December 29, 2010

REVIEW : DALAM MIHRAB CINTA

Setelah berminggu - minggu mengelilingi Indonesia guna mendapatkan bibit baru di dunia perfilman Indonesia, inilah hasil yang dibawa pulang. Tenang, jangan protes dahulu melihat jajaran nama pemain utama yang diisi oleh para pemain yang sudah punya nama, mungkin Kang Abik punya pertimbangan sendiri untuk hal ini. Saya pribadi awalnya juga heran mengapa mereka pada akhirnya memasang aktor terkenal padahal sudah capek - capek dan buang banyak duit, tenaga dan pikiran untuk mengkasting puluhan ribu masyarakat awam, namun setelah melihat hasil akhirnya saya sangat bersyukur aktor yang telah punya banyak pengalaman dijadikan sebagai bintang utama . Dalam Mihrab Cinta diangkat dari novel berjudul sama karangan Habiburrahman El Shirazy atau yang akrab disapa dengan Kang Abik dengan inti kisah yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dengan Ayat - Ayat Cinta maupun Ketika Cinta Bertasbih hanya saja kali ini minus Mesir sebagai setting tempat. Untuk pertama kalinya pula Kang Abik terjun langsung di lapangan sebagai sutradara, menggantikan posisi Hanung Bramantyo dan Chaerul Umam.



Samsul (Dude Harlino) difitnah melakukan pencurian oleh sahabatnya sendiri, Burhan (Boy Hamzah). Tak ada upaya untuk menyelidiki dengan lebih intensif dari para kyai dan langsung menjatuhkan hukuman kepada Samsul, diarak ke lapangan dan digunduli. Malang bagi Samsul, sang ayah (El Manik) dan kakaknya ternyata juga tidak percaya kepadanya. Untunglah ibu (Niniek L. Karim) dan adiknya masih menaruh kepercayaan padanya walaupun mereka juga sebenarnya agak ragu Samsul tidak bersalah. Dalam kalut, Samsul kabur ke Semarang dan Jakarta. Hidup dalam perantauan tanpa membawa bekal apapun dan hanya bermodal uang sepuluh ribu rupiah membuat Samsul nekat menjadi pencopet di bus kota. Samsul tertangkap polisi, dibui dan wajahnya menghiasi halaman depan surat kabar membuat banyak orang semakin yakin kalau Samsul memang pencuri, kecuali Zizi (Meyda Sefira), adik sang kyai. Tekanan hidup di ibu kota ternyata semakin berat, kehidupan Samsul menjadi berantakan. Di tengah kekacauan dan kegelapan hidupnya ini Allah memberikan jalan baginya untuk bertobat dan mempertemukannya dengan Silvie (Asmirandah), seorang gadis solehah.




Karena ini film buatan Sinemart, tentu rasanya kurang lengkap jika Dude Harlino dan Asmirandah tidak ikutan bermain. Saya tergelitik untuk melempar satu pertanyaan, dimana para pemain barunya ? Setelah keliling Indonesia untuk casting, ternyata posisi pemain utama masih ditempati oleh mereka yang sudah memiliki pengalaman akting. Mungkin 'open casting' itu hanyalah salah satu trik promosi yang dilakukan oleh Sinemart. Cukup cerdas. Tidak ditemukan lagi para pemain baru yang terlihat masih kagok di depan kamera atau terlalu overacting seperti di Ketika Cinta Bertasbih, meskipun ada posisinya tidak terlalu signifikan. Meyda Sefira mengalami peningkatan kualitas akting walau secara keseluruhan masih standar. Dude Harlino bermain lumayan bagus, salut akan totalitasnya, hanya saja saya melihat Dude masih terlalu 'Dude' karakter 'Samsul' kurang melekat kuat dalam dirinya. Cukup mengejutkan melihat Asmirandah, Subhanallah cantik sekali dia disini, bermain apik sebagai gadis yang ditaksir oleh Samsul. Aktingnya yang kuat bersama barisan pemain pendukung yang lain lah penyelamat film ini.



Ditilik dari segi penggarapan, Dalam Mihrab Cinta lebih bagus dari Ketika Cinta Bertasbih, meski masih jauh dari kata sempurna. Mungkin karena ditangani langsung oleh Kang Abik jadi tidak ditemukan lagi scene yang terasa mubazir maupun terkesan dipanjang - panjangkan. Dengan kisah awal di novelnya yang memang 'sangat sinetron, tentu tak mengherankan jika pada akhirnya Dalam Mihrab Cinta lebih mirip sebagai 'sinetron berbayar' ketimbang film layar lebar, belum lagi sisi teknisnya sebagai menguatkan anggapan itu. Yang saya sayangkan adalah upaya Kang Abik untuk mendramatisir kisahnya sedemikian rupa dengan menggunakan adegan kekerasan yang sering kita jumpai setiap hari di berbagai sinetron. Perlukah itu ? Tidak. Pesan yang hendak disampaikan kepada penonton sudah jelas dan emosi saya pun sempat beberapa kali berhasil diaduk - aduk, lantas mengapa adegan kekerasan ini ditambahkan ? Disinilah kesalahan terbesar Kang Abik. Saya khawatir anggapan Islam sebagai agama yang penuh kekerasan akan kembali mencuat, terutama ditunjukkan pada adegan pengarakan Samsul ke tengah lapangan untuk digunduli, sungguh sangat lebay!



Terlepas dari segala kelemahannya, kehadiran Dalam Mihrab Cinta sebenarnya cukup menyegarkan terutama setelah satu bulan lamanya para pecinta film Indonesia disuguhi tontonan yang tidak jelas juntrungnya. Memang masih dibawah Ayat - Ayat Cinta, namun jika boleh saya membandingkannya dengan Ketika Cinta Bertasbih, film ini berkali - kali lipat lebih menarik. Pesan yang hendak disampaikan jelas dan mengena serta akting dari para pemainnya pun kuat, menyelamatkan filmnya yang secara penggarapan tidak begitu bagus. Bukan tipe film yang wajib ditonton memang, namun jika kalian adalah fans Kang Abik atau sedang berencana nonton film tapi tak ada ide, Dalam Mihrab Cinta bolehlah menjadi pilihan. Setidaknya setelah menyaksikan film ini, ada pesan yang bisa dipetik.


Nilai = 6/10 (Acceptable)

3 comments:

  1. Jadi, lebih seru baca novelnya?

    ReplyDelete
  2. Tergantung, setiap orang punya pendapat yang berbeda. Buatku, selain Ayat - Ayat Cinta, memang lebih enak membaca novelnya saja ketimbang filmnya. Ini bukan berarti saya bandingin novel dan film lho ya, cuma memang entah kenapa novel Kang Abik kurang pas dibuat versi filmnya :)

    ReplyDelete
  3. Wah aku kok malah "muak" banget dengan film ini. Bukan, bukan muak dengan pesan-pesannya. Cuma muak dengan (1) melodrama-annoying-isme-nya, dan (2) teknisnya yang OMG FTV banget.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch