May 28, 2011

REVIEW : RABBIT HOLE

Kehilangan orang yang paling disayangi memang sangat menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi jika orang tersebut adalah anggota keluarga kita. Bertemu dan berinteraksi setiap hari, rasa cinta dan ingin melindungi muncul, terpisahkan walau hanya sehari saja sudah kangen berat. Menjadi sebuah ujian yang sangat berat saat Sang Maha Kuasa memutuskan untuk memanggil orang yang paling kita kasihi. Tak ada yang abadi di dunia ini. Kita dipaksa untuk belajar ikhlas dan sabar. Saat iman goyah, Tuhan pun dipersalahkan. Rasa percaya pada Tuhan hilang. Memutus tali silaturahmi dengan kerabat. Jika sudah mencapai tingkatan yang ekstrim, memutuskan untuk bunuh diri. Biasanya, saat sepasang suami istri kehilangan anaknya, kehidupan pernikahan mereka pun mendadak kacau balau. Apalagi jika itu menimpa pada anak satu-satunya. Dari salah satu pihak harus ada yang menguatkan. Apabila keduanya terperangkap dalam kesedihan dan rasa bersalah, hanya tinggal menunggu waktu untuk menuju kepada kehancuran. Inilah yang terjadi pada Becca Corbett (Nicole Kidman). Dia memutuskan untuk tenggelam dalam kesedihan ketimbang melanjutkan kehidupan.

Hebatnya, sang suami, Howie (Aaron Eckhart), juga tidak jauh berbeda. Hampir setiap malam Howie memutar video anak mereka, Danny. Bahkan Howie juga melarang Becca untuk mengubah dekorasi kamar Danny. Pertengkaran menjadi santapan utama Becca dan Howie sehari-hari. Pemicunya, hal-hal yang sepele. Atas saran dari ibunda Becca, mereka lantas memutuskan untuk bergabung dengan sebuah pertemuan para orang tua yang pernah kehilangan buah hati mereka. Inipun tak berlangsung lama. Becca menolak untuk melanjutkan untuk mengikuti sesi dan malah asyik membuntuti Jason (Milles Teller), seorang remaja yang bertanggung jawab atas kematian Danny. Sementara Howie yang menjadi 'single fighter' malah kepincut dengan salah satu partisipan, Gabby (Sandra Oh), yang baru saja ditinggal pergi suaminya. Di satu sisi, baik Becca maupun Howie menemukan sedikit kedamaian saat bertemu dengan Jason dan Gabby, namun di sisi lain hubungan mereka menjadi kian memburuk. Emosi Becca juga menjadi semakin sulit untuk dikontrol, gampang meledak kapan saja dan dimana saja.

Rabbit Hole bukanlah film yang diperuntukkan bagi penonton yang mencari sebuah tontonan yang menghibur dan mampu melepas stres. Temanya depresif, suram dan sendu. Sejak menit pertama film bergulir, hampir tidak ada secercah kebahagiaan yang muncul disini. Jika pernah menonton Blue Valentine atau Revolutionary Road, Rabbit Hole memiliki tone yang hampir senada. Hanya saja Rabbit Hole bisa dibilang lebih ringan dan masih bisa dinikmati ketimbang Valentine maupun Road. Diangkat dari naskah drama berjudul sama karangan David Lindsay-Abaire, Rabbit Hole mencoba untuk tetap realistis dan tidak terlalu mengumbar kesedihan secara berlebihan seperti yang kerap ditemukan di sinetron lokal. Skenario racikan Abaire sungguh mengesankan. Meski terkadang gemas melihat Becca dan Howie, simpati penonton terbangun perlahan. Konflik yang disajikan pun natural dan tidak dipaksa diada-adakan. Setelah 8 bulan kematian Danny, Howie mencoba untuk bangkit dan mengajak Becca untuk 'bikin anak lagi'. Saat Becca terus menerus menolak dengan alasan yang sama hingga akhirnya Howie jenuh dan 'meledak', maka itu sesuatu yang wajar. Konflik yang dikedepankan oleh Abaire dan John Cameron Mitchell adalah sejumlah masalah yang kerap ditemui dalam kehidupan sehari-hari.

Saya salut dengan Mitchell yang mampu membuat Rabbit Hole berjalan konsisten selama 91 menit. Drama pilu yang berpotensi menjadi tontonan menjemukan ini digarap dengan sangat baik oleh Mitchell sehingga rasa bosan hampir tak dirasakan saat menyaksikan Rabbit Hole. Menonton Rabbit Hole terasa bagaikan mendengar curhatan dari seorang sahabat yang mencoba untuk berdamai dengan dirinya sendiri pasca kehilangan orang yang disayangi. Menyentuh dan menyayat hati. Namun Rabbit Hole tidak akan ada apa-apanya, dan mungkin saja malah menjadi sangat biasa, jika Mitchell tidak memasang Nicole Kidman sebagai bintang utama. Istri dari Keith Urban ini sekali lagi membuktikan bahwa dia adalah artis yang berbakat. Kidman terlihat rapuh. Ekspresinya yang dipenuhi dengan kesedihan sungguh meyakinkan. Nicole Kidman memainkan peran ibu yang emosional karena kematian putra semata wayangnya secara alami. Chemistry dengan Aaron Eckhart dan Milles Teller terjalin manis. Seandainya jeung Natalie Portman tidak berakting total dalam Black Swan, saya tak keberatan piala Oscar mampir ke Nicole Kidman untuk kedua kalinya.

Exceeds Expectations

Trailer :


May 27, 2011

REVIEW : LIMITLESS


"Your powers are a gift from God or whoever the hell wrote your life script." - Carl Van Loon

Sejatinya, manusia normal hanya bisa memanfaatkan kinerja otak hingga 20 % saja. Maka betapa hebatnya jika 100 % otak bisa dikuasai. Segalanya dapat dengan mudah diraih, tanpa perlu bersusah payah hingga jungkir balik. Kalau perlu, dunia pun berada dalam genggaman. Nah, lagi-lagi ide cerita unik semacam ini dimunculkan oleh Hollywood setelah sebelumnya sukses memukau penonton melalui Source Code. Tapi ide ini tak sepenuhnya orisinil. Leslie Dixon, sang penulis skenario, mengadaptasinya dari novel buatan Alan Glynn yang berjudul The Dark Fields. Hollywood kembali memainkan perannya sebagai Tuhan melalui Limitless. Yang perlu diketahui, Limitless bukanlah film superhero maupun action yang mengumbar banyak adegan aksi yang menakjubkan. Seperti halnya Source Code, Limitless lebih tepat dimasukkan ke dalam genre thriller. Neil Burger yang sebelumnya mengarahkan Edward Norton dalam The Illusionist didapuk menjadi sutradara. Ditunjuk sebagai pemeran utama adalah Bradley Cooper yang mendadak menjadi komoditi panas Hollywood setelah gila-gilaan di Las Vegas lewat The Hangover.

Nah, Cooper pun seakan ber-deja vu dengan kembali mengalami hangover di Limitless. Jika dalam The Hangover efeknya berupa kekacauan, maka dalam Limitless apa yang akan terjadi kemudian tak diketahui. Inilah bahayanya. Eddie Morra (Bradley Cooper) bahkan sempat menjadi tersangka pembunuhan. Dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan sebelumnya. Ini tidak terjadi sekali dua kali, namun berulang kali. Parahnya, terkadang Eddie sama sekali tidak bisa mengingat bagaimana dia bisa berada di suatu tempat dan apa yang sedang dia lakukan. Kekacauan ini bermula tatkala Eddie menerima sebuah pil yang disebut NZT-48 dari mantan iparnya. Setelah dicampakkan oleh kekasihnya, Lindy (Abbie Cornish), dan bukunya tak kunjung selesai, pikiran Eddie menjadi semrawut. Saat ditawari pil yang kabarnya mampu memaksimalkan kinerja otak hingga 100 %, Eddie tak kuasa menolak. Hasilnya memang luar biasa. Eddie mampu menyelesaikan bukunya hanya dalam hitungan hari. Eddie pun menyambangi mantan iparnya tersebut untuk 'mengisi stok' NZT-48. Namun dia justru menemukan mantan iparnya dalam kondisi tak bernyawa dan apartemennya diobrak-abrik. Sepertinya bukan hanya Eddie yang kecanduan pil ajaib tersebut.

Untungnya sang pelaku tak menemukan NZT-48. Persediaan masih utuh. Eddie pun menjarahnya disamping mengambil segepok uang. Sejak saat itu, Eddie mengonsumsi NZT-48 secara rutin. Hidupnya mulai berubah. Status sosialnya meningkat drastis. Lindy kembali menghubunginya. Seorang pengusaha yang berpengaruh, Carl Van Loon (Robert DeNiro), tertarik dengannya. Pada tahap ini, Eddie merasa bahwa kehidupannya telah berakhir 'happily ever after'. Namun tentu saja Dixon dan Burger tak mengakhirinya begitu saja. Eddie kemudian mengetahui efek samping dari NZT-48 dan ada sejumlah pihak yang mengancam nyawa Eddie demi mendapatkan NZT-48. Selama 30 menit pertama, Limitless enak untuk disantap. Penonton disuguhi proses from zero to hero dari Eddie. Hingga titik ini, saya berhasil dibuai oleh Burger yang menyajikan Limitless dengan tampilan visual yang indah dan editing cepat yang menakjubkan. Memang membuat pusing, akan tetapi dua jempol saya acungkan. Burger sukses dalam misinya untuk mengajak penonton larut ke dalam film. Kita, sebagai penonton, tidak hanya disuguhi cerita mengenai kehidupan Eddie saja tetapi juga diajak untuk menyelami pikirannya, terutama saat Eddie dikuasai oleh NZT-48. Nampaknya Burger memang sengaja menempatkan visual yang memberi efek pusing agar penonton merasakan bagaimana efek samping dari NZT-48.

Setelah film memasuki bagian di saat Eddie berjaya dalam bisnisnya, tempo menjadi sedikit melambat. Inilah saat paling tidak menarik dari Limitless. Dialog dipenuhi dengan istilah-istilah dunia bisnis, saham dan ekonomi yang njelimet dan susah dicerna oleh masyarakat awam. Saya bisa saja sudah tertidur jikalau Dixon tidak segera mengakhiri 'lagu nina bobo' ini dengan segera. Konflik di dunia bisnis yang sungguh sangat tidak menarik bagi saya ini untungnya cepat diakhiri dan laju film kembali ditingkatkan. Efek NZT-48 mulai bereaksi, munculnya sejumlah pihak yang mengincar nyawa Eddie hingga terlibatnya Lindy ke dalam 'petualangan' Eddie. Ketegangan perlahan kembali dibangun dan berhasil dipertahankan oleh Burger hingga menit terakhir. Limitless jelas mengedepankan efek visual dan editingnya yang unik sebagai jualan utama. Ide ceritanya menarkik namun eksekusinya tidak seperti yang diharapkan. Bradley Cooper tak mengalami peningkatan dalam aktingnya, tak jauh berbeda dengan The Hangover dan The A-Team. Justru Abbie Cornish dan Robert DeNiro yang bermain kuat. Penampilan sejenak dari Johnny Whitworth sebagai ipar Eddie juga lumayan mengesankan.

Limitless tidak menyuguhkan sesuatu yang luar biasa seperti yang diharapkan. Cukup banyak lubang yang dibiarkan menganga oleh Dixon di bagian naskah dan Burger tidak mencoba untuk menambalnya. Bertumpu pada kekuatan visual, editing dan akting, Limitless terselamatkan. Sempat terseok-seok di pertengahan film, ritme yang melambat diisi dengan asupan energi yang cukup sehingga kembali melesat saat mendekati akhir. Pada akhirnya, Limitless memang tidak menghadirkan sebuah tontonan yang mampu membuat penonton berdecak kagum, tapi tetap menyenangkan untuk dijadikan sebagai tontonan hiburan. Apalagi tampilan visualnya yang mirip Google 3D Map mampu memanjakan mata.

Acceptable

Trailer :


May 21, 2011

REVIEW : SOURCE CODE

"What would you do if you knew you only had one minute to live?" - Colter Stevens

Apa yang akan Anda lakukan jika memiliki waktu 8 menit untuk kembali ke masa lalu? Premis sederhana namun menarik ini lantas diterjemahkan ke dalam skenario yang rumit oleh Ben Ripley. Summit Entertainment yang belakangan ini naik daun berkat kesuksesan Twilight Saga yang luar biasa berusaha mewujudkan ide jenius Ripley ke dalam bentuk film layar lebar. Ditunjuk sebagai sutradara adalah Duncan Jones, sutradara asal Inggris yang memulai debutnya dengan manis melalui Moon. Film yang disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Inception dan Groundhog Day ini memasang Jake Gyllenhaal, Michelle Monaghan, Vera Farmiga dan Jeffrey Wright sebagai bintang utama. Yang paling menyenangkan dari hadirnya Source Code adalah saya bisa kembali ke bioskop setelah berminggu-minggu lamanya malas sekali melangkahkan kaki kesana! Source Code yang sedianya rilis April ini terpaksa ditunda-tunda penanyangannya demi mengisi slot film musim panas yang kosong. Pilihan yang tepat, 21.

Source Code memulai kisahnya dengan Colter Stevens (Jake Gyllenhaal) yang terbangun dari mimpi di sebuah gerbong kereta. Di depannya ada seorang wanita cantik bernama Christina (Michelle Monaghan) yang terus mengajaknya berbicara. Colter tak paham apa yang dibicarakan oleh Christina. Apalagi Christina terus memanggilnya Sean. Colter menekankan, dia bukan Sean. Dia adalah anggota militer yang ditugaskan di Afghanistan. Christina merasa aneh. Bingung, Colter menuju ke toilet. Saat berkaca, dia mendapati bahwa dirinya berada di tubuh orang lain. Apa yang sedang terjadi? Tidak lama setelah itu, kereta meledak dan menewaskan ratusan orang, termasuk Christina dan Sean. Lalu, bagaimana dengan nasib Colter? Dia terbangun di sebuah ruangan sempit yang sangat dingin dan dilengkapi dengan plasma screen. Belakangan diketahui bahwa Colter sedang dalam sebuah misi. Goodwin (Vera Farmiga), seorang kapten dari angkatan udara, meminta Colter untuk mencari tahu siapa pelaku pengeboman kereta. Caranya, melalui Source Code. Program baru rancangan Dr. Rutledge (Jeffrey Wright) ini memungkinkan Colter untuk kembali ke masa lalu dengan ‘meminjam’ tubuh seseorang di 8 menit terakhir kehidupannya.

Dibutuhkan kerjasama yang solid antara pemain, penulis naskah, sutradara, editor hingga penata artistik. Naskah Ripley menuntut kedetailan. Setiap detail memiliki arti. Disinilah sutradara dan editor harus berhati-hati dalam mengeksekusi. Perhatikan bagaimana adegan awal di gerbong kereta diulang hingga ke sekian kali. Posisi duduk Christina, kopi yang tumpah dan petugas kereta api yang memeriksa tiket. Terjalin rapi. Sedikit kesalahan, fatal akibatnya. Dalam film semacam ini, editor memang memegang peranan paling penting. Berulang kali Source Code menyajikan repetisi kilas balik. Paul Hirsch kudu jeli dalam merangkai setiap adegan, jangan sampai membuatnya kusut dan berakhir dengan kebingungan penonton. Bagi Anda yang kerap mengunjungi toilet saat film tengah diputar, disarankan untuk menuntaskan ‘urusan belakang’ sebelum film dimulai. Terlewat satu menit saja sudah berabe. Dibutuhkan konsentrasi untuk menontonnya. Tidak serumit Inception, tapi tetap membutuhkan pemikiran untuk bisa mencerna jalan ceritanya.

Source Code memang bukan jenis film pengisi musim panas yang penuh dengan aksi dan ledakan yang mengagumkan. Sajian pamer special effect masih ada, namun bukan menjadi porsi utama. Lebih tepat disebut sebagai science-fiction/ thriller. Ketegangan ditawarkan, namun Ripley justru lebih asyik memainkan unsur drama. Inilah yang membedakannya dengan Inception. Source Code lebih ‘kalem’ dan ‘hangat’ dalam menuturkan kisahnya. Ripley dan Jones tidak hanya sekadar membuka identitas Colter lalu melupakannya begitu saja, mereka mencoba untuk menggali lebih dalam mengenai kehidupan Colter termasuk berbagai masalah personal yang menghinggapinya. Justru disinilah letak kekuatan Source Code. Sangat jarang ada sebuah film science fiction/thriller yang mendekatkan penonton dengan karakter utama. Akibatnya, ikatan emosional pun terbentuk. Simpati muncul, penonton dibuat terharu dan merasa mengenal Colter. Voila, film pun bisa dikatan berhasil. Satu momen paling menyentuh adalah ketika Colter berhasil mewujudkan impiannya untuk bisa berbicara dengan ayahnya. Colter pernah mengatakan, jika dia memiliki sisa waktu semenit dalam kehidupannya, dia akan menelepon sang ayah dan meminta maaf kepadanya. Tissue, please..

Apakah itu berarti Source Code justru berakhir menjadi drama penguras air mata? Ah, tenang saja, tidak seperti itu. Sekilas, Source Code berpotensi menjadi film yang menjemukan karena terus mengulang 8 menit terakhir sebelum kereta meledak. Anggapan yang sama ketika saya hendak menyaksikan Vantage Point. Tentu Ripley, Jones dan tim tak akan membiarkan hal itu terjadi. Yang ada justru sebaliknya. Walaupun selalu mengulang adegan yang sama, tidak identik sama sebenarnya, film malah justru menjadi semakin seru untuk diikuti. Kejeniusan Ripley, kecermatan Hirsch, kepandaian Don Burgess dan tentu saja kepiawaian Jones, adalah kuncinya. Ripley mengolah skrip sedemikian rupa, selalu menambahkan bumbu di setiap menitnya agar Source Code makin terasa sedap untuk disantap. Tidak lupa disisipi sedikit twist. Burgess mengambil setiap gambar dengan cantik dan detail. Kekompakannya bersama Hirsch menjadikan skrip Ripley tidak sia-sia dan malah justru menjadikannya semakin menarik. Jones patut bangga dengan hasil kerja keras timnya. Apalagi, sejauh ini, Source Code adalah film terbaik di tahun 2011 yang telah saya tonton. Sangat mengesankan.

Outstanding!

Trailer :

May 14, 2011

REVIEW : MY GIRL

Musim panas tahun 1972 mungkin menjadi saat yang akan selalu dikenang oleh Vada Sultenfuss (Anna Chlumsky). Inilah saat dimana si gadis tomboi ini mulai beranjak dewasa. Petualangan musim panasnya dimulai dengan hadirnya Shelley (Jamie Lee Curtis) yang melamar sebagai tukang rias mayat di rumah duka milik ayah Vada, Harry (Dan Aykroyd). Absennya sosok ibu dalam kehidupan Vada membuatnya cepat akrab dengan Shelley. Wanita modis ini tidak hanya membuat Vada tertarik, tetapi juga Harry dan sahabat baik Vada, Thomas (Macaulay Culkin). Saat Shelley mulai berkencan dengan Harry, persahabatan diantara Vada dan Shelley pun mulai mengendur. Sejak saat itu, berbagai masalah mulai datang menyerang Vada. Dimulai dari kebingungan Vada dalam menghadapi menstruasi pertamanya, pria idaman Vada hendak menikah dengan kekasihnya hingga kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Belum lagi Vada selalu merasa bahwa dia adalah penyebab kematian sang ibu. Seandainya dia tidak pernah dilahirkan, mungkin sang ibu masih hidup hingga kini. Harry tidak akan tertarik dengan Shelley. Namun tetap saja yang namanya takdir siapa yang tahu.

Ada yang ingat dengan film ini? Bagi yang merasakan masa-masa remaja di tahun 90-an rasanya hampir pasti mengetahui My Girl. Dulu salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia kerap memutarnya kala masa liburan. Bahkan saking seringnya, kakak saya sampai fasih dengan jalan ceritanya. My Girl berjasa meroketkan nama Anna Chlumsky ke jajaran artis cilik berpotensi pada masa itu. Sayangnya, nasib baik tak hinggap kepadanya. Nama Chlumsky tenggelam sesudahnya. Macaulay Culkin masih lebih beruntung. Sebelum My Girl, Culkin sudah angkat nama lewat Home Alone. Nama besarnya yang dijadikan sebagai jualan utama dari film yang dikomandoi oleh Howard Zieff ini. Dengan suntikan bujet sebesar $15 juta, My Girl tergolong sukses besar. Tak heran jika sekuelnya dibuat 2 tahun kemudian. Menurut saya, My Girl 2 tak perlu dibuat. Kisah petualangan musim panas Vada rasanya cukup dibuat dalam satu seri saja. Apalagi endingnya telah menegaskan semuanya.

Meskipun dibintangi oleh dua aktor cilik dan fokus cerita pada kehidupan Vada yang notabene masih berusia 11 tahun, My Girl bukanlah film untuk anak-anak. Bahkan di Amerika sendiri film ini mendapat rating PG-13 (13 tahun ke atas). Plotnya memang berat karena menyoal kehidupan dan kematian. Alur pun berjalan lambat, 102 menit terasa cukup lama terlebih tidak ada ledakan konflik yang membuat penonton penasaran. Kalaupun ada, itu disisipkan di bagian klimaks. Yang menjadikan My Girl menarik adalah Zieff dan penulis skenario, Laurice Elehwany, berusaha untuk tetap realistis dalam menuturkan kisah. Terkadang saya geli melihat tingkah polah Vada dan James yang mengingatkan saya pada 'petualangan' di masa kecil. Jatuh cinta pada orang yang lebih dewasa, takut berlebihan terhadap penyakit, 'menggoda' binatang hingga memanjat pohon. Vada mendapatkan ciuman pertamanya dari James.

Anna Chlumsky memulai debutnya di film layar lebar dengan cukup manis. Vada yang tomboi, ramah dan penuh semangat menjadi karakter yang sangat lovable. Sulit untuk tidak mencintai Vada. Sementara Macaulay Culkin tampil imut dan menggemaskan. Aktingnya biasa saja, tapi untungnya chemistry dengan Chlumsky mampu berpadu dengan baik sehingga hubungan keduanya tak terlihat aneh sepanjang film. Jamie Lee Curtis patut mendapat kredit tersendiri. Bukan penampilan terbaiknya, namun Shelley menjadi hidup di tangannya. Sebagai sebuah film, My Girl memang tak sempurna. Masih banyak kekurangan. Untuk dinikmati sebagai sebuah hiburan pun cukup berat menilik plotnya yang bolak balik menyinggung soal kematian. Namun bukan berarti My Girl bisa dilewatkan begitu saja. Sulit mencari film bertema coming of age semacam ini di tahun 2000-an. Tanpa mengumbar seks, tapi mampu menyampaikan pesannya dengan baik kepada penonton.

REVIEW : CRAZY LITTLE THING CALLED LOVE


Jika dulu membicarakan film Thailand berarti membicarakan film horror, maka sekarang tidak lagi. Ada tren baru yang berkembang di negara gajah putih ini paska kesuksesan luar biasa dari Bangkok's Traffic Love Story dan Hello Stranger. Setelah dua tahun berturut-turut film komedi romantis merajai tangga box office di Thailand, maka film horror yang selalu menjadi andalan Thailand harus mengalah sejenak. Mengambil pendekatan yang agak mirip dengan film romantis buatan Korea membuat Love Story dan Stranger mudah diterima oleh kalangan luas. Apalagi Korea sekarang lebih asyik membuat genre thriller / suspense ketimbang romantis. Para sineas Thailand jeli dalam mengambil kesempatan. Tidak hanya sukses di negerinya sendiri, Love Story dan Stranger pun sempat membuat heboh masyarakat Indonesia. Belakangan, demam Korea berubah menjadi demam Thailand. Jika sebelumnya Rain atau Won Bin dielu-elukan oleh para perempuan, maka sekarang giliran Mario Maurer yang naik daun. Maurer sudah cukup lama berkecimpung di dunia seni peran sebenarnya. Pernah berlakon secara apik dalam The Love of Siam, namanya baru melesat di negeri tercinta ini setelah tampil menggemaskan dalam Crazy Little Thing Called Love.

Plot yang dihadirkan oleh duo Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong terbilang sangat sederhana, atau lebih kasarnya, super klise. Melihat tampilan poster, mengintip trailer dan membaca sinopsisnya yang tampak biasa tak menggugah hati saya untuk segera menontonnya. Justru yang membuat saya penasaran adalah mengapa setiap orang membicarakan film ini. Kisahnya tak jauh berbeda dengan film romantis atau FTV kebanyakan. Nam (Fern Pimchanok Lerwisetpibol) menyukai seniornya yang tampan dan idola di sekolahnya, Shone (Mario Maurer). Bagi gadis dengan penampilan buruk seperti Nam, mendapatkan Shone bagaikan pungguk merindukan bulan. Mustahil. Belum lagi lawannya adalah gadis-gadis berparas ayu dan berbakat. Satu-satunya yang bisa dibanggakan oleh Nam adalah kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Tapi bukan Nam namanya jika menyerah begitu saja. Sang ayah menawari Nam tiket ke Amerika jika dia bisa meraih ranking 1. Ini mencambuk semangat Nam. Dengan bantuan ketiga sahabatnya, Nam berusaha keras untuk mendapatkan Shone sekaligus ranking 1. Selesai begitu saja ? Tidak, perjalanan Nam masih panjang dan berliku. Ketika Nam yang gelap itu bertransformasi menjadi Nam dengan kulit bening, segalanya tidak menjadi lebih mudah. Top (Acharanat Ariyaritwikol), sahabat Shone yang menyukai Nam, menjadi penghalang antara Shone dan Nam. Hadirnya Pin juga turut membuatnya menjadi semakin rumit. Nah, nah, nah...

Melihat ulah Nam dan ketiga sahabatnya yang begitu polos sungguh membuat gemas. Puttipong Pormsaka Na-Sakonnakorn dan Wasin Pokpong membuat penonton kembali bernostalgia dengan kisah cinta monyet masing-masing saat masih duduk di bangku SMP. Ayo mengaku, siapa yang pernah naksir dengan kakak senior sampai rela mengikuti ekskul yang sebenarnya tak disukai dan membaca tips-tips mendapatkan cowok, lalu pura-pura ke toilet hanya untuk mengintip kelas orang yang disukai? Itulah yang dilakukan Nam dan konco-konconya ini. Saya dibuat tertawa terbahak-bahak melihat betapa polos dan konyolnya cara mereka, namun saya tertawa juga karena beberapa diantaranya pernah mengalaminya, hikikiki. Masih ditambah dengan ulah guru bahasa Inggris mereka yang galak namun sebenarnya baik hati dan konyol. Puttipong dan Wasin mencoba menghadirkannya dengan realistis dan santai sehingga film pun enak dinikmati. Tapi saya kurang sreg dengan transformasi Nam. Kerja departemen make-up memang sangat bagus karena bisa menyulap Fern Pimchanok Lerwisetpibol yang sedemikian cantiknya menjadi susah dikenali. Namun ketika Nam yang buruk rupa itu berubah menjadi gadis yang cantik dan modis, prosesnya terlalu cepat dan unbelievable. Mungkin terjadi, tapi tak secepat dan sedrastis itu. Pada akhirnya malah agak mengganggu plotnya itu sendiri, meski saya tak ingin munafik bahwa Fern Pimchanok Lerwisetpibol membuat saya klepek-klepek. Hihi. Tapi akang Mario Maurer tetap paling oke kok... *ah, jadi malu..

Menjelang ending, Puttipong dan Wasin langsung membelokkan stir. Dari awalnya berhaha hihi, menukik menjadi mendayu-dayu. Persahabatan Nam dengan ketiga sohibnya retak dan Shone juga tak kunjung mendekat. Saat segalanya terlihat mulai membaik, sebuah pernyataan meretakkan impian Nam. Bagi yang sensitif dengan adegan tearjerker seperti ini, siapkanlah tissue sebanyak mungkin. Bahkan saya pun berhasil dibuat bercucuran air mata olehnya. Bukan karena Nam-Shone, tapi melihat persahabatan yang terajut indah mendadak buyar karena masalah cinta. Chemistry yang terjalin diantara pemain memang kekuatan utama Crazy Little Thing Called Love. Syukurlah Pimchanok dan Maurer serta ketiga pemeran sahabat Nam bermain apik dan chemistry-nya terasa menyatu. Film romantis tanpa adanya chemistry sama saja dengan bohong. Setelah dibuat tertawa gegulingan karena lawakan khas Thailand yang cenderung cablak, penonton langsung digiring menuju adegan penguras air mata.

Crazy Little Thing Called Love berani menawarkan romansa yang beda, cinta monyet para ABG. Bosan lah ya kalau terus dijejali kisah roman dua insan yang sudah matang. Bagaimanapun, kisah kasih di sekolah memang lebih seru untuk diceritakan. Pahit manis konyol, semua bercampur aduk. Harus diakui, cinta pertama susah untuk dilupakan. Rasanya kita semua pasti pernah mengalami apa yang dialami oleh Nam. Menyukai lawan jenis untuk pertama kalinya tetapi tak berani untuk mengungkapkannya. Ada yang kemudian memilih untuk mengagumi dari jauh saja tetapi ada juga yang berusaha untuk mencuri perhatiannya dengan hal-hal konyol. Crazy Little Thing Called Love memang tidak menawarkan sesuatu yang baru, plotnya terbilang sangat sederhana dan sudah usang. Tapi eksekusi Puttipong dan Wasin lah yang menentukan. Butuh film romantis yang menghibur dan bisa membuat tertawa di kala stres menerjang? Maka film inilah yang menjadi jawabannya. Sangat menghibur.

Trailer :


PEMENANG KUIS ULANG TAHUN CINETARIZ


Terima kasih banyak kepada para pengunjung Cinetariz yang telah bersedia meluangkan waktunya sejenak untuk mengikuti kuis ulang tahun Cinetariz yang pertama. Tidak disangka responnya cukup bagus. Yang membuat saya senang adalah kritik dan saran yang diberikan demi kemajuan Cinetariz. Semuanya bagus! Saya akan mencoba untuk menerapkannya, tentu tak bisa semuanya sekaligus karena ada beberapa kendala. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Masalah jawaban benar atau salah sebenarnya tak begitu berpengaruh karena saya hanya ingin mencoba menguji seberapa serius kalian dalam mengikuti kuis ini (hohoho, buka rahasiaaaaa...).

Nah, inilah jawaban dari pertanyaan Kuis Ulang Tahun Cinetariz :

1. Kamis, 1 April 2010
2. Minggu Pagi di Victoria Park, Hari Untuk Amanda, Sang Pencerah, Rumah Dara dan Alangkah Lucunya Negeri Ini
3. Modern Family dan Glee

Jawaban pertanyaan bonus :

- Pasir Berbisik
- Ghost World

Mereka yang beruntung mendapatkan hadiah dari Cinetariz adalah....... *Jrengggggggg...

1. Sandra Eka Ristianjani
2. Hari Adhari

Selamat ya! Bagi yang belum beruntung, jangan kecewa ya. Jangan nangis, jangan tinggalkan Cinetariz, tolong jangaaaaaannnnnnn... *lebay* Tetap ceria dan semangat ya! Saya berencana menggelar kuis lagi dalam waktu dekat, semoga bisa terealisasi. Mohon doanya :)

Bagi yang beruntung, silahkan kirim data diri yang lengkap ke cinetariz@gmail.com agar hadiah bisa segera dikirim. Pengiriman paling lambat 1 bulan, jika hingga waktu tersebut hadiah masih belum diterima, silahkan kirim email kesana atau mention ke @TarizSolis, kali aja saya lupa hihihi.. *minta ditabok*

Oke, selamat buat para pemenang. Bagi yang belum beruntung, tunggu kuis dari saya selanjutnya. See you later!

♥ Cinetariz

May 7, 2011

SEKS PRA-NIKAH DALAM 'EL CRIMEN DEL PADRE AMARO' + 'GLEE'

Sungguh suatu kebetulan bagaimana dalam minggu ini apapun yang saya dengar dan lihat berkaitan dengan seks pra-nikah. Dimulai dari dosen saya yang entah kesambet apa, mendadak melontarkan pertanyaan sulit untuk para mahasiswanya, setujukah kalian dengan aborsi ? Menjadi sulit karena beliau menghadapkan kita dengan contoh perempuan miskin yang diperkosa. Tidak begitu saja kita bisa memilih untuk berada di posisi pro atau kontra. Butuh alasan yang kuat. Syukurlah pertanyaan itu tidak harus dijawab saat itu juga. Kita diminta untuk mempelajari lebih jauh mengenai aborsi. Lucunya, pertanyaan itu diberikan setelah malam sebelumnya saya menyaksikan El Crimen del Padre Amaro yang juga menyoal aborsi, meski bukan menjadi tema utama. Keesokan harinya, Glee mengupas seksualitas dan membicarakan tentang seks pra-nikah. Tidak berkaitan dengan aborsi, tapi masih ada hubungan. Jika ditarik benang merah, El Crimen del Padre Amaro dan Glee bertemu dalam satu titik, seks pra-nikah. Mengenai tugas dari dosen saya, agaknya beliau juga hendak memberikan sebuah drama mengenai ini. Ah, makin lengkap minggu ini jika saya menutupnya dengan menonton 4 Months, 3 Weeks, and 2 Days.

El Crimen del Padre Amaro sempat menuai kontroversi di kalangan pemeluk Katolik Roma di Mexico. Bisa dimaklumi, kisahnya memang sensitif dan kurang ajar. Father Amaro (Gael Garcia Bernal), pendeta baru di sebuah kota kecil, memiliki hubungan gelap dengan gadis lokal, Amelia (Ana Claudia Talancon), yang masih berusia 16 tahun. Dimulai dengan saling melirik, hubungan mereka meningkat setelah Father Amaro mencium Amelia di dalam gereja. Keduanya bahkan mulai berani berhubungan badan. Saat Amelia ketahuan hamil, Amaro panik. Dia tidak ingin berhenti menjadi pendeta. Jalan belakang pun ditempuh. Amaro meminta bantuan Dionisia untuk menggugurkan kandungan Amelia. Butuh kesabaran ekstra untuk menyaksikan El Crimen del Padre Amaro. Sebelum film memasuki area konflik yang sesungguhnya, Carlos Carrera ngalor ngidul dengan permasalahan pendeta lain yang sungguh menjemukan. Film mulai enak diikuti semenjak Father Amaro dan Amelia menjalin hubungan gelap. Nah, disinilah menariknya. Pantaskah Amaro disebut sebagai seorang pendeta ? Dia mengetahui konsekuensi yang bakal dihadapinya, namun dia tetap menerjangnya. Nasihat Father Benito tak diindahkannya. Setelah Amelia mengatakan padanya bahwa dia hamil, Amaro justru marah.

Saya merasa ekspresi Amaro ini sungguh lucu. Jika memang dia tak menginginkan Amelia hamil, lantas mengapa dia menggaulinya ? Bukankah dia seharusnya mengetahui apa akibat dari perbuatannya dengan Amelia ? Sebagai manusia yang mendapat predikat manusia suci, apa yang dilakukannya sungguh tak pantas. Saya bukan ingin menghakimi atau menguliahi siapapun, hanya saja saya geli dengan mereka yang tidak bisa mengontrol hawa nafsu. Cinta tidak perlu ditunjukkan dengan berhubungan badan kan ? Silahkan lakukan, asal mau bertanggung jawab. Kasihan dengan para bayi yang digugurkan atau 'dilempar' ke orang lain hanya karena orang tuanya tidak mau repot, hanya ingin kesenangannya saja. Memakai kondom pun bukan jaminan bakal aman. Kadang saya gemas ingin berteriak, kenapa tak menikah saja ? Namun saat ini, menikah pun tak menjadi jaminan si bayi bakal aman. Sudah berapa banyak berita mengenai bayi dibuang yang menghiasi media massa kita ? Tak terhitung jumlahnya. Bahkan di zaman yang sudah makin gila ini, sudah banyak yang tak lagi malu - malu mengakui bahwa mereka telah melakukan hubungan seks sebelum nikah. Di beberapa kalangan, mereka yang belum pernah mencicipi seks dianggap cupu. Gilakkkkk !!!

Dalam episode ke-15 Glee di musim kedua yang berjudul Sexy, Ryan Murphy mencoba untuk menjelaskan pentingnya untuk mendapatkan pengetahuan seks di usia muda. Agak vulgar dalam beberapa adegan, namun episode ini memberikan tamparan kepada mereka yang menganggap bahwa Glee adalah serial tak mendidik. Pesan moral yang diberikannya berlimpah ruah dan tidak bisa dibandingkan dengan sinetron Indonesia yang melompong. Murphy memberi pilihan, melakukan seks sekarang juga atau menyimpannya untuk malam pertama ? Quinn, ketua Cheerios sekaligus ketua klub kesucian, hamil setelah berhubungan badan dengan Puck. Yang membedakan dengan tindakan Amaro, baik Quinn, Puck dan Finn, bersedia untuk bertanggung jawab. Quinn yang merasa tidak mampu, menyerahkan bayinya untuk diadopsi. Dalam Sexy juga disinggung mengenai pembuatan sex tape dan akibat yang akan dihadapi. Salah besar jika ada yang menganggap Glee memberi pengaruh buruk dan mendorong remaja untuk melakukan seks bebas. Kenyataannya, justru sebaliknya. Murphy menjabarkan plus minusnya. Dengan segala akibat yang ditunjukkannya, Murphy seakan menantang para generasi muda, masih beranikah kalian untuk tetap melakukannya ? Jika berani mengambil tantangan tersebut, maka bersiaplah untuk menanggung resikonya. Bukan mereka yang menolak untuk melakukan seks pranikah yang layak disebut pecundang atau pengecut, tetapi mereka yang berani melakukannya tapi menolak untuk bertanggung jawab.

Just a thought !

May 1, 2011

NOSTALGIA BIOSKOP - BIOSKOP JADUL

Saya memang tergolong telat mencintai film, walau jika ditilik dari segi usia tergolong masih muda (dan imut tentunya). Awal kecintaan pada film sebenarnya berawal dari saya jatuh cinta setengah hidup kepada bioskop. Lebih tepatnya adalah tur bioskop. Yang berjasa mengenalkan bioskop kepada saya adalah ayah saya (sekarang beliau menyesalnya habis - habisan setelah anaknya yang imut ini menjadi movie freak hohoho *benerin alis*). Dimulai dari iklan bioskop di surat kabar, entah bagaimana ceritanya saya kemudian tergila - gila untuk menyambangi setiap bioskop yang namanya tercantum di iklan tersebut. Di usia sekitar 7 tahun, kalau tidak salah, saya sudah mengunjungi setiap bioskop di Surabaya, Malang, Semarang, Solo dan Kudus. Oh yeah! *bangga bener dah* Hobi ini berlanjut hingga sekarang. Namun yang paling saya sukai adalah saat mendatangi bioskop non-21 dan lokasinya tidak berada dalam mall. Ada rasa yang berbeda. Meski terkadang fasilitasnya kurang bagus dan kondisinya sudah amit - amit, tapi ada perasaan tersendiri berada di gedung bioskop independen. Yang paling terasa bagi saya adalah sensasi menonton di bioskop. Saat saya menonton sebuah film di bioskop dalam mall, terasa ada yang kurang. Namun saat berada dalam bioskop independen (maksudnya disini tidak mengikuti mall), terasa memuaskan, mengesampingkan bioskopnya mewah atau terlihat hampir runtuh.

Di era dimana bioskop dikuasai oleh satu grup saja, ada rasa kangen terhadap bioskop - bioskop jadul yang bukan berasal dari perusahaan raksasa. Saat saya pertama kali mengenal bioskop, itu adalah masa - masa kritis perbioskopan Indonesia. Perfilman dikuasai oleh film - film syur, bioskop banyak yang mulai hancur. Walaupun belum sepenuhnya mengerti film, di era ini saya mengenal nama - nama seperti Sally Marcelina, Indah Febrizha, Liza Chaniago hingga yang impor macam Pheng Tan dan Francoise Yip, hihihi *pasang muka polos* Mengenang masa itu, saya jadi teringat dengan bioskop Empire di Kudus. Bisa dibilang, saya pelanggan setia disana. Dari kelahiran hingga ajal menjemput, saya setia menemani. Waktu masih berjaya, film - film yang diputar disini lumayan update, bahkan memiliki AC. Pengunjung pun ramai. Namun memasuki tahun 2000-an, Empire mulai terseok - seok. Dari 4 studio, sisa 2 studio diserahkan kepada film lokal atau film China yang 'sumuk' (baca : panas). Pengalaman menonton yang buruk pun mulai saya rasakan. Kala itu, saya emosi setiap selesai menonton. Namun jika pengalaman ini diceritakan kepada teman - teman, saya malah ngakak sejadi - jadinya dan kangen dengan Empire. Dimulai dari Fantasi, sekitar tahun 2005. Saat itu saya menontonnya untuk kedua kalinya. Apa yang terjadi saudara - saudara ? Setiap para pemainnya mulai melantunkan lagu, sound-nya ngelokor (duh, apa ya bahasa Indonesia-nya ? Pokoknya suara kaset yang rusak). Parah amat. Waktu nonton Kala, gambarnya buram. Chika, banyak adegan yang dipotong biar durasi pas. Namun yang paling parah ketika nonton Get Married. Alamak, suara hujan yang derasnya ampun - ampun terdengar di dalam studio hingga tak bisa mendengar dialognya ! Hebatnya lagi, para penonton kedatangan 'tamu tak diundang' yang seliweran di depan layar. Seekor kucing dengan muka tak berdosanya mengeong dan melenggak - lenggok dengan santainya. Sudah serasa mau pingsan saja. Apalagi ruangannya pengap, tak ada AC. Help me !

Kini, bioskop 'unik' itu sudah wafat. Empire memang mengikuti sebuah mall, namun itu adalah satu - satunya bioskop yang tersisa di Kudus. Ah, jika mengenang masa kecil, betapa lucu dan serunya. Masih ingatkah kalian dengan mobil yang berkeliling kota dengan speaker yang berfungsi sebagai media promosi film - film yang tengah ditayangkan di suatu bioskop ? Setiap saya mendengar suara dari speaker tersebut, biasanya saya langsung lari ke jalan raya untuk mengambil pamflet - pamflet yang disebar. Pernah suatu kali iseng, bisa dapat 20 lembar pamflet dalam sehari, hihi. Pamflet tersebut juga ditempel di beberapa sudut strategis. Jika ditanya benda apa yang pertama kali aku curi, maka saya akan menjawab pamflet bioskop *malu. Di Solo malah lebih unik lagi. Jika Kudus hanya berupa pamflet, maka Solo memiliki poster mini. Medianya pun bukan cuma papan, tapi ditempel di atas toko atau warung yang lokasinya strategis. Disana memuat judul film, nama pemain, bioskop yang memutar dan jam tayang. Tidak semua lokasi hanya berisi info dari satu bioskop, ada beberapa lokasi yang keroyokan dimana meliputi semua bioskop di Solo. Sayangnya sekarang sudah tak bisa ditemui lagi. Sepengetahuan saya, hanya tersisa bioskop Rajawali di Purwokerto dan Dieng di Wonosobo yang masih memakai cara klasik untuk promosi. Entah dengan kota lain. Sekarang bioskop - bioskop besar pun lebih suka memakai iklan di koran atau internet untuk promo. Poster di depan bioskop berbentuk lukisan pun sekarang makin jarang ditemui.

Coba hitung, ada berapa banyak bioskop di Jakarta dan Bandung yang masih mempertahankan poster di luar gedung bioskop ? Saya yakin, jumlahnya tak banyak. Bahkan di Surabaya, ini sudah tak bisa ditemui lagi. Di kota dimana saya tumbuh ini, bioskop independen tak memiliki tempat. Surabaya dan Mitra yang dulu menjadi favorit sekarang sudah tutup dan beralih fungsi. Perhatian penonton beralih ke Sutos. Sungguh disayangkan. Walaupun di Mitra saya sering menjumpai 'sahabat kecil' yang berseliweran kesana kemari, tapi bagi saya ini adalah salah satu bioskop ternyaman di Surabaya. Harga tiketnya pun ramah dengan kantong. Golden yang kembali dengan bentuk baru, Fortuna, juga akhirnya menyerah setelah 9 tahun berjuang. Pada awalnya Fortuna khusus memutar film - film kelas B yang tak kita jumpai di 21. Tapi strategi itu tak berhasil. Sempat terjebak dalam film sumuk, Fortuna bangkit setelah 'bekerja sama' dengan 21. Jika ada bioskop 21 yang berdiri sendiri, maka itu adalah Metropole XXI (Jakarta) dan Empire XXI (Jogja). Siapapun tahu bahwa Metropole adalah bioskop yang bersejarah. Sempat hampir bangkrut hingga akhirnya diselamatkan 21 dan dinyatakan sebagai bangunan cagar budaya oleh gubernur Jakarta. Empire XXI memiliki kisah yang lain lagi. Bioskop mewah ini dibangun diatas bekas lahan Empire 21 dan Regent yang hangus terbakar secara misterius di tahun 1990-an. Sempat mangkrak bertahun - tahun, lokasi yang menurut warga setempat ini angker, akhirnya dijadikan sebagai XXI pertama di DIY - Jateng. Meski tak mengikuti mall, kedua bioskop ini tak memasang poster lukis di depan gedung. Tulisan XXI / Cinema XXI yang menjadi penanda bahwa ini adalah bioskop.

Hadirnya Empire XXI membawa tumbal. Setidaknya ada 3 bioskop yang gugur semenjak Empire dan Studio (berlokasi di Plaza Ambarukmo) datang. Ketiga bioskop itu adalah Mataram, Indra dan Permata. Mataram sempat berjaya di tahun 1990-an hingga pertengahan 2000-an karena saat itu menjadi bioskop termewah di Jogja paska hancurnya Regent dan Empire. Kondisinya sekarang memprihatinkan, tak terurus dan terlihat seperti rumah hantu. Permata malah lebih mengenaskan. Bioskop yang berdiri sejak 1940-an ini pernah menjadi sebuah fenomena di tahun 60 - 70-an. Saat itu, hampir semua orang mengetahui Permata. Bahkan nama jalan dimana bioskop itu berada, Sultan Agung, kalah populer dan masyarakat lebih suka menyebutnya dengan Permata. Setelah bioskop modern menyerbu Jogja, Permata tenggelam. Bioskop antik ini mungkin tak akan dilirik jika temboknya tidak diselimuti mural. Menjelang akhir hayatnya, Permata memutar film - film sumuk. Sekali waktu saya mencoba menjajal nonton disini. Saya terkejut, interiornya klasik sekali. Penonton pun bebas melakukan apapun di dalam gedung, silahkan mau angkat kaki, membawa jajanan hingga merokok, tak ada yang melarang. Saat itu saya teringat dengan kisah dari orang tua dimana dahulu ada jeda di pertengahan film dan para penjaja makanan memasuki gedung bioskop. Saya geli membayangkannya. Oh iya, penonton pun bisa memasuki ruang operator jika minta izin. Wow, mesin pemutar rol film-nya jadul sekali. Sungguh sayang pemerintah tidak memperhatikan bioskop ini. Kalau pun akhirnya tutup, dialihkan menjadi semacam museum film atau gedung pertunjukkan rasanya lebih pantas ketimbang dibiarkan mangkrak atau malah dirobohkan.

Menonton film di bioskop jadul memang mengasyikkan. Sayangnya, sekarang ini hampir mustahil untuk ditemukan. Belum sempat menjajal asyiknya nonton di bioskop misbar (gerimis bubar) di Malang, eh sudah keburu wafat. Di tempat saya tinggal saat ini, Semarang, tak ada lagi bioskop murah meriah. Papan bioskop memang masih ada, tapi bioskopnya sudah tergolong mewah. E-Plaza (Entertainment Plaza) adalah satu - satunya bioskop lawas di Semarang yang masih bertahan hingga kini, itupun setelah berganti konsep menjadi one stop entertainment. Bioskop sinepleks pertama di Semarang ini agak mengingatkan pada Blitz Megaplex, namun dengan ukuran studio yang hanya sedikit lebih besar dari Movie Box. Malahan Citra 21 yang berlokasi di dalam mall yang memiliki kesan 'klasik'. Disini, saya mengalami 2 kesialan. Rol film kebalik saat nonton Harry Potter and the Goblet of Fire sehingga saya menikmati ending dulu baru klimaks dan listrik mati beberapa kali saat menyaksikan Chika. Apanya yang klasik ? Kursinya, saudara - saudara. Jika kalian kurang beruntung, maka akan menemukan kursi tanpa wadah minuman dan tentu saja, goyangannya. Jangan coba - coba menghantamkan punggung ke kursi dengan keras jika tidak ingin dipelototi penonton lain. Semua penonton yang berada dalam satu deretan akan merasakan hantaman itu dan belum lagi bunyinya yang mengganggu, kiyek kiyek kiyek. Oh, saya sangat merindukan bioskop - bioskop jadul :(
Mobile Edition
By Blogger Touch