April 12, 2012

REVIEW : THE WOMAN IN BLACK


"Don't go chasing shadows, Arthur." - Daily

The Woman in Black memiliki nyaris semua formula yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah film horor yang menyeramkan; desa terpencil, penduduk yang bertingkah laku aneh, hantu anak kecil, matahari yang malu-malu menampakan wajahnya, dan tentu saja sebuah mansion tua yang terlantar. Apabila semua hal ini berhasil dipenuhi, maka James Watkins tidak perlu bersusah payah lagi membuat penonton merasa tidak aman di dalam bioskop. Dengan naskah yang digarap cermat oleh Jane Goldman, The Woman in Black cukup berhasil membuat bulu kuduk berdiri selama nyaris 85 menit. Di kala genre horor disesaki dengan tema kesurupan yang dikemas dalam bentuk found footage, Watkins justru kembali ke cara yang klasik. Hantu-hantu gigih yang tidak kenal lelah dalam menghantui menjadi akar permasalahan utama. Tenang saja, The Woman in Black bukanlah sebuah studi karakter, melainkan film horor murni dengan alur yang tenang namun secara efektif sanggup menebar kengerian tanpa terlalu menonjolkan si hantu.

Setelah menyelesaikan misinya dalam mengalahkan Pangeran Kegelapan, Daniel Radcliffe rupanya tidak melanjutkan mimpinya untuk menjadi Auror di Kementrian Sihir, melainkan memilih untuk bekeluarga dan bekerja sebagai pengacara. Radcliffe adalah Arthur Kipps, seorang pengacara di era Victoria yang mendadak menjadi single parent setelah istrinya meninggal tatkala melahirkan anak pertama mereka. Empat tahun berselang, Kipps terbentur dengan masalah finansial. Firma tempatnya bekerja tidak membuat segalanya menjadi lebih baik. Kipps dikirim ke sebuah desa di utara, Crythin Gifford, guna menyelesaikan urusan kliennya yang telah tiada, Alice Drablow, yang memiliki sebuah rumah mewah bernama Eel Marsh House. Crythin Gifford digambarkan sebagai sebuah desa yang sangat bertolak belakang dengan Stepford. Tidak ada penduduk desa yang memberikan sambutan hangat, bahkan palsu sekalipun, kepada Kipps, kecuali Sam Daily (Ciaran Hinds) yang istrinya memiliki gangguan kejiwaan. Pekerjaan Kipps dipersulit. Beberapa kali mereka memintanya untuk segera meninggalkan desa. Namun Kipps tetap keukeuh untuk tinggal selama pekerjaannya belum tuntas.

Keputusan yang tentunya harus dibayar mahal oleh Kipps. Dia terseret ke dalam serentetan kejadian paranormal yang menimpa desa tersebut. Kejadian yang tidak hanya mengundang rasa ingin tahu Kipps, tetapi juga penonton. Apa yang sebenarnya terjadi di desa tersebut? Bersamaan dengan munculnya rasa penasaran yang membuncah, perasaan tidak nyaman pun mulai menggelayuti. Intensitas kemunculan si hantu meningkat terhitung semenjak Kipps menginjakkan kaki di pulau terpencil milik Drablow. Watkins tetap berusaha menjaga agar si hantu tidak kelewat narsis. Akibatnya, adegan-adegan sunyi minim iringan musik yang melibatkan lorong-lorong panjang yang gelap atau taman yang beralih bentuk menjadi hutan membuat penonton menebak-nebak buah manggis dari arah mana kejutan berasal. Tebakan tak selalu benar, tentunya. Dan saya pun dibiarkan tersiksa. Efek yang dihasilkan tak sedahsyat Insidious, tapi tetap saja The Woman in Black membuat bulu kuduk berdiri dan jantung berdegup kencang.

Keberhasilan Watkins ini tentu tak lepas dari kepiawaian Tim-Maurice Jones yang sanggup mengabadikan momen-momen menyeramkan serta lanskap indah yang menyejukkan mata. Salut pula untuk tim production design. Yang sedikit mengecewakan, maka itu adalah Radcliffe dan ending-nya. Radcliffe memang bermain bagus, ada kemajuan ketimbang apa yang dia tampilkan di seri Harry Potter, namun tampangnya yang masih seperti anak sekolahan membuatnya terasa kurang pas ketika membawakan peran sebagai seorang single father. Bayang-bayang Harry Potter pun belum sepenuhnya lepas dari dirinya. Sementara ending-nya kurang memuaskan, tipikal film horor kebanyakan. Bisa jadi kekecewaan ini disebabkan oleh harapan akan durasi yang lebih panjang dengan teror yang semakin menggila. Rasanya seperti saya sedang berada di karaoke booth, menghayati lagu yang tengah mencapai klimaksnya, dan mendadak listrik mati. Ouch. Sekalipun cara penyelesaiannya membuat film ini terasa kurang greget, nuansa horor klasik yang mencekam tetap berhasil dihadirkan. Bukan yang terbaik di genrenya, tapi jelas salah satu yang terunggul dalam beberapa tahun terakhir.

Acceptable

2 comments:

  1. Aah sayang cuma nonton di laptop, kalo di bioskop kayanya bakal seserem & sengagetin Insidious beneran

    ReplyDelete
  2. Horror movie in the theater?

    Hmm, ntar cari temen dulu deh buat barengan... Hehe...


    btw, BATTLESHIP udah rilis lho bro, keren tuch...

    =D

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch