June 12, 2012

REVIEW : SOEGIJA


"Jika rakyat kenyang, biarkan Romo yang terakhir merasa kenyang. Jika rakyat lapar, biarkan Romo yang pertama merasa lapar."

Sekitar akhir bulan Mei 2012, para pemilik BlackBerry dihebohkan dengan sebuah broadcast message yang berisi ajakan untuk memboikot film terbaru Garin Nugroho, Soegija, lantaran kontennya yang dianggap sebagai upaya Kristenisasi. Tudingan yang tak beralasan, terlebih filmnya sendiri belum beredar di bioskop manapun. Akan tetapi, bad news is good news. Soegija berhasil menumbuhkan rasa penasaran di beberapa kalangan. Kebenaran akan rumor yang beredar dirasa perlu untuk dibuktikan. Tak hanya para penerima pesan serta pecinta film saja yang menantikan kehadiran film ini, sejumlah gereja dan sekolah-sekolah Katolik pun menghimbau para jemaat dan siswa untuk menyaksikan film ini di bioskop. Hasilnya, dalam 4 hari pemutaran, Soegija selalu dipenuhi penonton. Tiket di beberapa bioskop telah habis terjual hingga beberapa hari ke depan. Dan seketika hal ini pun menjadi pembicaraan hangat. Saya pun sempat bertanya-tanya, apa yang membuat Soegija menjadi begitu spesial sehingga banyak pihak merasa perlu datang berbondong-bondong ke bioskop? Apakah karena film sejarah yang mengangkat tokoh Katolik sangat jarang ditemukan di perfilman nasional? 

Soegija adalah Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, uskup pribumi pertama di Hindia Belanda yang juga merupakan pahlawan nasional. Sepak terjang Soegija tak dikemas Garin Nugroho dalam bentuk sebuah film biopik agar tak menjadi film dakwah. Garin memutuskan untuk menyoroti satu fase kehidupan Soegija di tahun 1940 hingga 1949 tatkala Jepang menyerbu Semarang dan Sekutu menduduki Jogja. Sejumlah peristiwa sejarah yang direkam adalah pendudukan Jepang di Indonesia, pecahnya Perang Dunia kedua, pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki, deklarasi kemerdekaan Indonesia, Pertempuran Lima Hari di Semarang, hingga Agresi Militer Belanda. Peristiwa-peristiwa besar bersejarah tersebut tak diwujudkan dalam bentuk visual, melainkan hanya dituturkan dalam bentuk berita radio melalui tokoh bernama Pak Besut (Margono). Sungguh mengecewakan. Akan tetapi, tidak ada yang membuat saya merasa lebih kecewa daripada menyadari bahwa Soegija bukanlah film mengenai Soegija. Ini adalah film yang salah judul. Seharusnya Garin Nugroho memberinya judul ‘Soegija dan Kawan-Kawan’ atau ‘Mariyem & Soegija’. Selama 115 menit, sang tokoh utama bahkan muncul tak sampai separuh dari durasi film. Piye iki?  

Armantono dan Garin Nugroho sebenarnya mempunyai ide yang bagus dengan mencoba menciptakan beberapa tokoh fiktif yang dimaksudkan untuk mencerminkan pemikiran dari Soegija (Nirwan Dewanto). Sayangnya, tokoh-tokoh pembantu ini malah justru kelewat dominan sehingga sang tokoh utama pun seakan tak berguna. Saya justru merasa ini adalah film tentang Mariyem (Annisa Hertami), bukan mengenai Soegija. Porsinya dalam film serasa tak utuh dan terkesan sebagai ‘alat jual’ belaka. Penonton yang mengharapkan akan melihat perjuangan Soegija di tanah Jawa hingga beliau mendapat gelar sebagai pahlawan nasional, akan mendengus kecewa. Walaupun sejak awal telah ditekankan bahwa film ini hanya mengambil sepenggal kisah hidup Soegija atau Romo Kanjeng, namun saya sama sekali tidak menduga hasil akhirnya akan seperti ini. Informasi yang dibeberkan supaya kita lebih mengenal sosok beliau teramat sedikit. Jangankan mengetahui masa kecilnya di Solo dan Wirogunan, jasa-jasanya terhadap negeri tercinta ini pun kurang terekspos. Peran penting Romo Kanjeng saat vacum of power, Pertempuran Lima Hari di Semarang, hingga Agresi Militer tak tergambarkan. Hingga film berakhir kita dibiarkan bertanya-tanya, “Apa yang telah dilakukan oleh Soegija sehingga dia dianggap sebagai pahlawan?” 

Terlalu banyaknya tokoh pendukung (dan sialnya, fiktif) yang dijadikan poros menjadi bumerang bagi film ini sendiri. Dengan durasi yang terbatas, tiap tokoh mendapatkan jatah yang serba sedikit. Tahu-tahu adegan melompat ke adegan lain, tanpa diberi aba-aba. Dan ini terjadi berulang kali. Plot yang melompat kesana kemari tak beraturan membuat film menjadi kurang nikmat untuk dinikmati. Sejumlah adegan yang disiapkan untuk memancing tawa penonton, menciptakan suasana romantis dan membuat emosi bergejolak menjadi terasa hampa. Wibawa Romo Kanjeng pun kurang terlihat akibat kemunculannya yang selalu dalam suasana konyol. Pun begitu, bukan berarti film Garin Nugroho yang paling mudah dicerna ini sama sekali gagal lantaran naskahnya yang berantakan. Soegija masih terbantu dengan akting para pemainnya yang maksimal, musik skor yang indah serta sinematografi plus tata artistik yang patut diacungi jempol. Pemilihan lokasi syutingnya pun tepat. Suasana Tanah Air di tahun 1940-an tervisualisasikan dengan baik. Kucuran dana sebesar Rp 12 Miliar sama sekali tak sia-sia. Sungguh disayangkan gambar yang sudah tertata rapi dan cantik dinodai oleh naskahnya yang kurang ciamik. Soegija terasa seperti buatan sutradara debutan, bukan seorang Garin Nugroho.

Poor



3 comments:

  1. Poor? sayang sekali...

    ReplyDelete
  2. Sungguh disayangkan memang. Dari sisi teknis dan akting, film ini bagus. Sayangnya tidak kalau ditinjau dari sisi naskah, kacau sekali. Seandainya Garin Nugroho fokus kepada Soegija (atau satu tokoh pendukung saja), mungkin hasilnya lebih baik. Permasalahannya adalah terlalu banyak yang ingin diceritakan sementara durasi terbatas sehingga hanya sekelumit yang berhasil tersampaikan.

    ReplyDelete
  3. "Apa artinya jadi bangsa merdeka jika tak sanggup mendidik diri sendiri? (Romo Soegijapranata-"Soegija")

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch