July 31, 2012

REVIEW : STREETDANCE 2


Dengan penuh rasa percaya diri, StreetDance 2 memajang tagline “Bigger, Better, Bolder, Back!” besar-besar di poster mereka. Tagline yang buruk, sesungguhnya, namun cukup efektif untuk memancing rasa penasaran penonton, khususnya bagi yang terhibur dengan jilid pertamanya. Seperti halnya ketiga seri Step Up, StreetDance 2 pun dapat dinikmati sebagai sebuah film yang berdiri sendiri tanpa harus menilik seri sebelumnya supaya bisa memahami alur ceritanya. Dari belasan tokoh utama, hanya Eddie (George Sampson) yang kembali menyapa penonton, sisanya menghilang entah kemana. Bahkan sepanjang film pun sama sekali tidak diungkit. Sementara itu, Max Giwa dan Dania Pasquini masih menempati kursi penyutradaraan, sedangkan untuk urusan naskah, Jane English masih siap sedia untuk dipusingkan dalam merajut kata-kata menjadi sebuah cerita yang memiliki alur yang berkesinambungan. Didukung oleh tim inti yang sama dengan mimpi yang lebih ambisius dari sebelumnya demi menciptakan sebuah sekuel yang lebih menggelegar, StreetDance 2 sekilas nampak menjadi sebuah proyek yang menjanjikan bagi saya. Ya setidaknya sebelum saya mencicipi 10 menit pertama dari film ini. 

Layaknya mayoritas film tari-tarian, StreetDance 2 pun masa bodoh dengan naskah. Anda tidak akan menemukan alur cerita yang terjalin rapi, atau penokohan yang kuat disini. Film yang dirilis di Inggris pada bulan Maret lalu ini murni mengandalkan serangkaian adegan tari serta 3D yang pop-up sebagai alat jual. Di film sebelumnya, hal itu berhasil, namun tidak untuk kali ini. Permasalahan dimulai tatkala Ash (Falk Hentschel), seorang penjaja popcorn, mencoba pamer kemampuan nge-dance-nya di hadapan grup tari Invicible yang sombongnya amit-amit. Bukannya menuai pujian, Ash justru dicemooh lantaran terjatuh di tengah-tengah usahanya untuk mencuri perhatian. Adalah Eddie yang kemudian menghampirinya setelah peristiwa memalukan tersebut. Eddie mengajukan diri untuk menjadi manajer Ash agar Ash dapat membalas dendam kepada Invicible dalam turnamen Street Dancing Final Clash di Paris. Tanpa basa-basi, duo ini pun mengunjungi berbagai negara di Eropa untuk mengumpulkan penari-penari jalanan yang mumpuni untuk disatukan dalam tim yang dipimpin langsung oleh Ash. Untuk meraih kemenangan, maka dibutuhkan sebuah inovasi – yang sayangnya tidak pernah terlintas di benak sang penulis skenario! Ash mencoba untuk menambahkan elemen Latin ke dalam streetdance timnya. Caranya, dengan merekrut seorang penari Salsa, Eva (Sofia Boutella). 

Naskah StreetDance 2 yang luar biasa dangkal kian diperparah dengan akting para pemain yang ala kadarnya. Film pun ternoda. Penonton tidak pernah diberi kesempatan lebih jauh untuk mengenal para tokoh utamanya, bahkan kepada Ash dan Eva. Latar belakang Ash dan Eva tetap menjadi misteri hingga film berakhir. Akibatnya, bagi saya, mereka adalah orang asing. Dengan begini, saya enggan untuk menaruh simpati kepada mereka. Seakan belum cukup, StreetDance 2 pun nyaris tidak dibekali konflik yang dapat membuat penonton gregetan. Beban konflik sudah sedemikian ringan, penyelesaiannya pun serba mudah dan cepat. Pada satu titik, saya merasa sedang menonton sebuah film TV buatan Disney Channel alih-alih film layar lebar. Tak ada harapan di departemen akting dan naskah, maka saya pun berusaha untuk fokus kepada koreografi tari. Beruntung, sekuel dari StreetDance 3D ini masih memiliki cukup amunisi. Harus diakui, segala ragam tarian yang digeber nyaris tiada henti di sepanjang film cukup menghibur, sekalipun beberapa diantaranya terasa melelahkan untuk diikuti. Yang paling mencuri perhatian, tentu saja, adalah ‘final battle’ yang memertemukan Invicible dan Popcorn – tim Ash – di atas panggung Final Clash. Dengan 3D yang pop-up, maka adegan ini menjadi sebuah penutup yang apik setelah 70 menit sebelumnya berjalan dengan datar. Berkat adegan ini pula, film terselamatkan. Setidaknya waktu dan uang saya yang berharga tidak terbuang dengan percuma. Masih ada yang layak untuk disimak. Untuk mengakhiri review ini, saya ingin mengatakan kepada Anda bahwa tagline film ini sama sekali tidak bisa dipercaya! Hanya kata ‘back’ yang bisa Anda pegang. StreetDance 2 tidak lebih baik, tidak lebih besar, maupun tidak lebih berani dari instalmen pertama. Mengecewakan.

Poor



July 30, 2012

REVIEW : FROM UP ON POPPY HILL


Pada awalnya, saya sama sekali tidak yakin terhadap From Up on Poppy Hill. Melihat Goro Miyazaki kembali ke kursi penyutradaraan setelah enam tahun sebelumnya sukses menjatuhkan reputasi Ghibli lewat Tales from Earthsea yang memble adalah sebuah mimpi buruk. Saya pun berdoa, “Tuhan, tolong jangan biarkan putra Hayao Miyazaki ini kembali menodai citra Ghibli seperti yang telah dia lakukan sebelumnya. Berikan keajaiban.” Doa orang yang teraniaya cenderung dikabulkan. Tuhan menjawab doa saya. Karya terbaru dari Goro Miyazaki yang diadaptasi dari manga berseri berjudul sama hasil goresan tangan Chizuru Takahashi dan buah pikiran Tetsuro Sayama ini sama sekali tidak memalukan. Sebuah peningkatan yang amat baik. Agaknya rehat selama enam tahun dipergunakan secara maksimal oleh Goro Miyazaki untuk memelajari kesalahannya, berguru kepada sang ayah, dan menajamkan skill. Hasilnya adalah From Up on Poppy Hill, sebuah film drama romantis yang manis, menghibur dan menyentuh. Tidak memasukkan sedikit pun unsur fantasi, keluaran teranyar dari Ghibli ini menjadi semacam penyegaran bagi Anda yang mungkin sedikit jenuh dengan kisah petualangan berbalut fantasi yang kerap disuguhkan oleh studio animasi jempolan ini. 

Bersetting di tahun 1960-an, tokoh utama dari film animasi terlaris di Jepang tahun lalu ini adalah Umi Matsuzaki (Masami Nagasawa), gadis berusia 16 tahun. Terbiasa hidup tanpa orang tua – sang ayah gugur dalam Perang Korea, sementara sang ibu tengah menimba ilmu di Amerika – menuntut Umi untuk hidup mandiri. Malahan, dengan absennya sang ibu, dia pun mau tak mau harus menggantikan tugas sang ibu dalam merawat kedua adiknya beserta sejumlah orang yang tinggal di Kokuriko Manor. Rutinitasnya setiap pagi diawali dengan mengibarkan bendera isyarat untuk kapal-kapal yang melintasi Pelabuhan Yokohama, dan dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan untuk penghuni apartemen. Pun begitu, Umi digambarkan selalu mengawali hari dengan penuh semangat, tanpa sekalipun mengeluh dan menebarkan keceriaan sekalipun kudu menjalani rutinitas yang menjemukan nan melelahkan. Kebiasannya dalam mengibarkan bendera setiap pagi berhasil mencuri perhatian masyarakat. Bahkan, seorang siswa populer di sekolahnya, Shun (Junichi Okada) menulis puisi untuknya di koran sekolah. Berkat puisi ini, keduanya berkenalan. Umi dan Shun perlahan tapi pasti menjadi dekat. Umi pun bersedia meluangkan waktunya untuk membantu Shun dan Shiro (Shunsuke Kazama) dalam memerjuangkan Quartier Latin – sebuah gedung yang di dalamnya berisi ruang-ruang ekstrakurikuler – yang hendak dirobohkan lantaran dianggap tak lagi layak pakai. 

