May 26, 2012

REVIEW : MEN IN BLACK 3


“Never ask a question you don’t want to know the answer to”

Apa tugas yang harus dilakukan oleh dua agen berjas hitam rapi yang senantiasa memakai kacamata hitam dengan pekerjaan paling misterius di dunia, Agen J (Will Smith) dan Agen K (Tommy Lee Jones), selama 10 tahun hingga memutuskan untuk rehat menyapa penggemar mereka di layar bioskop? Tidak mungkin alasannya karena uang karena Men In Black II masih sanggup mencetak angka yang terbilang tinggi dari peredaran seluruh dunia, mencapai $441 juta. Bisa jadi, kecaman pedas dari para kritikus film, plus nominasi Razzie Awards, yang membuat Columbia Pictures tak kunjung memberikan lampu hijau untuk pembuatan sekuelnya. Berbagai spekulasi pun bertebaran, sementara para pecinta film tidak lagi menaruh harapan untuk menyaksikan kelanjutan sepak terjang dari dua agen ini dalam waktu dekat. Apakah proyek ini telah dihentikan? Terlalu sayang untuk dilepaskan. Benar saja, setelah sekian lama tak ada kabar, Men In Black 3 mendadak muncul dan direncakan untuk tayang pada Mei 2012. Whoaaa... sungguh sebuah pertaruhan. Menghilang selama 10 tahun, apa masyarakat masih tergugah untuk menyaksikan bagian ketiga dari Men In Black sementara film-film besar macam The Avengers, Battleship, dan Prometheus dirilis dalam waktu berdekatan? Saran saya, ada baiknya Anda menjajalnya terlebih dahulu. 

Setelah film pendahulunya yang tidak ciamik dengan polesan efek khusus yang kurang cihuy, Men In Black 3 diharapkan mampu membayar semua kesalahan yang diperbuat oleh Barry Sonnenfeld 10 tahun silam. Menambah kuota action di dalamnya, jilid ketiga ini akan menggali lebih jauh masa lalu dari Agen K di tahun 1969. Dengan melompatnya setting ke 40 tahun yang lalu, itu artinya film ini akan memasukkan unsur time travel. Menurut sang sutradara, semua ini berawal dari ide yang dilontarkan oleh Will Smith tatkala syuting Men In Black II. Karena ide yang dianggap sulit untuk direalisasikan apabila menginginkan hasil yang memuaskan inilah film ketiga molor hingga 10 tahun. Well, dengan persiapan yang membutuhkan waktu sedemikian lama dan terencana matang, sudah sepatutnya film ini tak memberikan hasil yang mengecewakan. Dan, yeah... Men In Black 3 is surprisingly good. Walaupun belum mampu menyamai pencapaian film pertama, Men In Black 3 jelas merupakan peningkatan yang memuaskan dari film sebelumnya. Josh Brolin tampil mengagumkan sebagai Agen K muda, wajah, gestur dan cara bicaranya mirip dengan Tommy Lee Jones. Luar biasa. Sementara itu, chemistry yang terjalin antara Smith dan Jones pun kian padu. Tak bisa dibayangkan bagaimana jadinya film ini apabila Jones tidak dilibatkan seperti rencana awal. 

Apa yang terjadi dengan Agen K sehingga Barry Sonnenfeld menciptakan sebuah petualangan yang melibatkan time travel di Men In Black 3? Semuanya berawal dari Boris the Animal (Jermaine Clement) yang berhasil kabur dari penjara Lunar Max yang berlokasi di Bulan dengan tingkat keamanan super tinggi. Rencana utama dari Boris adalah menuntut balas kepada Agen K yang telah merenggut lengan kirinya ketika K tengah berusaha untuk membekuk Boris. Kaburnya Boris dari penjara membuat K menyesali keputusannya untuk tidak membunuh Boris kala itu. Dihinggapi dengan rasa penasaran yang semakin lama semakin berkecamuk, Agen J mencoba untuk menggali informasi seputar hubungan antara rekannya dengan Boris. Belum sempat info didapat, Agen O (Emma Thompson) menghentikannya. Sang partner pun tidak bisa diandalkan. Memilih diam seribu bahasa saat pembahasan mengenai masa lalunya diapungkan. “Never ask a question you don’t want to know the answer to,” begitu yang sering diucapkan oleh K. Ketegangan mulai meningkat saat K mendadak lenyap dari peredaran, tak ada seorang pun dari masa kini yang mengingat kehadirannya dan O menyatakan bahwa K telah tewas 40 tahun lalu. J bingung bukan kepalang. Setelah diwarnai dengan perdebatan yang alot, sebuah kesimpulan berhasil didapat. K dibunuh oleh Boris yang kembali ke masa lalu. Maka demi menyelamatkan rekannya, J pun mau tak mau kudu rela menyusuri portal waktu menuju tahun 1969. Nyatanya, tak hanya menyelamatkan K, J pun menemukan sebuah fakta pahit yang selama ini disimpan rapat oleh K. 

Men In Black 3 memenuhi harapan saya akan sebuah film popcorn super ringan yang menghibur. Jika Anda sedikit kecewa dengan Men In Black II, maka kekecewaan Anda terbayarkan dengan lunas disini. Sudah sepantasnya Barry Sonnenfeld, Etan Cohen dan Columbia Pictures berterima kasih kepada Smith yang telah menyumbangkan ide briliannya seputar time travel dan penggalian masa lalu Agen K. Jilid ketiga ini mempunyai alur cerita yang sungguh mengasyikkan, adegan pembukanya yang melibatkan Nicole Scherzinger pun menjanjikan. Memasuki tahun 1969, petualangan Agen J pun semakin menarik untuk diikuti terlebih karena melibatkan referensi budaya populer, Neuralyzer versi jadul, monocycle, serta Griffin (Michael Stuhlbarg) yang menjadi bintang di paruh akhir. Sekalipun Sonnenfeld menggenjot porsi adegan laga, namun porsinya tetap disesuaikan dengan adegan komedinya yang memang menjadi fokus sejak awal sehingga keseimbangan mampu terjaga menciptakan sebuah ritme yang pas. Ditimpali dengan sebuah ‘twist’ yang cukup mengejutkan plus mengharu biru – percayalah, Anda sangat membutuhkan tissue untuk ini - Men In Black 3 menjadi sebuah hiburan yang komplit.

3D atau 2D? Tak ada yang istimewa dari versi 3D-nya, saya menyarankan Anda untuk menyaksikan Men In Black 3 dalam versi 2D saja. 

Exceeds Expectations




May 17, 2012

REVIEW : BROKENHEARTS


Dalam peta perfilman Indonesia, tidak terlalu sulit untuk menguraikan bagaimana sebuah film drama romantis 'berbicara' lantaran cara bertuturnya yang nyaris serupa dari tahun ke tahun adanya upaya untuk berinovasi. Jikalau ada, hanya satu dua, selebihnya memakai ramuan yang sama dari nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun. Tak mengherankan apabila kata ‘klise’ selalu tersemat di genre ini. Tatkala sineas-sineas dari negara-negara tetangga saling berlomba-lomba melakukan pembaharuan yang menyebabkan genre ini kembali naik daun, sineas-sineas di Indonesia tetap adem ayem seolah tak terpengaruh. Menu yang disodorkan kepada publik tak berubah, tetap itu-itu saja. Para sineas berusaha untuk menguras air mata penonton lewat kisah percintaan yang sudah basi dengan menjadikan penyakit mematikan sebagai tokoh antagonis. Astaga, apakah perfilman di negeri ini sudah kekeringan ide segar sehingga alur cerita dari sebuah film hanya berupa bongkar pasang dari film lain? Dalam Brokenhearts, Helfi Kardit yang mencoba peruntungannya di genre drama romantis setelah sebelumnya selalu berurusan dengan jurig tak menawarkan solusi. Film yang dibintangi oleh Reza Rahadian, Julie Estelle, dan Darius Sinathrya ini tak lebih dari sekadar sebuah film percintaan menye-menye yang menyia-nyiakan bakat akting ketiga pemain utamanya. 

Di atas kertas, Brokenhearts terlihat menjanjikan. Olivia (Julie Estelle) menjalin hubungan cinta yang serius dengan Jamie (Reza Rahadian). Mereka adalah pasangan ideal yang keromantisannya dijamin membuat siapapun merasa iri. Dengan masing-masing telah memiliki pekerjaan yang mapan, hubungan yang melenggang dengan mulus, Jamie berinisiatif untuk membawa Olivia naik ke pelaminan. Akan tetapi, Tuhan rupanya memiliki kehendak lain. Hanya beberapa hari setelah Jamie mengutarakan niatnya, Jamie seolah menghilang ditelan bumi. Tak jelas rimbanya. Selama 6 bulan, Olivia digantung dalam ketidakpastian tanpa pernah sekalipun mendapat kabar dari sang kekasih. Di kala Olivia telah siap untuk menutup pintu hatinya, datanglah seorang novelis berbakat yang tampan nan romantis, Aryo (Darius Sinathrya), dalam kehidupan Olivia. Sekalipun awalnya menolak kehadiran Aryo, secara perlahan-lahan Olivia mulai menunjukkan ketertarikannya. Atas saran dari teman-temannya, Olivia pun memutuskan untuk ‘move-on’ dan menempatkan Aryo di hatinya menggantikan Jamie. Dan dengan benih-benih cinta yang muncul diantara Aryo dan Olivia, apakah film berakhir begitu saja? Tentu saja tidak. Jamie kembali muncul ke permukaan untuk meramaikan pertarungan memperebutkan hati Olivia. 

Satu hal yang bisa disimpulkan usai menyaksikan Brokenhearts adalah film ini sungguh menyiksa. Alurnya yang kelewat lambat diperparah dengan naskah yang dibubuhi dialog-dialog sok puitis yang membuat kening berkerut, telinga terasa gatal dan perut mual-mual. Saya ingin bertanya kepada Anda, apakah menurut Anda sebuah film baru bisa dikatakan romantis apabila dialognya tersusun dari bahasa yang puitis nan dramatis? Saat mendengarnya sekali dua kali, dialog tersebut mungkin terasa efektif, namun tatkala mendengarkannya berulang-ulang kali dan ditebar di nyaris setiap adegan, maka terasa sungguh memuakkan. Seakan belum cukup parah dengan dialog-dialog menjijikan, tiga tokoh utama rekaan Helfi Kardit pun tak sanggup mengundang simpati penonton. Alih-alih menaruh simpati, saya justru dibuat geram melihat apa yang dilakukan oleh Jamie, Aryo dan Olivia di sepanjang film. Apakah di muka bumi ini memang ada orang-orang yang berpendidikan tinggi dengan pekerjaan yang mapan namun memiliki kelakuan setolol mereka? Cinta sanggup membuat orang gila rupanya ditafsirkan oleh Helfi Kardit secara harfiah. Akibatnya, Brokenhearts pun tak ubahnya sebuah kisah percintaan fantasi yang hanya bisa terjadi di dunia Helfi Kardit semata. Jangan harap Anda menemukan sesuatu yang logis di film ini karena logika bercerita telah dipelintir sedemikian rupa. Bahkan Reza Rahadian, Julie Estelle, dan Darius Sinathrya pun tak sanggup berbuat banyak akibat disokong oleh naskah yang tidak memadai. Jika ada yang dianggap sebagai penyelamat film, maka itu adalah sinematografinya yang lumayan cantik serta tentu saja paras rupawan dari para pemainnya. Selain kedua hal tersebut, tak ada yang bisa dibanggakan dari Brokenhearts, sebuah film drama romantis bertempo lambat yang menyiksa dengan dialog-dialog puitisnya yang ‘nggilani’, alur ceritanya yang dipaksakan dan para tokoh yang menjengkelkan. 

Poor 

May 8, 2012

REVIEW : THE AVENGERS


"Superheroes? In New York? Give me a break!"
 
Jaga kondisi fisik serta uang di dalam dompet Anda baik-baik karena dengan munculnya The Avengers di bioskop-bioskop seluruh Indonesia merupakan tanda bahwa parade film-film musim panas telah resmi dimulai! Tahun ini akan terjadi pertarungan yang sungguh menarik. Apakah musim panas tahun 2012 akan menjadi musim panas yang menyenangkan atau malah justru menjemukan? Joss Whedon melalui The Avengers telah menetapkan sebuah standar yang tinggi di babak awal yang mau tidak mau kudu dilampaui oleh film blockbuster lainnya apabila ingin keluar sebagai pemenang. Lupakan saja Battleship yang sudah mencuri start jauh-jauh hari, patokan film musim panas yang sesungguhnya dimulai dari The Avengers. Saat Anda melihat poster atau trailernya secara sekilas, jangan keburu menghakimi, karena percayalah Anda tidak tahu apa yang akan Anda dapatkan sebelum menjajalnya. Bahkan saya pun ditampar oleh Whedon dengan amat keras lantaran terlanjur skeptis jauh sebelum filmnya dirilis. Yang bisa saya katakan kepada Anda adalah, The Avengers memang bukanlah film yang sempurna, bukan pula film superhero yang terbaik, akan tetapi Joss Whedon tahu betul bagaimana cara memerlakukan sebuah film yang beranjak dari komik dengan sepatutnya. 

The Avengers bisa dibilang sebagai versi All-Stars dari superhero-superhero binaan Marvel Comics yang lahir dari pemikiran kreatif Opa Stan Lee dan almarhum Jack Kirby. Menggabungkan beberapa tokoh yang telah memiliki nama serta basis fans yang kuat ke dalam satu film memang bukanlah perkara yang mudah terutama dalam kaitannya memberikan kepuasan kepada para fans. Yang kerap menjadi sumber permasalahan utama adalah pembagian jatah screentime yang tidak merata sehingga fans dari sejumlah tokoh yang menjadi ‘korban’ pun mengamuk. Inilah tantangan yang kudu dihadapi oleh Joss Whedon. The Avengers menggabungkan beberapa tokoh komik terkenal macam Tony Stark aka Iron Man (Robert Downey Jr.), Steve Rogers aka Captain America (Chris Evans), Dr. Bruce Banner aka Hulk (Mark Ruffalo), Thor (Chris Hemsworth), Natasha Romanoff aka Black Widow (Scarlett Johansson), dan Clint Barton aka Hawkeye (Jeremy Renner). Jika Anda menonton film-film adaptasi komik Marvel sebelumnya hingga tuntas, tentu Anda mengetahui kebiasaan mereka dalam menyelipkan post-credit scene di pertengahan atau penghujung film. Nah, keterkaitan adegan-adegan bonus tersebut dengan plot utama menemui titik temunya disini. Samuel L. Jackson yang tampil paling rutin di Marvel Cinematic Universe menjadi tokoh kunci. Beberapa adegan bonus tersebut dimanfaatkan Whedon yang membesut post-credit scene di Thor untuk mengawali kisah. 

Kemunculan tim yang beranggotakan orang-orang berkostum aneh ini dimulai ketika Loki (Tom Hiddleston), saudara tiri Thor, kembali ke bumi untuk membalas dendam atas perlakuan Thor yang membuatnya kehilangan tahta di Asgard. Demi memuluskan rencananya dalam menghancurkan bumi, Loki mencuri Tesseract yang konon merupakan sumber energi yang terbatas - untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai apa dan bagaimana benda ini bekerja, ada baiknya Anda menyaksikan Captain America: The First Avengers terlebih dahulu. Konon, Tesseract disimpan oleh S.H.I.E.L.D. di sebuah laboratorium milik mereka yang lokasinya boleh dikatakan jauh dari peradaban. Dengan kekuatan yang dimilikinya, Loki berhasil menembus sistem pengamanan dengan mudah, menggondol Tesseract dan memengaruhi Hawkeye serta Erik Selvig (Stellan Skarsgard) sehingga mereka membelot kepada S.H.I.E.L.D. Ancaman meletusnya perang dunia yang maha dahsyat akibat ulah Loki inilah yang mendasari direktur S.H.I.E.L.D., Nick Fury (Samuel L. Jackson) untuk membentuk sebuah tim bernama Avengers yang terdiri dari sekumpulan manusia (dan satu dewa) berkekuatan super. Sekalipun mereka memiliki satu misi satu tujuan, rupanya menggabungkan sejumlah orang berkarakter ‘Alpha’ ke dalam satu tim bukanlah hal yang gampang. Masing-masing mempunyai ego tinggi yang saling dikedepankan dengan pemikiran yang seringkali tidak sejalan. Pada akhirnya, saling silang pendapat pun menimbulkan friksi diantara anggota tim. 

Konflik internal yang melanda Avengers ini pun menjadi sebuah suguhan yang menarik sepanjang 142 menit selain upaya mereka dalam menggagalkan usaha Loki dalam menghancurkan dunia. Menyaksikan bagaimana sejumlah karakter super berinteraksi dan dipaksa untuk saling bekerja sama serta mengabaikan ego masing-masing menjadikan The Avengers terasa sedap untuk disantap. Didukung dengan bujet raksasa, sekitar $220 juta, Whedon tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya hanya dengan menghambur-hamburkan uang melalui pameran teknologi super canggih saja melainkan turut fokus pada penulisan naskah sehingga penonton pun sanggup terkoneksi dengan setiap tokoh yang ada. Sekalipun saya jarang sekali dikecewakan oleh film-film adaptasi komik Marvel, saya sama sekali tidak menduga The Avengers akan semenarik ini. Pembagian jatah screentime setiap tokohnya dibagi secara merata, walaupun tentu saja ada tokoh yang lebih menonjol. Iron Man dan Hulk adalah yang terkuat. Dimainkan dengan menawan oleh Robert Downey Jr., Iron Man/Tony Stark yang gemar berkelakar dipersenjatai dengan setumpuk humor cerdas nan menyentil yang mampu membuat penonton tergelak tak habis-habisnya. Sementara Mark Ruffalo, dengan segala ke-awkwardness-an yang dimiliki, malah lebih cocok menjadi Dr. Bruce Banner/Hulk ketimbang Eric Bana maupun Edward Norton. Kredit tersendiri juga patut disematkan kepada Tom Hiddleston yang kali ini terasa lebih hidup sebagai Loki ketimbang saat di Thor

Khusus untuk efek khusus, tidak usah dipertanyakan lagi. Anda yang menggilai pemakaian efek khusus dalam film akan sangat terpuaskan dengan hidangan yang disajikan oleh Whedon. Endingnya yang berlatarkan kota New York yang porak poranda sanggup tampil klimaks nan spektakuler. Untuk mencapai ending, penonton tak dibiarkan menunggu berlama-lama dengan disuguhi adegan-adegan membosankan konyol yang sengaja dipanjang-panjangkan. Adegan aksi yang seru digeber secara wajar dan sanggup berpadu dengan manis bersama naskah cerdas racikan Whedon dan Zak Penn. The Avengers beruntung disokong dengan sejumlah elemen yang dibutuhkan untuk menciptakan sebuah film musim panas yang bagus; drama yang menarik, karakter yang kuat, selera humor yang tinggi, penuh aksi yang menghibur, dan efek khusus canggih. Faktor-faktor inilah yang membuat durasi yang panjang menjadi sama sekali tak terasa. Bagai tengah menempuh perjalanan panjang bersama teman-teman yang menyenangkan dengan sejumlah topik yang seru untuk diperbincangkan serta ditemani musik yang asyik. Sekali perjalanan masih terasa kurang. Usai keluar dari gedung bioskop menyaksikan The Avengers, bisa jadi Anda ingin kembali menyaksikannya.

Outstanding        

      

May 4, 2012

REVIEW : MIRROR MIRROR



“Magic mirror on the wall, who’s the fairest of them all?” siapa yang tidak kenal dengan dialog yang satu ini? Dikutip dari salah satu dongeng terpopuler sepanjang masa, Snow White, rasanya nyaris tidak ada manusia yang tidak mengenalnya. Saking ngetopnya Si Putri Salju, berbagai sineas dari berbagai penjuru dunia pun mengeksploitasinya habis-habisan dalam film, dari mulai adaptasi yang sangat patuh kepada cerita aslinya hingga yang merupakan adaptasi bebas, dari bentuk animasi khusus konsumsi keluarga hingga film dewasa. Tarsem Singh, yang baru saja merilis Immortals, rupanya ikut-ikutan menaruh minat terhadap dongeng ini. Sutradara yang mempunyai ciri khas yang kuat pada visualisasi yang penuh warna ini harus menghadapi Rupert Sanders yang rupanya turut terpesona dengan kecantikan si putri. Keduanya, sama-sama merilis versi film Putri Salju pada tahun ini. Sementara Sanders masih sibuk memberikan sentuhan akhir untuk versinya, Singh telah selangkah lebih maju dengan melemparnya lebih awal ke pasaran dengan titel Mirror Mirror. Didukung oleh Julia Roberts, Lily Collins, Armie Hammer, Nathan Lane, dan Sean Bean, proyek ini tampak menjanjikan. 

Dan apakah memang Mirror Mirror semenjanjikan kelihatannya? Well, tergantung dari ekspektasi yang Anda tanamkan terhadap film ini. Bagi saya, Mirror Mirror adalah salah satu karya terbaik dari Tarsem Singh. Setelah berulang kali dikecewakan melalui karya-karya sebelumnya yang cantik tapi memble, kecuali The Fall tentunya, akhirnya Singh menemukan irama yang tepat untuk film terbarunya. Beranjak dari dongeng yang dikumpulkan oleh Grimm Bersaudara, Mirror Mirror adalah adaptasi bebas dari Putri Salju yang dengan sengaja mengobrak-abrik jalan cerita asli untuk kemudian dibangun alur baru. Tidak seperti versi lainnya yang cenderung menekankan pada unsur romantisme, versi Singh ini memberikan suntikan humor yang lebih banyak. Porsi peran utamanya pun tidak lagi didominasi oleh Snow White (Lily Collins), melainkan diserahkan kepada Evil Queen (Julia Roberts). Demi menciptakan mood yang ceria nan menyenangkan, maka karakter Evil Queen pun dirombak habis-habisan sehingga lebih layak disebut Crazy ketimbang Evil. Ya, Marc Klein dan Jason Keller memosisikan Sang Ratu sebagai pencair suasana yang senantiasa mengocok perut penonton, sekalipun tetap keji. 

Evil Queen yang Anda kenal adalah seseorang yang rela melakukan apapun demi mendapatkan apa yang didambakannya. Dia adalah seorang wanita yang haus akan kekuasaan, harta dan pengakuan. Snow White disingkirkannya hanya karena dia dianggap lebih cantik dari Evil Queen oleh kaca ajaib. Tarsem Singh tetap memertahankan inti cerita seperti apa adanya, akan tetapi dia membubuhkan twist terhadap motif Evil Queen dalam melenyapkan Snow White. Bukan didasari atas kecemburuan perihal keelokan fisik, melainkan oleh permasalahan finansial. Satu-satunya cara untuk memerbaiki kondisi keuangan yang memburuk ini adalah dengan menikahi Pangeran Alcott (Armie Hammer) dari Valensia yang kebetulan mampir ke Kerajaan. Mengetahui fakta bahwa Alcott menaruh hati pada Snow White, maka Evil Queen pun menitahkan pengawal pribadinya, Brighton (Nathan Lane), untuk membunuh putri tirinya tersebut di hutan. Alih-alih menuruti perintah sang atasan, Brighton yang merasa iba justru melepaskan Snow White. Setelah nasibnya sempat terkatung-katung, Snow White akhirnya bertemu dengan tujuh kurcaci yang digambarkan sama sekali berbeda dengan apa yang Anda kenal selama ini. Mereka bukanlah sekumpulan kurcaci yang giat bekerja, ramah, dan menyenangkan, melainkan sekumpulan bandit. Nah lho! 

Tidak butuh waktu lama bagi Snow White untuk memenangkan hati para kurcaci terlebih dengan kecantikan dan pesona yang dia miliki. Rasanya susah untuk menolak permintaan dari sang putri. Maka, Snow White dan ketujuh kurcaci pun bahu membahu untuk menumbangkan rezim lalim dari Evil Queen sekaligus menggagalkan pernikahan Prince Alcott dengan Evil Queen. Yang sanggup diberikan oleh Mirror Mirror, tapi tidak dengan film-film Singh sebelumnya, adalah sebuah tontonan ringan yang menghibur. Masih didominasi dengan visual-visual cantik penuh warna nan mengagumkan yang sebagian besar dipancarkan melalui kostum unik dan luar biasa rancangan Eiko Ishioka, sekali ini Singh mengajak Anda untuk bersenang-senang berkat naskah buatan Klein dan Keller yang mempunyai amunisi yang cukup ampuh dalam membuat penonton tergelak. Ketepatan dalam memilih pemain pun rupanya turut berperan besar dalam menyukseskan film. Baik Julia Roberts, Lily Collins, Nathan Lane, dan sekumpulan aktor yang memerankan kurcaci berperan sangat pas sesuai dengan tuntutan skenario. Susah rasa-rasanya membayangkan mereka digantikan oleh aktor lain. Dengan durasi yang tidak terlalu panjang, alur cerita yang straight to the point, taburan bumbu komedi dan aksi dalam takaran yang tepat, serta visualisasi yang indah, Mirror Mirror cocok dinikmati sebagai tontonan keluarga di kala liburan. Dan, jangan sampai Anda melewatkan adegan bonus saat credit title mulai bergulir yang memertontonkan kemampuan Lily Collins dalam olah vokal dan tari ala Bollywood. Itu adalah bagian terbaik dari film ini.

Acceptable



Mobile Edition
By Blogger Touch