seterusnya) mulai berangsur membaik.

Walaupun bergenre komedi drama musikal, unsur komedi dalam Glee tidak begitu kental. Mirip dengan Desperate Housewives, komedi disini cenderung gelap. Tidak melulu berasal dari celotehan konyol ataupun adegan slapstick, terkadang sesuatu yang pahit dibuat untuk ditertawakan. Jadi jangan mengharapkan sebuah tayangan komedi dimana kalian bisa tertawa lepas melihat sesuatu yang konyol dan menggelikan. Memang ada di beberapa episode, namun kebanyakan komedi yang disajikan ber-tone muram. Tapi tenang saja, kalian masih akan dibuat tertawa terbahak - bahak di Glee. Perpaduan antara drama dan komedi terasa pas sehingga selama 22 episode di season 1 berjalan dengan mulus. Saya juga akan memuji pilihan lagu dari Ryan Murphy yang begitu menakjubkan dan aransemen musik dari Adam Anders sangat keren. Lagunya terdiri atas lagu - lagu dari tahun 70, 80, 90 hingga 2000-an serta lagu dari panggung Broadway yang terdengar sedikit asing di telinga. Namun Adam Anders berhasil membuat lagu - lagu tersebut tidak terdengar old-fashioned, sebaliknya malah terkesan modern tanpa merusak lagu itu sendiri.

Nilai = 8/10


Khusus untuk review kali ini, saya akan memberi sedikit bonus kepada kalian berupa ulasan singkat 3 karakter favorit saya serta soundtrack paling mengena bagi saya. Check it out!

3 Karakter Favorit :

1. Rachel Berry
Rachel adalah gadis yang sangat ambisius, egois, sok eksis, menganggap dirinya sebagai penyanyi yang hebat dan memiliki perilaku yang menyebalkan. Memang bukan tipe karakter favorit bagi kebanyakan penggemar, tapi saya sangat menyukai Rachel. Bukan karena sifatnya yang sangat menyebalkan, tapi semangatnya yang tinggi dan pantang menyerah. Rachel bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang ingin menggapai impian mereka, terus semangat dan optimis. Kehadirannya di Glee terkadang mengganggu anggota yang lain, namun diakui atau tidak, Glee dan Rachel memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Rachel bukan siapa - siapa tanpa Glee, begitu juga sebaliknya, Glee akan susah menang tanpa Rachel. Keduanya saling membutuhkan. Berbicara soal Rachel, saya jadi teringat dengan seorang teman yang sifatnya tidak jauh berbeda dengan Rachel. Hanya saja dia tidak seambisius Rachel. Haha. Oke, selain alasan yang sudah dijabarkan diatas, alasan lain yang membuat saya menyukai Rachel adalah karakternya yang dinamis. Coba saja kalian bayangkan Glee tanpa Rachel, bagaimana hasilnya? Monoton. Karakter Rachel yang membuat Glee menjadi lebih hidup.

2. Sue Sylvester
Saya mencintai sekaligus membenci Sue. Bukan tipe karakter antagonis kebanyakan, Sue lebih kepada karakter abu - abu. Sulit untuk membaca pikiran Sue karena sifatnya yang susah untuk ditebak. Sedikit mengenai Sue, dia adalah pelatih Cheerios yang berusaha menghancurkan Glee hanya agar kepala sekolah kembali menaikkan anggaran Cheerios yang jatahnya diambil oleh Glee. Musuh bebuyutan dari Will Schuester, bahkan sempat mengirimkan tiga anggotanya ; Quinn, Brittany dan Santana, untuk menyusup ke dalam Glee dan mengacaukannya. Rencana yang dilakukan oleh Sue kerap kali berujung pada kegagalan, namun dia tidak pernah menyerah dan selalu membuat rencana baru. Sue juga merupakan selebritis lokal dan gagal dalam membina hubungan percintaan. Meski bengis dan licik, Sue sangat menyayangi kakaknya yang menderita Down Syndrome. Disini kita melihat sisi lain dari Sue. Bahkan Sue juga membuat kejutan di ending season 1 yang membuat saya makin bersimpati kepadanya.

3. Brittany
Salah satu alasan saya mencintai Glee adalah Brittany. Pertama kali muncul di episode Showmance, dia adalah anak buah Sue yang diutus untuk menghancurkan Glee. Brittany adalah stereotip cheerleader kebanyakan di Hollywood yang memiliki rambut pirang dan bodoh. Uniknya, kebodohan dari Brittany yang menjadi daya tariknya. Dia selalu lupa dengan nama tengahnya, bingung membedakan tangan kanan dan kiri, tak bisa menghidupkan komputer dan mengeluarkan pernyataan serta pertanyaan bodoh yang dijamin membuat tertawa. Porsi tampilnya cuma sedikit, tapi Brittany cepat menyita perhatian Gleeks (pecinta Glee) karena kebodohan dan keluguannya. Bahkan Brittany juga tak segan diajak bercinta dengan Kurt meski hanya sebatas pura - pura. Celetukan paling terkenal dari Brittany adalah saat dia mengatakan, "dolphins are just gay sharks." Di season 2, Brittany yang diperankan oleh Heather Morris ini akan naik jabatan dari pemeran pembantu menjadi pemeran utama, bahkan Brittany akan menjadi tokoh utama di episode Britney Spears.

Soundtrack Favorit

Keunggulan lain dari Glee adalah soundtrack-nya yang catchy dan easy listening. Berbeda dengan film atau serial musikal sejenis yang biasanya menggunakan lagu baru, Glee mengambil lagu yang sudah ada dan mengaransemennya kembali. Membuatnya lebih mudah diterima. Glee telah merilis 95 single, 2 mini album dan 3 album utama. Maka kali ini saya akan memberi tahu kalian album / mini album favorit saya serta 10 single yang paling saya sukai. Hanya pendapat pribadi dari seorang awam musik, hehe.

Album favorit saya jatuh kepada Glee : The Music, Vol. 1. Memuat 17 track yang ear-catchy dan cenderung populer dibandingkan vol setelahnya. Saya akrab dengan hampir semua track di album ini, bahkan beberapa diantaranya sudah menjadi favorit saya sejak lama. Itulah alasan utama saya memilih album ini disamping karena hanya album Glee inilah yang nyantol di telinga keluarga saya, haha. Vol. 2 terlalu serius dengan dipenuhi tembang lawas yang bertempo slow dan mendayu - dayu sementara vol. 3 kurang akrab di telinga karena banyaknya lagu Broadway.


Dan inilah 10 single favorit saya ;
1. Dream On
2. I Dreamed A Dream
3. It's My Life / Confessions, Pt. II
4. Don't Stop Believin'
5. Rehab
6. Proud Mary
7. Like A Prayer
8. Hello
9. Give Up the Funk
10. Defying Gravity

How about you?
Mobile Edition
By Blogger Touch