From Up on Poppy Hill tampil menawan di sektor animasi. Goresan tangan para animator sanggup menghasilkan serangkaian gambar-gambar cantik yang menggambarkan suasana Jepang di tahun 1960-an dengan cukup detil dan realistis sehingga penonton pun turut terbawa suasana. Tidak semenakjubkan apa yang telah diperlihatkan melalui The Secret World of Arrietty, namun tetap mampu membuat penonton terkagum-kagum. Ditilik dari segi penceritaan, naskah olahan Hayao Miyazaki dan Keiko Niwa sebenarnya tidak terlampau istimewa, akan tetapi sanggup menghangatkan hati dan mengaduk-aduk emosi penonton. Karakterisasi dari Umi dan Shun yang kuat menjadi nilai lebih. Penggambaran hubungan percintaan diantara mereka berdua disampaikan secara sewajarnya, tanpa pernah terlalu lebay atau cengeng. Mengalir dengan tenang, ditimpali dengan musik dari Satoshi Takebe yang mengalun indah, pemandangan hamparan laut yang membiru dari atas tebing, rintik hujan di pagi hari, serta hiruk pikuk sebuah sekolah menengah atas, membuat beberapa momen yang melibatkan Umi dan Shun seringkali terasa romantis dan syahdu. Dan untuk sekali ini, Ghibli tidak berkomentar mengenai lingkungan. Sebagai gantinya, disodorkan persoalan menyikapi kehilangan figur seorang ayah, dampak dari peperangan terhadap kehidupan manusia, hingga perubahan ideologi dan filosofi dari sebuah bangsa. Tidak lupa, mengingat film ini bersetting di awal tahun 1960-an, turut disinggung pula bagaimana persiapan Jepang menghadapi Olimpiade Tokyo 1964, salah satunya ditandai dengan usaha untuk merobohkan Quartier Latin yang dianggap sebagai sebuah penghalang modernisasi. Pada akhirnya, From Up on Poppy Hill, sekalipun bukanlah sebuah mahakarya dari Ghibli, merupakan sebuah kemajuan yang membanggakan dari Goro Miyazaki. Dengan kemampuannya yang kian terasah, maka para eksekutif di Ghibli – setidaknya untuk saat ini – tidak perlu mengkhawatirkan masa depan studio mereka. Sedikit lagi, Goro Miyazaki siap untuk mengikuti jejak sang ayah.

Exceeds Expectations



July 23, 2012

REVIEW : THE DARK KNIGHT RISES


"When Gotham is ashes, you have my permission to die." - Bane 

Setelah The Dark Knight yang hadir dengan sangat menawan empat tahun silam, serta mengumpulkan Dollar secara gila-gilaan, maka beban di pundak Nolan teramat sangat besar. Bagaimana caranya mengakhiri trilogi ini dengan spektakuler terutama setelah bagian keduanya langsung memuncak? Dari apa yang terjadi kepada sejumlah film superhero adaptasi komik yang melejit di bagian kedua, jilid ketiganya nyaris tak bisa berbuat apapun lantaran segalanya sudah terlanjur mengagumkan di film keduanya. Hal yang sama bisa saja terjadi pada trilogi Ksatria Hitam ini. Terlebih, hype yang diciptakannya begitu besar, menggema dimana-mana, melebihi film apapun yang dirilis di tahun 2012 ini. Harapan masyarakat, khususnya para ‘hardcore fans’ komik Batman dan Nolan, pun teramat besar. Apakah The Dark Knight Rises mampu menjadi sebuah konklusi yang sempurna dari Batman Nolan? Bagi saya, ya, film ini adalah sebuah hidangan penutup yang manis dan memuaskan. Tidak semenggelegar dan segegap gempita seperti yang saya harapkan, namun tetap saja ini adalah sebuah film yang tidak seharusnya Anda lewatkan apalagi jika Anda mengaku sebagai pemuja Batman dan Christopher Nolan. 

Anda tidak perlu merasa khawatir dengan resensi yang saya tulis ini apabila belum menyaksikan The Dark Knight Rises di layar lebar. Saya tidak sesadis Joker yang menebar ranjau disana sini. Sebisa mungkin, resensi ini menghindari spoiler. Twist adalah bagian terpenting dari jilid akhir sepak terjang Sang Ksatria Hitam milik Christopher Nolan ini. Akan tetapi jika Anda merasa bahwa apa yang akan saya beberkan disini berpotensi merusak kenikmatan Anda dalam menonton, maka sebaiknya Anda pendam saja hasrat untuk membaca hingga usai menikmati hidangan penutup dari Paman Nolan. The Dark Knight Rises bersetting delapan tahun setelah sejumlah peristiwa dalam The Dark Knight terjadi. Film dibuka dengan Komisaris James Gordon (Gary Oldman) yang memberikan penghormatan terakhir untuk Harvey Dent yang telah dianggap sebagai seorang pahlawan bagi masyarakat Gotham City. Pada awalnya, Gordon berniat untuk mengungkap kedok Dent dalam pidatonya ini. Akan tetapi, dia mengurungkan niatnya dengan pertimbangan masyarakat belum siap untuk mendapatkan sebuah kenyataan pahit. Dengan terpaksa, dia menciptakan sebuah kebohongan. Batman (Christian Bale) dijadikan sebagai kambing hitam atas kematian Dent. Nyaris semua lapisan masyarakat memercayai hal ini. Batman menjadi buronan. Sosok di balik kostum kelelawar tersebut, Bruce Wayne, menghilang dari peredaran. Dia asyik mendekam dalam rumah mewahnya. 

Dengan absennya si manusia kelelawar, para pelaku tindak kriminal melihat ini sebagai sebuah kesempatan emas untuk menguasai Gotham City. Bane (Tom Hardy), yang bentuk topengnya membuat dia terlihat bagaikan Hannibal Lecter versi kekar, menjaring pasukan untuk memporak-porandakan Gotham. Hanya dengan sedikit sentuhan saja, Bane sanggup menyingkirkan semua aparat keamanan, menghancurkan pasar saham dan sebuah lapangan futbol. Keadaan menjadi kian memanas saat Bane membocorkan rahasia seputar Dent yang selama ini ditutup rapat oleh Gordon. Masyarakat merasa ditipu. Revolusi kaum anarki pun dimulai. Gotham lumpuh. Di saat seperti inilah, Batman dibutuhkan. Sang Ksatria Hitam harus bangkit untuk menyelamatkan kota tercinta yang berada di ambang kehancuran. Seperti itulah garis besar dari The Dark Knight Rises. Masih banyak yang belum saya paparkan disini. Anda harus mencari tahu sendiri. Naskah yang dikerjakan oleh The Nolans padat berisi. Beberapa pertanyaan yang selama ini mengemuka terjawab dengan cukup memuaskan disini. Durasi yang terbilang panjang sama sekali tidak terasa melelahkan lantaran kelihaian The Nolans dalam mengolah cerita, ketepatan dalam menempatkan sejumlah konflik hingga pembongkaran dalam konklusi yang epik. Selapis demi selapis apa yang penonton ingin ketahui terkuak. Dengan cara seperti ini, rasa ingin tahu penonton berhasil terbangun. Akan tetapi, ada konsekuensi yang harus diterima oleh Nolan akibat ambisi besarnya demi mencapai sebuah penutup yang megah. Hampir mustahil menjejalkan seabrek subplot dan karakter dalam durasi yang serba terbatas. Beberapa karakter dan plot menjadi kurang fokus, tergarap kurang maksimal, dan cenderung terbengkalai. Lihat saja bagaimana nasib Miranda Tate (Marion Cotillard), miliarder yang dipercaya oleh Bruce Wayne untuk menyelamatkan Wayne Enterprises dari keterpurukan, serta Peter Foley (Matthew Modine). Mempunyai peran besar dalam film, namun tersia-siakan. 

Film dimulai dengan perlahan dan suram, setidaknya dalam 30 menit pertama. Setelah sebuah adegan pembuka yang memacu adrenalin, Nolan mulai menurunkan tensi. Paruh awal ini bisa jadi agak sedikit membosankan bagi sebagian orang, namun saya cukup menikmatinya. Arus yang mengalir tenang membuat saya berkesempatan untuk mengenal lebih jauh Bruce Wayne serta para tokoh baru yang jumlahnya tidak bisa dikatakan sedikit. Sesekali humor khas Alfred Pennyworth (Michael Caine) berhasil melumerkan suasana yang seringkali sendu dan depresif. Sejumlah tokoh baru yang hadir disini antara lain Selina Kyle (Anne Hathaway), Miranda Tate, dan John Blake (Joseph Gordon-Levitt). Anda tentu sudah mengenal Selina Kyle. Dia adalah Catwoman. Tidak seperti versi Michelle Pfeiffer dalam Batman Returns yang cenderung genit, seksi, dan menggoda – namun sangat sempurna hingga sulit untuk ditandingi siapapun – maka Hathaway lebih menonjolkan sisi smart dan humoris dari sosok ini – sebagai catatan, nama Catwoman sama sekali tidak disebutkan disini. Dengan cara yang berbeda dari Pfeiffer, Hathaway mampu menghidupkan karakter ini dengan cemerlang. Sementara Marion Cotillard, seperti biasa, sama sekali tidak mengecewakan. Walaupun porsi tokoh yang dimainkannya serba tanggung, Cotillard tetap berhasil menyihir saya dengan gaya bicaranya yang... ah, menggoda. Joseph Gordon-Levitt, tetaplah seorang Joseph Gordon-Levitt. Sejak pertama kali mencuat lewat (500) Days of Summer hingga sekarang, tidak ada perubahan yang menonjol darinya. Penampilan yang sama dan gaya yang sama. Sulit untuk memandangnya sebagai seorang John Blake. 

