October 22, 2011

REVIEW : CARS 2


"He who finds a friend finds a treasure."

Cars 2 menjadi semacam pembenaran bahwasanya tiada gading yang tak retak. Sang dewa animasi, Pixar, akhirnya melakukan blunder setelah konsisten menghasilkan karya-karya yang berkualitas ciamik. Sejujurnya, saya sudah ragu Cars 2 akan tampil memukau mengingat prekuelnya sendiri bukanlah tergolong salah satu karya terbaik Pixar sekalipun memiliki popularitas yang tinggi di kalangan anak-anak. Yang menjadi daya tarik dari Cars adalah para karakternya yang memesona, jalan ceritanya yang heartwarming beserta pemandangan Radiator Springs dan Route 66 yang cantik. Keunikan lainnya, semua benda hidup dalam film animasi ini digantikan dengan mobil yang bisa berbicara. Jadi jangan berharap melihat adanya manusia yang wara wiri. Konsep yang terdengar absurd ini tentu saja berhasil di tangan Pixar yang serba bisa. Penonton cilik pun mudah menyukainya terutama karena faktor Lightning McQueen yang bisa jadi merupakan salah satu karakter terbaik yang pernah diciptakan oleh Pixar. Pun begitu, saya kurang menyukai Cars. Jikalau tidak diiringi dengan lagu-lagu Country yang renyah itu dan para karakternya tak menarik, saya mungkin tidak akan berhasil mencapai ending. Bagi saya, Cars adalah sebuah film yang menjemukan. Maka ketika sekuelnya muncul, saya kurang antusias menyambutnya. Namun saya yakin bahwa Pixar bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu.

Lightning McQueen (Owen Wilson) kini tidak lagi didapuk menjadi bintang utama. Posisinya digeser oleh Matter (Larry the Cable Guy), sahabat McQueen yang berbentuk mobil derek tua yang tolol. Seusai menjalani sejumlah perlombaan, McQueen berniat untuk berlibur sejenak bersama kawan-kawannya di Radiator Springs. Namun ketenangannya terusik tatkala pembalap sombong, Francesco Bernoulli (John Turturro) menantangnya melalui sebuah program TV. Dengan dukungan dari geng Radiator Springs, McQueen mengikuti World Grand Prix yang digelar di tiga negara oleh pengusaha sukses, Miles Axlerod (Eddie Izzard). Di tengah perlombaan yang seru, terjadi kesalahpahaman yang membuat Matter terlibat dalam aksi spionase. Finn (Michael Caine) dan Holley (Emily Mortimer) salah mengira Matter sebagai agen dari Amerika. Dengan tololnya, Matter menerima begitu saja tugas yang diberikan oleh Finn dan Holley tanpa berpikir panjang terlebih setelah hubungannya dengan McQueen merenggang karena berbagai kecerobohan yang disulut oleh Matter. Saat Cars bertutur sederhana tentang memaknai arti persahabatan dan kehidupan, maka Cars 2 lebih rumit. Sejak opening scene, kentara sekali bahwa Cars 2 akan diarahkan ke ranah film spionase yang penuh dengan intrik alih-alih sekadar film keluarga yang menceramahi penontonnya dengan setumpuk pesan moral.

John Lasseter dan Brad Lewis mencoba untuk merangkul penonton dewasa yang kebanyakan mencemooh Cars. Sebuah usaha yang patut mendapat apresiasi lebih, namun dengan adanya dua plot utama yang saling bertumpukan membuat penonton cilik agak kesulitan dalam mencerna Cars 2. Selain film menjadi lebih rumit, Cars 2 terasa agak kedodoran di beberapa bagian. Maka Lasseter dan Lewis pun terpaksa mengorbankan salah satu plot demi menyelamatkan film. Sialnya, justru bagian Lightning McQueen yang dipangkas alih-alih Matter. Maka Cars 2 tidak lagi menyorot sepak terjang McQueen di arena balap dan beralih menyoroti usaha Matter dalam menyesuaikan diri dengan ‘profesi barunya’ sebagai mata-mata. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini, tapi perlu diperhatikan bahwa mayoritas penonton Cars 2 datang ke bioskop dengan harapan mendapat sajian adegan balapan yang seru. Maka ketika yang muncul adalah kisah spionase yang serba rumit, ada sedikit rasa kecewa sekalipun plot baru ini sama sekali tidak mengecewakan.

Yang menjadi masalah sesungguhnya adalah keputusan Lasseter dan Lewis mengalihkan posisi poros utama dari McQueen kepada Matter. Dari sekian banyak karakter yang muncul, kenapa harus Matter yang mendapat porsi lebih? Matter adalah tipe karakter yang sulit untuk dicintai oleh penonton. Bahkan saya sendiri sangat sebal dengan karakter ini. Ketololannya tidak bisa ditolerir. Tanpa menjadi tolol pun, Matter sulit untuk mendapatkan simpati. Konsekuensi dari pilihan ini adalah McQueen tergeser, begitu pula dengan karakter lain. Selama 100 menit rasanya sangat tersiksa menyaksikan Matter menguasai layar. Beruntung ada dua karakter anyar keren, Finn dan Holley, yang ditempatkan sebagai penetralisir atas kebodohan-kebodohan Matter sehingga mual penonton pun dapat segera teratasi. Michael Caine dan Emily Mortimer sangat pas sekali membawakan suara dua karakter ini. Gaya Finn dan Holley yang berkelas menjadi daya tarik tersendiri dari Cars 2. Tentu saja Cars 2 masih memanfaatkan animasi khas Pixar yang cantik, tata visual dan suara yang mengesankan sebagai jualan utama. Adegan McQueen dan lawan-lawannya menggila di arena balap digarap sangat serius sehingga terasa lebih greget dan nampol. Disisipkan di sela-sela plot spionase yang memusingkan, adegan balapan ini pun menjadi wake up call yang efektif bagi penonton yang kebosanan. Pada akhirnya, usaha Lasseter dan Lewis dalam memaksakan dua plot besar untuk membaur menjadi satu ternyata berbuah bumerang. Cars 2 memang tidak menjadi sebuah film animasi yang buruk, tapi tetap saja mengejutkan melihat Pixar menelurkan sebuah film animasi berkualitas so-so.
Acceptable

2D atau 3D? Silahkan jajal saja 3D-nya karena Pixar serius dalam menanganinya. Tata visualnya menjadi terlihat ciamik di layar 3D. Adegan balapannya pun flawless.

1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch