June 29, 2012

REVIEW : AMBILKAN BULAN


"Kowe meh sholat opo meh padu ?" - Kuncung

Semenjak Petualangan Sherina sukses besar saat ditayangkan di bioskop 12 tahun lalu, nyaris semua sineas lokal mencampurkan resep yang sama dalam menghasilkan film keluarga yang tayang di masa liburan sekolah. Berikan saja sejumlah anak yang mengalami petualangan seru di alam terbuka saat sedang liburan ke desa, bernyanyi dan menari dengan riang, kemudian ditutup dengan si tokoh utama menceritakan pengalamannya ini di depan kelas. Resep yang ditemukan oleh Riri Riza dan Jujur Prananto ini pun lantas dianut oleh sejumlah sineas lokal. Bukan berarti mereka menguntit alur Petualangan Sherina secara mentah-mentah, hanya mereka menjadikannya sebagai pijakan utama. Riri Riza, Mira Lesmana dan Jujur Prananto patut bangga karya mereka dijadikan sebagai inspirasi. 12 tahun setelah film yang disebut-sebut sebagai salah satu penyelamat perfilman lokal tersebut rilis, Jujur Prananto kembali menyusun naskah film keluarga dengan resep yang ditemukannya, dan kali ini bekerja sama dengan Ifa Isfanyah yang baru saja menelurkan film apik, Sang Penari. Diberi judul Ambilkan Bulan, film dari Ifa Isfanyah ini khusus dibuat untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum A.T. Mahmud, pencipta lagu anak-anak legendaris yang konon telah menggubah sekitar 500 lagu, yang meninggal pada 6 Juli 2010 silam. Dan apabila Anda selama ini selalu mengeluh Indonesia tidak mempunyai film atau acara yang mendidik, maka Ambilkan Bulan menawarkan sebuah solusi. Bukan yang terbaik dari seorang Ifa Isfansyah memang, akan tetapi sangat sayang jika Anda melewatkannya. 

Ambilkan Bulan berkisah tentang petualangan Amelia (Lana Nitibaskara) yang baru saja ditinggal mati ayahnya (Agus Kuncoro) selama liburan sekolah. Semenjak sang ayah tiada, hidup Amelia terasa hampa. Ibunya, Ratna (Astri Nurdin), adalah seorang wanita karir yang sangat sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk mengurus putri semata wayangnya itu. Kesepian tiada teman, apalagi Amelia tinggal di apartemen mewah dengan lingkungan pertemanan yang terbatas, Amelia menjadikan situs jejaring sosial sebagai tempat pelarian. Melalui Facebook, Amelia berkenalan dengan gadis sebayanya bernama Ambar (Berlianda AN) yang usut punya usut rupanya masih memiliki hubungan pertalian darah dengan Amelia. Terpesona dengan foto-foto keindahan alam di tempat Ambar tinggal yang diunggah ke Facebook, Amelia berencana menghabiskan masa liburan di kampung halaman Ambar. Sayangnya, Ratna tidak bisa ikut lantaran ada pekerjaan di Bali. Alhasil, Amelia pun berangkat bersama sang paman. Tak membutuhkan waktu lama bagi Amelia untuk akrab dengan teman-teman Ambar, seperti Pandu (Hemas Nata), Kuncung (Bramantyo Suryo), dan Hendra (Jhosua Ivan Kurniawan). Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari untuk menjelajahi desa. Petualangan dimulai saat Amelia mengabaikan larangan Ambar untuk memasuki wilayah hutan yang angker dan dihuni oleh Mbah Gondrong yang konon katanya berteman dengan jin serta suka memangsa anak-anak. 

Sebagai sebuah film yang disajikan untuk keluarga, Ambilkan Bulan sukses menuntaskan misinya dalam menghibur. Penonton cilik akan menyukainya, penonton remaja dan dewasa pun masih bisa menikmatinya. Tak hanya berkisah mengenai petualangan Amelia dan kawan-kawannya yang seru, Jujur pun mengupas masalah seputar penebangan hutan secara liar, politik kekuasaan hingga dysfunctional family akibat kurangnya komunikasi. Naskah buatan Jujur Prananto mengalir dengan lancar, renyah, tepat sasaran dan berbicara jujur apa adanya. Tak berhenti sampai di situ saja, Ambilkan Bulan pun dihiasi dengan visual yang cantik berkat polesan CGI dari Kelik Wicaksono yang menawan dan kecekatan Cesa David Lukmansyah dalam mengambil gambar-gambar yang indah. Akting dari para pemainnya, terutama Amelia and the gank, yang natural memberi poin tambahan bagi film ini. Saya yakin, Anda akan jatuh cinta terhadap Kuncung. Celetukan-celetukannya yang polos kerap membuat saya dan para penonton tertawa terpingkal-pingkal, terutama bagi yang paham Bahasa Jawa. Ada lagi yang spesial, yakni kemunculan salah satu band terbaik Indonesia, Sheila on 7, di akhir film. Lumayan mengobati kerinduan saya terhadap band ini. 

Naskah, penggarapan, gambar, dan akting boleh saja cantik, akan tetapi ketiga sektor ini tak akan berjalan dengan baik tanpa dukungan dari lagu-lagu masterpiece karya A.T. Mahmud yang menghiasi sepanjang film. Ada yang dibawakan sesuai versi aslinya, ada pula yang diaransemen ulang. Saya pun bernostalgia ke masa-masa ketika saya masih duduk di bangku SD dengan rasa ingin tahu yang luar biasa besar. Bermain bersama teman-teman di sawah, sungai, dan gunung. Udara masih segar sekali kala itu. Hanya sedikit dari generasi muda zaman sekarang yang tertarik untuk menghabiskan waktu liburannya menikmati indahnya alam ibu pertiwi, kebanyakan lebih memilih untuk nongkrong di depan komputer atau berjalan-jalan di tempat hiburan yang mewah. Lihat saja bagaimana reaksi teman-teman Amelia saat Amelia mengutarakan keinginannya untuk berlibur di desa. Bagi mereka, berlibur di desa sangat kuno dan membosankan. Ifa Isfanyah ingin mengajak generasi muda untuk lebih mendekatkan diri kepada alam. Bertamasya ke Gunung Lawu pun sama menyenangkannya dengan bertamasya ke Universal Studio. Liburan semakin menyenangkan saat ditemani dengan tembang-tembang gubahan A.T. Mahmud. Generasi milenium yang terbiasa mendengarkan lagu-lagu galau tentang jatuh cinta atau patah hati perlu mendengarkan lagu-lagu dari Pak Mahmud. Rasakan magis dibalik kesederhanaannya. Setelah beratus-ratus kata yang telah saya jabarkan di atas, masihkah Anda ragu untuk menyaksikan Ambilkan Bulan di bioskop? Jarang ada lho film Indonesia yang tidak hanya bagus secara kualitas tetapi juga sangat menghibur. Ajaklah teman, sepupu, keponakan, atau anak Anda untuk menyaksikan film keluarga yang sungguh menyenangkan ini.

Exceeds Expectations




June 27, 2012

REVIEW : BRAVE


"If you had a chance to change your fate, would you?" - Merrida 

Yang bisa saya katakan seusai menyaksikan Brave di layar bioskop beberapa waktu lalu adalah saya tercengang. Seraya menunggu post-credit scene datang, saya duduk termenung beberapa saat seraya berusaha mengumpulkan potongan-potongan memori yang tersebar yang menggabungkan antara adegan-adegan dalam film tersebut dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan nyata. Sungguh, saya belum pernah seemosional itu sejak awal tahun ini. Saya pun sama sekali tidak menyangka akan merasa sangat terpengaruh serta terlibat di dalamnya. Saat menyaksikan trailernya, Brave tak terkesan akan menjadi sebuah suguhan yang seindah ini terlebih Pixar tidak lagi menjadi studio animasi yang maha perkasa dalam beberapa tahun belakangan. Maka ketika ekspektasi saya tekan serendah mungkin, bahkan saya sendiri awalnya tidak mengetahui film ini akan bercerita mengenai apa, maka sebuah kejutan manis menghampiri saya. Berharap mendapat kecupan di pipi dari seorang gadis, malah justru diberi kecupan di bibir. Bolehlah kebanyakan orang menyebut Madagascar 3: Europe’s Most Wanted sebagai film animasi terbaik di tahun 2012 sejauh ini, akan tetapi saya tetap berpegang teguh Brave adalah yang terbaik. Sebuah kejutan manis yang sama sekali tidak saya sangka. 

Dalam film besutan Mark Andrews dan Brenda Chapman ini, setting berpindah ke Skotlandia dan tokoh utama diserahkan kepada seorang putri pembangkang bernama Merrida (Kelly Macdonald). Jangan bayangkan Merrida seperti putri khas Disney yang anggun, lemah lembut, penuh kasih sayang, dan senantiasa tampil cantik. Tingkah laku putri sulung dari Ratu Elinor (Emma Thompson) dan Raja Fergus (Billy Connolly) ini luar biasa liar, sama sekali tidak terlihat keanggunan yang biasanya dimiliki oleh seorang putri mahkota. Karakter Merrida yang keras, tangguh, dan menyukai tantangan merupakan warisan dari sang ayah. Dia enggan untuk patuh kepada aturan yang ada. Inilah yang dipermasalahkan oleh Ratu Elinor. Dia menuntut anaknya untuk berperilaku selayaknya seorang putri. Ratu Elinor telah mempunyai rencana untuk putrinya, bahkan jauh sebelum Merrida dilahirkan. Segalanya telah diatur oleh sang ratu. Dasar bandel, semakin dikekang, Merrida malah justru semakin menggila. Tidak ada bedanya antara Merrida dengan ketiga adik laki-lakinya yang tingkah polahnya selalu bikin gemas penonton. 

Hingga sekitar setengah jam film mengalir, saya pun bertanya-tanya, dimana konfliknya? Apakah beruang besar bernama Mor’du yang muncul di awal film dan merenggut kaki kiri Raja Fergus akan muncul kembali sebagai ‘villain’ yang keji? Rupanya tidak. Merrida menolak untuk menjalankan rencana yang telah disusun secara rapi oleh Ratu Ellinor selama bertahun-tahun. Dia tidak ingin menjalani kehidupan layaknya sang ibu. Merrida sama sekali tidak menaruh minat untuk mengemban tanggung jawab kerajaan dan tak menyetujui perjodohan hanya demi memperkokoh posisi klan mereka. Penolakan sang putri membuat Ratu Ellinor geram. Pertengkaran antara ibu dan anak pun tak terelakkan. Dikuasai oleh emosi yang memuncak serta tak mampu berpikir jernih, kedua belah pihak melakukan sebuah kesalahan besar yang membawa sebuah perubahan yang signifikan terhadap kehidupan mereka. Tanpa mengandalkan sosok villain yang dominan, Brave tetap mampu mengaduk-aduk emosi melalui hubungan Merrida dengan Ratu Ellinor yang tarik ulur. 

Siapapun yang pernah mengalami sebuah fase transisi dari seorang remaja labil menuju dewasa hampir dapat dipastikan pernah merasakan bagaimana rasanya cekcok dengan orang tua seputar masa depan. Si orang tua telah membuat perencanaan yang matang, sementara si anak enggan mengikuti dan memilih untuk membuat jalan hidupnya sendiri. Beberapa anak memilih untuk ‘manut’ dengan perkataan orang tua sedangkan yang lain memilih untuk menentang. Dimanakah posisi Anda? Adanya keterkaitan secara personal inilah yang membuat saya sulit untuk tidak jatuh hati kepada Brave, apalagi ending-nya sangat menyentuh. Pixar berkampanye perihal meningkatkan intensitas komunikasi dari hati ke hati antara orang tua dengan anak sehingga miskomunikasi dapat terhindarkan. Sebuah pesan penting yang dikemas dalam film animasi 3D dengan grafis yang luar biasa indah, lembut dan detil serta ditimpali dengan humor yang menyegarkan, petualangan yang seru serta drama yang memikat. Brave memang belum mampu mengembalikan Pixar ke posisi puncak, akan tetapi ini adalah sebuah peningkatan yang melegakan dari Cars 2. Anak-anak dijamin menyukainya. 

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena Brave memiliki post-credit scene di ujung film. Bersabarlah menanti. 

Exceeds Expectations



June 21, 2012

REVIEW : ABRAHAM LINCOLN: VAMPIRE HUNTER


"There is darkness everywhere! You are not the only one who has lost everything!" - Henry 

Jangan tertukar dengan Abraham Lincoln versi Steven Spielberg yang baru akan dirilis di penghujung tahun ini. Abraham Lincoln milik Timur Bekmambetov ini, sekalipun menjumput tokoh yang sama, tidak beranjak dari buku biografi dari presiden ke-16 Amerika Serikat tersebut. Malahan, jalan ceritanya sama sekali fiktif. Well, tidak sepenuhnya fiktif sih, Abraham Lincoln: Vampire Hunter lebih tepat disebut sebagai film fiksi yang mengambil latar belakang sejarah. Ada beberapa peristiwa, dan tokoh tentunya, yang memang ada dalam kehidupan nyata. Timur Bekmambetov mengambil dasar film terbarunya ini dari novel fiksi berjudul sama karangan Seth Grahame-Smith yang turut didapuk menjadi penulis naskah film ini. Dalam imajinasi Grahame-Smith, Abraham Lincoln tidak hanya digambarkan sebagai presiden yang vokal dalam menyerukan penghapusan perbudakan, tetapi juga memiliki rahasia gelap yang hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Rahasia gelap dari Lincoln inilah yang menjadi inti cerita dari film aksi musim panas yang membuat saya menguap lebar beberapa kali ini. 

Sebagai negara liberal yang menjunjung tinggi asas “freedom of speech and expression”, tak mengherankan sebuah karya sastra fiktif yang mencatut tokoh-tokoh dan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah bangsa mampu beredar bebas nyaris tanpa hambatan di Amerika Serikat. Lincoln yang merupakan presiden Amerika Serikat dengan jasa yang luar biasa besar bisa-bisanya dikisahkan memiliki ‘pekerjaan sampingan’ sebagai pemburu vampir. Andaikan sang tokoh utama ini adalah Soekarno atau Soeharto, apa yang akan terjadi? Abraham Lincoln: Vampire Hunter tak mempunyai jalan cerita yang provokatif, selama Anda menontonnya dengan pikiran terbuka, tentu saja. Malahan bisa dikatakan sangat sederhana dan cenderung datar. Lincoln (Benjamin Walker) berniat menuntut balas dendam kepada Jack Barts (Marton Csokas), seorang vampir yang menyebabkan sang ibu meninggal dunia. Dalam perjalanannya mencari keberadaan Barts, Lincoln bertemu dengan Henry (Dominic Cooper) yang menyelamatkan nyawa Lincoln setelah diserang secara brutal oleh seorang vampir. Mengetahui rencana Lincoln, Henry menawarkan bantuan. 

Bantuan yang diberikan oleh Henry berupa pelatihan bagaimana cara menghancurkan vampir. Henry pun meminta Lincoln untuk mengubah rencananya dari sekadar balas dendam memuaskan emosi menjadi peperangan dalam rangka kemanusiaan. Target yang menjadi incaran pun meluas tidak hanya Barts, tetapi juga vampir-vampir kejam lainnya termasuk sang pemimpin kaum vampir, Adam (Rufus Sewell). Di saat menjalankan ‘tugas’ sebagai pemburu vampir inilah, Lincoln berjumpa dengan Mary Todd (Mary Elizabeth Winstead) yang berjasa mengantarkannya terjun ke dunia politik sekaligus menjadi pendamping hidup yang setia di kemudian hari. Di paruh awal film, Bekmambetov mengajak penonton untuk menyelami kehidupan dari sang presiden di kala remaja. Dengan minimnya konflik yang ditebar, fase ini cukup membosankan untuk diikuti. Pembantaian terhadap sejumlah vampir tak berhasil meningkatkan gairah saya untuk tetap memandangi layar bioskop dengan cerah ceria penuh semangat yang menggelora. Saya mulai terkantuk-kantuk. Apa bedanya Lincoln si pemburu vampir dengan Blade selain Lincoln adalah seorang presiden kurang kerjaan yang mau-maunya melayani para penghisap darah ini? Blade masih tetap terlihat lebih keren di mata saya, begitu pula dengan Van Helsing. 

Setelah menit demi menit yang menjemukan, Bekmambetov mulai mengeluarkan jurus andalannya yang telah dia latih sebelumnya dalam Wanted. Sajian berupa visualisasi yang penuh gaya ini sesungguhnya bukan lagi sebuah inovasi yang mencengangkan, apalagi kita baru saja disuguhi sajian yang serupa dalam Sherlock Holmes: A Game of Shadows tempo hari. Adegan aksi dikemas dalam slow-motion dengan pergerakan kamera yang dinamis, editing cepat plus sinematografi yang manis. Memang bukan lagi sesuatu yang segar, akan tetapi masih tetap menyenangkan untuk ditonton. Film mulai lumayan menarik untuk diikuti saat memasuki Act III, khususnya klimaks di kereta yang tengah melaju kencang. Sedikit banyak mengingatkan pada Wanted memang, namun saya tak peduli selama tiket yang telah saya bayar mahal tak terlalu sia-sia. Setelah selama satu jam lebih dininabobokan, akhirnya ada sesuatu yang bisa membuat mata saya sedikit melek. Gerombolan vampir di Abraham Lincoln: Vampire Hunter ini tak terlalu berbeda jauh dengan para vampir di The Twilight Saga. Ompong, tak bertaring. Begitu pula dengan filmnya secara keseluruhan yang nyaris tak memiliki tenaga meskipun telah dihadirkan pemandangan seperti darah muncrat kesana kemari dan potongan tubuh bergelimpangan dimana-mana. Adegan aksinya kurang greget, naskahnya buruk, dan CGI-nya pun kasar. Abraham Lincoln: Vampire Hunter bukanlah sebuah film musim panas yang memuaskan. NEXT!

2D atau 3D? Mari berhemat dengan menonton versi 2D-nya saja. 

Poor



June 15, 2012

REVIEW : MADAGASCAR 3: EUROPE'S MOST WANTED


"In order to get home, we will come up with an act that will blow everyone away!" - Alex

Mari kita menjelajahi daratan eropa bersama empat sekawan penghuni Central Park Zoo yang baru saja terdampar di Afrika! Di jilid ketiga yang berjudul lengkap Madagascar 3: Europe’s Most Wanted ini, Alex (Ben Stiller), Marty (Chris Rock), Melman (David Schwimmer), dan Gloria (Jada Pinkett Smith), menjalani sebuah petualangan yang lebih seru dan konyol dari sebelumnya. Kali ini mereka mau tak mau harus bergabung dengan rombongan sirkus keliling demi menghindari kejaran dari Kapten Chantel DuBois (Frances McDormand), pemimpin satgas pengontrol binatang Monako, yang terobsesi untuk ‘mengoleksi’ kepala Alex. Petualangan mereka bermula dari Monako, berlanjut ke Prancis, Italia, dan berakhir di Inggris. Bagi Anda yang merasa bahwa dua jilid Madagascar yang sebelumnya terasa datar dan membosankan, jangan keburu skeptis dengan seri teranyar ini terlebih dahulu. Dua sutradara franchise ini, Eric Darnell dan Tom McGrath, kembali duduk di bangku penyutradaraan sekali lagi, dan kali ini mendapat bantuan penuh dari pembesut Shrek 2, Conrad Vernon. Hasilnya? Sebuah seri terbaik dari franchise Madagascar. Tontonan keluarga yang seru, menyenangkan, dan tentunya menghibur. 

Permasalahan dalam Madagascar 3: Europe’s Most Wanted dimulai tatkala para pinguin dan simpanse meninggalkan Alex, Marty, Melman, dan Gloria, di Afrika demi mencoba keberuntungan (atau malah justru merampok?) di kasino Monte Carlo. Mengalami mimpi buruk bahwa mereka akan terjebak selamanya di Padang Savana Afrika, Alex pun mengajak konco-konconya – termasuk para kukang yang super rempong – untuk menjemput para pinguin dan simpanse. Monte Carlo bukanlah tempat bagi singa, zebra, jerapah, dan kuda nil. Apabila ingin rencana berjalan dengan mulus, strategi paling jitu harus dipersiapkan. Ah, tapi dimana letak serunya jika segala rencana berjalan dengan semestinya? Para petinggi di belakang layar tidak akan mengizinkan, begitu juga dengan penonton. Rombongan hewan ini tanpa sengaja, tentu saja, menciptakan kekacauan di Hotel De Paris saat menjalankan operasi penyelamatan. Pihak keamanan hotel pun langsung menghubungi petugas pengontrol binatang yang dipimpin oleh Kapten Chantel DuBois yang luar biasa cekatan. Petugas yang sangat menggemari lagu milik Edith Piaf, "Non Je Ne Regrette Rien", ini tak akan menyerah hingga berhasil mendapatkan kepala Alex. 

Adegan pembuka adalah salah satu bagian terbaik yang tidak boleh Anda lewatkan saat menyaksikan Madagascar 3: Europe’s Most Wanted. Adegan kejar-kejaran di Monte Carlo dikemas dengan cepat, seru, dan menyenangkan. Tak hanya dibuat tegang, saya pun berhasil dibuat terpingkal-pingkal melihat tingkah polah para binatang plus Kapten DuBois. Elemen komedi slapstick hiperbolis diterapkan disini. Kelucuan yang hadir memang jarang disebabkan oleh dialog yang cerdas, melainkan berasal dari adegan-adegan yang lebaynya tak ketulungan. Lebay pol! Simak saja bagaimana aksi DuBois saat mengejar para rombongan hewan yang sama sekali tidak masuk akal. Lagipula, mengapa mencari adegan yang masuk akal dalam sebuah film animasi? Selama masih menyenangkan untuk ditonton, tak masalah se-lebay apapun adegan tersebut dikemas. Bagusnya, Madagascar 3: Europe’s Most Wanted pun tak dimuati dengan dialog penuh ceramah. Pesan moral tetap diselipkan tanpa perlu membuat jidat penonton mengerut. 

Rombongan hewan ini kudu mencari cara untuk meloloskan diri dari kejaran Kapten DuBois. Satu-satunya jalan adalah dengan bergabung bersama rombongan sirkus keliling yang terdiri dari Vitaly (Bryan Cranston), Gia (Jessica Chastain), Stefano (Martin Short), dan beberapa hewan lainnya. Pada awalnya, hubungan antara para penghuni kebun binatang dan para hewan sirkus ini kurang baik. Vitaly tak percaya kepada Alex. Namun segalanya berubah setelah Alex dan timnya berhasil membangun kembali kepercayaan diri para anggota sirkus yang telah runtuh akibat trauma masa lalu. Setelah adegan pembuka yang menyenangkan, trio sutradara kembali mengajak para penonton, khususnya anak-anak, untuk bersenang-senang dalam pertunjukkan sirkus yang penuh warna. Saya mendapatkan kepuasan tersendiri tatkala menyaksikan Madagascar 3: Europe’s Most Wanted, kepuasan yang tidak saya dapatkan di dua jilid sebelumnya. Dengan ritme yang berjalan cepat, seru, dan penuh dengan tawa, 85 menit terasa sangat singkat. Lagu ‘Afro Circus’ yang di-remix dengan ‘I Like to Move It’ yang dibawakan oleh Marty atau Chris Rock menjadi sajian penutup yang lezat. Hingga beberapa hari setelah menyaksikan film ini, lagu ini masih ‘stuck’ di kepala saya dan tak henti-hentinya mendendangkannya. Saya kecanduan lagu ini! Jika Anda tengah mencari sebuah tontonan yang sanggup menghibur anak-anak atau keponakan Anda dan tetap bisa Anda nikmati, maka Madagascar 3: Europe’s Most Wanted adalah pilihan yang tepat.

Exceeds Expectations

2D atau 3D? Saya sangat menyarankan Anda untuk menyaksikannya dalam versi 3D. 



June 12, 2012

REVIEW : SOEGIJA


"Jika rakyat kenyang, biarkan Romo yang terakhir merasa kenyang. Jika rakyat lapar, biarkan Romo yang pertama merasa lapar."

Sekitar akhir bulan Mei 2012, para pemilik BlackBerry dihebohkan dengan sebuah broadcast message yang berisi ajakan untuk memboikot film terbaru Garin Nugroho, Soegija, lantaran kontennya yang dianggap sebagai upaya Kristenisasi. Tudingan yang tak beralasan, terlebih filmnya sendiri belum beredar di bioskop manapun. Akan tetapi, bad news is good news. Soegija berhasil menumbuhkan rasa penasaran di beberapa kalangan. Kebenaran akan rumor yang beredar dirasa perlu untuk dibuktikan. Tak hanya para penerima pesan serta pecinta film saja yang menantikan kehadiran film ini, sejumlah gereja dan sekolah-sekolah Katolik pun menghimbau para jemaat dan siswa untuk menyaksikan film ini di bioskop. Hasilnya, dalam 4 hari pemutaran, Soegija selalu dipenuhi penonton. Tiket di beberapa bioskop telah habis terjual hingga beberapa hari ke depan. Dan seketika hal ini pun menjadi pembicaraan hangat. Saya pun sempat bertanya-tanya, apa yang membuat Soegija menjadi begitu spesial sehingga banyak pihak merasa perlu datang berbondong-bondong ke bioskop? Apakah karena film sejarah yang mengangkat tokoh Katolik sangat jarang ditemukan di perfilman nasional? 

Soegija adalah Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama di Hindia Belanda yang juga merupakan pahlawan nasional. Sepak terjang Soegija tak dikemas Garin Nugroho dalam bentuk sebuah film biopik agar tak menjadi film dakwah. Garin memutuskan untuk menyoroti satu fase kehidupan Soegija di tahun 1940 hingga 1949 tatkala Jepang menyerbu Semarang dan Sekutu menduduki Jogja. Sejumlah peristiwa sejarah yang direkam adalah pendudukan Jepang di Indonesia, pecahnya Perang Dunia kedua, pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, deklarasi kemerdekaan Indonesia, Pertempuran Lima Hari di Semarang, hingga Agresi Militer Belanda. Peristiwa-peristiwa besar bersejarah tersebut tak diwujudkan dalam bentuk visual, melainkan hanya dituturkan dalam bentuk berita radio melalui tokoh bernama Pak Besut (Margono). Sungguh mengecewakan. Akan tetapi, tidak ada yang membuat saya merasa lebih kecewa daripada menyadari bahwa Soegija bukanlah film mengenai Soegija. Ini adalah film yang salah judul. Seharusnya Garin Nugroho memberinya judul ‘Soegija dan Kawan-Kawan’ atau ‘Mariyem & Soegija’. Selama 115 menit, sang tokoh utama bahkan muncul tak sampai separuh dari durasi film. Piye iki?  

Armantono dan Garin Nugroho sebenarnya mempunyai ide yang bagus dengan mencoba menciptakan beberapa tokoh fiktif yang dimaksudkan untuk mencerminkan pemikiran dari Soegija (Nirwan Dewanto). Sayangnya, tokoh-tokoh pembantu ini malah justru kelewat dominan sehingga sang tokoh utama pun seakan tak berguna. Saya justru merasa ini adalah film tentang Mariyem (Annisa Hertami), bukan mengenai Soegija. Porsinya dalam film serasa tak utuh dan terkesan sebagai ‘alat jual’ belaka. Penonton yang mengharapkan akan melihat perjuangan Soegija di tanah Jawa hingga beliau mendapat gelar sebagai pahlawan nasional, akan mendengus kecewa. Walaupun sejak awal telah ditekankan bahwa film ini hanya mengambil sepenggal kisah hidup Soegija atau Romo Kanjeng, namun saya sama sekali tidak menduga hasil akhirnya akan seperti ini. Informasi yang dibeberkan supaya kita lebih mengenal sosok beliau teramat sedikit. Jangankan mengetahui masa kecilnya di Solo dan Wirogunan, jasa-jasanya terhadap negeri tercinta ini pun kurang terekspos. Peran penting Romo Kanjeng saat vacum of power, Pertempuran Lima Hari di Semarang, hingga Agresi Militer tak tergambarkan. Hingga film berakhir kita dibiarkan bertanya-tanya, “Apa yang telah dilakukan oleh Soegija sehingga dia dianggap sebagai pahlawan?” 

Terlalu banyaknya tokoh pendukung (dan sialnya, fiktif) yang dijadikan poros menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Dengan durasi yang terbatas, tiap tokoh mendapatkan jatah yang serba sedikit. Tahu-tahu adegan melompat ke adegan lain, tanpa diberi aba-aba. Dan ini terjadi berulang kali. Plot yang melompat kesana kemari tak beraturan membuat film menjadi kurang nikmat untuk dinikmati. Sejumlah adegan yang disiapkan untuk memancing tawa penonton, menciptakan suasana romantis dan membuat emosi bergejolak menjadi terasa hampa. Wibawa Romo Kanjeng pun kurang terlihat akibat kemunculannya yang selalu dalam suasana konyol. Pun begitu, bukan berarti film Garin Nugroho yang paling mudah dicerna ini sama sekali gagal lantaran naskahnya yang berantakan. Soegija masih terbantu dengan akting para pemainnya yang maksimal, musik skor yang indah serta sinematografi plus tata artistik yang patut diacungi jempol. Pemilihan lokasi syutingnya pun tepat. Suasana Tanah Air di tahun 1940-an tervisualisasikan dengan baik. Kucuran dana sebesar Rp 12 Miliar sama sekali tak sia-sia. Sungguh disayangkan gambar yang sudah tertata rapi dan cantik dinodai oleh naskahnya yang kurang ciamik. Soegija terasa seperti buatan sutradara debutan, bukan seorang Garin Nugroho.

Poor



June 9, 2012

REVIEW : PROMETHEUS


"Big things have small beginnings." - David

Perkenalkan, Adam Prakasa atau @dwiadam nama yang dipilihnya untuk dipakai di Twitter. Dia adalah mahasiswa kedokteran bertubuh tinggi gempal yang menggemaskan sehingga saya sering memanggilnya ‘Paman Gembul’. Beberapa dari Anda mungkin sudah mengenalnya dengan cukup baik, meski saya yakin sebagian besar dari Anda baru sekali ini mendengar namanya. Sampai disini, Anda tentu bertanya-tanya, “apa yang sangat spesial dari sosok Dwiadam sehingga Cinetariz merasa perlu memerkenalkannya di awal review ‘Prometheus’?”. Well, yang perlu Anda ketahui, Dwiadam hanyalah mahasiswa biasa yang sangat menggemari film seperti saya, dia bukanlah seorang publik figur maupun selebtwit, tidak ada yang khusus dari dirinya, kecuali... Dia adalah penggemar fanatik franchise Alien. Silahkan saja tanyakan apapun tentang franchise itu kepadanya, khususnya apabila bersinggungan dengan Ellen Ripley (Sigourney Weaver) atau heroine. Saya bahkan menaruh curiga dia merupakan bagian dari tim marketing di 20th Century Fox. Sejak proyek Prometheus diumumkan, Adam nyaris tidak pernah absen untuk memberikan perkembangan terbaru seputar proyek ini. Ketika akhirnya Prometheus rampung dan siap rilis di bioskop-bioskop seluruh dunia, setiap hari setiap jam setiap menit setiap detik, Dwiadam berkicau mengenai Prometheus. Aktifkan fitur ‘mute’ jika sudah tidak tahan. 

Pada awalnya, saya tidak terlalu menantikan Prometheus. Alien dan Aliens adalah film yang nyaris sempurna ditilik dari berbagai sisi, sementara sekuel dan spin-off-nya sama sekali tidak penting. Kekecewaan terhadap 4 film sebelumnya membuat saya cenderung skeptis terhadap jilid teranyar ini sekalipun kicauan Dwiadam yang bersifat persuasif sebenarnya membuat saya sedikit tergoda untuk mengintip ada apa saja di jilid teranyar ini. Yang kemudian membuat saya tertarik untuk segera menjajalnya adalah tatkala mengetahui Ridley Scott akan kembali duduk di bangku penyutradaraan, 33 tahun setelah Alien rilis. Dan, jajaran pemainnya pun menggoda. Segera saja Prometheus masuk ke dalam jajaran ‘kuda hitam’ untuk Summer Movies 2012. Pertanyaan yang seringkali diapungkan menjelang detik-detik perilisan adalah apakah Prometheus ini adalah sebuah sekuel, prekuel, reboot atau spin-off? Anda harus menyaksikannya sendiri untuk mengetahui jawabannya meskipun Scott telah menekankan bahwa ini adalah sebuah film yang berdiri sendiri. Saya sepakat dengan Ridley Scott untuk hal ini. Anda tidak perlu menyaksikan semua film yang tergabung dalam Alien franchise sebelum menyaksikan film ini, walaupun akan lebih baik bagi Anda dalam memahami film apabila telah menyaksikan Alien. 

Dengan adegan pembuka yang layaknya gabungan antara The Tree of Life dan 2001: A Space Odyssey - yang itu berarti indah dan mencengangkan - Prometheus berjalan cukup lambat selama kurang lebih satu jam pertama. Jon Spaihts dan Damon Lindelof mengajak penonton untuk membahas sebuah topik yang berat, hakikat eksistensi manusia. Sebuah topik yang nampaknya akan menjadi sasaran empuk bagi FPI apabila diterapkan dalam film Indonesia lantaran memertanyakan Tuhan sebagai pencipta manusia. Provokatif. Ditemukannya sebuah peta gugusan bintang pada tahun 2089 oleh dua arkaeologis, Elizabeth Shaw (Noomi Rapace) dan Charlie Holloway (Logan Marshall-Green), di Isle of Skye mendorong CEO Weyland Corp. yang ambisius, Peter Weyland (Guy Pearce), untuk membentuk sebuah tim ekspedisi dengan misi untuk mengungkap misteri seputar awal mula kehidupan manusia. Sekali ini bukan Nostromo yang digunakan untuk mengangkut para kru, melainkan Prometheus. Selain Shaw dan Holloway, turut bergabung bersama mereka yakni Meredith Vickers (Charlize Theron), Janek (Idris Elba), dan sebuah robot dengan emosi layaknya manusia yang kompleks, David (Michael Fassbender). Penonton mulai mendapatkan teror yang sesungguhnya sesaat setelah Prometheus mendarat di LV 223 dan mendapati kenyataan sesungguhnya mengenai Sang Pencipta. 

Dengan desain poster berupa pahatan besar menakutkan berbentuk kepala, penonton awam yang tidak tahu menahu soal film ini bisa jadi akan melontarkan komentar-komentar seperti, “film yang absurd”, “apa sih maunya film ini?”, atau “jelek, aksinya kurang”. Saya mendengarnya beberapa kali usai menonton Prometheus. Bukan sesuatu yang mengherankan mengingat film ini memiliki plot yang terbilang rumit, dialog-dialog filosofis, serta alur yang bergerak cukup lambat setidaknya di paruh awal. Kemunculan badai secara mendadak memberikan petunjuk kepada penonton bahwa Scott telah siap untuk meningkatkan tensi film. Inilah yang ditunggu-tunggu sejak awal film. Teror yang mencekam pun melingkupi kapal Prometheus. Singkirkan Alien dan Aliens dari pikiran Anda, maka ketegangan yang ditawarkan oleh Scott disini akan memuaskan Anda. Selama Anda tidak menaruh ekspektasi yang terlampau tinggi, Prometheus akan sanggup membuat Anda kagum. Yang menjadikannya kian lezat, Prometheus didukung oleh visualisasi yang memukau dan akting dari para pemainnya yang ciamik; Noomi Rapace sanggup keluar dari bayang-bayang Sigourney Weaver dengan menciptakan dinamika sendiri untuk karakternya, Charlize Theron dingin dan misterius, dan Michael Fassbender selalu berhasil menjadi pusat perhatian di setiap scene-nya. Sayangnya, tak semua pertanyaan yang muncul sedikit demi sedikit bermunculan seiring berjalannya film dijawab secara memuaskan oleh Scott. Masih ada yang mengganjal di hati. Apakah ini berarti akan ada sebuah sekuel? Bisa jadi. Pun begitu, terlepas dari naskahnya yang meninggalkan cukup banyak lubang, Prometheus masih mampu tertambal dengan tampilan visual yang menakjubkan, aksi yang menghibur serta akting brilian dari ketiga pemain utamanya. Dan apabila setelah menonton Prometheus Anda masih belum paham, silahkan layangkan pertanyaan kepada ahlinya, @dwiadam.

Exceeds Expectations

2D atau 3D? Wajib ditonton dalam 3D. Titik.



June 3, 2012

REVIEW : SNOW WHITE AND THE HUNTSMAN


"You have eyes huntsman, but you can not see! She is the One! I see an end to darkness!"

Tahun ini, kita telah berjumpa dengan dua versi film layar lebar yang berbeda dari cerita rakyat asal Jerman, Snow White. Sama-sama dilempar oleh Universal, Mirror Mirror karya Tarsem Singh yang mencuri start lebih awal menjadikan keluarga sebagai sasaran utama dengan menampilkan visualisasi yang cerah ceria penuh warna dan para pemainnya yang ‘ndagel’. Sementara versi dari sutradara debutan, Rupert Sanders, yang diberi judul Snow White and the Huntsman hadir sebagai sebuah tontonan epik dengan nuansa yang kelam, suram, enigmatik, dan penuh misteri. Sama sekali jauh dari pikiran penonton yang selama ini telah ter-mindset, Snow White adalah produk Disney. Dengan nuansa seperti itu, versi Sanders berusaha untuk menggaet para penonton dewasa. Dengan jalan cerita yang telah usang lantaran telah berulang kali dituturkan oleh berbagai pihak, Anda tentu tidak mengharapkan Snow White and the Huntsman akan unggul dari sektor naskah, bukan? Sekalipun naskah rekaan Evan Daugherty memodifikasi cerita asli dengan berbagai pembaharuan, alur ceritanya ya akan tetap seperti itu. Sekarang tinggal bagaimana cara Sanders menghantarkan penonton memasuki dunia Snow White dengan cara yang menyenangkan walaupun tidak ditunjang oleh naskah yang luar biasa. 

Sanders menghantarkan prolog dengan ritme yang cepat dan tangkas, sebuah pembukaan yang meyakinkan dari Snow White and the Huntsman tanpa mengajak penonton berlama-lama merenungi kisah di masa lampau. Hanya membutuhkan beberapa menit setelah film dimulai untuk memasuki inti cerita. Pembantaian terhadap anggota kerajaan yang dipimpin oleh King Magnus (Noah Huntley) di awal kisah menyisakan Snow White (Kristen Stewart) sebagai satu-satunya saksi hidup. Queen Ravenna (Charlize Theron), ibu tiri Snow White yang menjadi otak dibalik aksi keji yang menewaskan sang raja menyekap putri tirinya tersebut di menara kastil. Bertahun-tahun kerajaan di bawah kepemimpinan Ravenna, masyarakat hidup dalam kesengsaraan sementara Ravenna hanya ongkang-ongkang kaki menikmati hidup. Salah satu scene yang menunjukkan betapa Ravenna adalah sosok yang kejam dan tak memiliki hati nurani adalah tatkala dia membiarkan rakyatnya meminum susu bekas air mandinya yang mengucur deras melalui saluran pembuangan. Dan demi mempertahankan paras ayunya serta gelar ‘fairest of them all’ dari cermin ajaib, Ravenna pun tak segan-segan menghisap sari kehidupan para penduduk wanita bak Dementor. 

Segalanya tampak baik-baik saja pada awalnya, dilihat dari kacamata Sang Ratu tentu saja, hingga Snow White beranjak dewasa dan memaksa si cermin ajaib yang transformasinya mengingatkan pada Terminator untuk menyerahkan gelar ‘fairest of them all’ kepada Snow White. Bak anak kecil yang mainannya direbut secara paksa, Ravenna pun meradang. Tidak peduli bagaimana caranya, dia harus kembali menjadi wanita tercantik seantero jagad. Satu-satunya cara untuk memertahankan kecantikannya secara abadi adalah dengan memakan jantung putri salju. Ravenna pun menitahkan saudara sekaligus orang kepercayaannya, Finn (Sam Spruell), untuk membunuh Snow White. Belum sempat Finn menyeret Snow White ke hadapan saudarinya, Snow White keburu kabur dari kastil menuju Dark Forest. Inilah salah satu bagian terbaik dari film ini. Angkat dua jempol untuk tim tata artistik dan CG yang berhasil menciptakan sebuah visual yang luar biasa, sulit untuk tidak mengaguminya. Dan saya masih belum menyebut setting berikutnya, hutan para peri, yang tak kalah hebat serta sangat kontras dengan Dark Forest. Sementara yang terakhir cenderung kelam menyeramkan dengan sentuhan unsur gothic, maka hutan para peri penuh dengan warna. Dunia dimana Snow White versi Sanders ini tinggal memang seperti perpaduan antara Wonderland dan Middle Earth. 

Tak bisa berharap banyak kepada Finn, Ravenna pun menyewa The Huntsman (Chris Hemsworth) yang memiliki pengalaman mengarungi Dark Forest untuk membawa pulang Snow White. Alih-alih menuruti permintaan si bos, The Huntsman justru membawa Snow White kabur, menyelamatkannya. Tujuannya, menyiapkan Sang Putri agar berani mengkudeta pemerintahan lalim Ravenna. Dalam perjalanan, Snow White dan The Huntsman bertemu dengan sejumlah tokoh yang siap mendukung penuh langkah yang hendak ditempuh oleh Snow White. Beberapa diantara mereka adalah delapan kurcaci - yup, ada delapan, dan dengan polesan special effect wajah dari para pemeran kurcaci diganti dengan wajah dari sejumlah aktor ternama macam Ian McShane, Ray Winstone, Toby Jones dan Nick Frost – penduduk desa yang semuanya adalah wanita, serta Prince William (Sam Claflin), teman masa kecil Snow White yang selama ini mengira dia telah tewas. Petualangan dari Snow White dan konco-konconya pun berjalan cukup seru dengan dukungan special effect yang memikat, dan pertempuran di akhir film berlangsung dengan epik. Semuanya terasa sempurna apabila mengesampingkan akting tanpa emosinya Kristen Stewart dan chemistry hampa yang terjalin antara Snow White, The Huntsman dan Prince Willam. Beruntung Rupert Sanders masih mendapat sokongan dari Charlize Theron yang luar biasa cemerlang sebagai Ravenna yang gila (cukup kuatkah untuk sekadar nominasi Oscar?), tim tata artistik dan CG yang solid, serta kemampuannya dalam menciptakan serangkaian adegan yang seru sehingga muka dari para petinggi di Universal masih bisa terselamtkan dan $170 juta tidak terbuang percuma. Pada akhirnya, Anda pun akan diminta untuk memilih versi mana yang lebih Anda sukai, Mirror Mirror yang memiliki cita rasa Disney atau Snow White and the Huntsman yang kelam? Kembali kepada selera masing-masing individu, dan jika saya dipaksa untuk memilih, saya masih lebih menyukai Mirror Mirror.

Acceptable



Mobile Edition
By Blogger Touch