Dari deretan cast, selain Hathaway, saya berhasil dibuat terpesona oleh penampilan Michael Caine dan Tom Hardy yang sungguh luar biasa. Setiap momen bersama Caine terasa istimewa. Untunglah, untuk sekali ini, Alfred mendapatkan jatah tampil yang memadai sehingga memungkinkan bagi Caine untuk memperlihatkan kemampuan akting kelas wahidnya dengan tampilan emosi yang begitu kuat. Simak adegan ketika Alfred menceritakan isi surat Rachel Dawes yang sesungguhnya kepada Bruce. Sulit untuk tidak meneteskan air mata melihat ekspresi penyesalan yang teramat tulus dari Alfred karena harus menyembunyikan kenyataan dari orang yang sangat disayanginya. Saya berhasil merasakan rasa sakitnya. Namun, tentu saja, Tom Hardy akan menjadi yang paling banyak dibicarakan mengingat posisinya sebagai musuh utama dari Batman. Bayang-bayang Heath Ledger yang memberikan sebuah penampilan yang sulit untuk ditandingi di film sebelumnya masih juga belum redup. Tom Hardy yang membawakan peran Bane dengan apik – gestur tubuhnya meyakinkan – menjadi ‘korbannya’ sekalipun Joker dan Bane mempunyai penokohan yang berbeda. Teror yang ditebar oleh Joker terasa lebih mengerikan ketimbang aksi brutal yang dirancang oleh Bane. 

Setelah berjalan dengan lambat dan suram pada paruh awal, The Dark Knight Rises perlahan tapi pasti kembali meningkatkan tensinya hingga menuju ke sebuah penutup yang megah, seru, dan mengharukan. Terima kasih banyak kepada Hans Zimmer yang telah melengkapi jilid ini dengan musik skor gubahannya yang luar biasa sehingga setiap adegan dalam film ini menjadi kian bertenaga dan lezat untuk dinikmati. Christopher Nolan berhutang banyak kepada Hans Zimmer. Dan bagi Anda yang mengharapkan adegan aksi yang jor-joran dengan efek khusus yang mencengangkan, jangan keburu kecewa. Walaupun Anda tidak akan menemukannya disini, namun Anda akan tetap menemui serangkaian adegan aksi yang intens. Sebagai sebuah penutup, The Dark Knight Rises memang tidak mengecewakan, sama sekali tidak mengecewakan malah. Nolan memberikan hampir semua yang diinginkan oleh fans Batman dan film-filmnya. Seri penutup dari trilogi Sang Ksatria Hitam ini dibuat dengan lebih ambisius, lebih megah, lebih dalam, lebih suram, lebih rumit, dan lebih seru dari sebelumnya. Walaupun bagi saya Batman Begins dan The Dark Knight masih lebih unggul, khususnya dalam hal penceritaan, The Dark Knight Rises tetaplah sebuah konklusi epik dari Batman Nolan yang akan teramat sayang jika dilewatkan begitu saja.

Exceeds Expectations



July 19, 2012

REVIEW : WHAT TO EXPECT WHEN YOU'RE EXPECTING


"Well, I'm calling it... pregnancy sucks." - Wendy

Film dengan judul yang cukup panjang dan lumayan ribet dalam mengucapkannya ini beranjak dari sebuah sumber yang sangat tidak biasa untuk dijadikan sebagai pijakan dalam menghasilkan sebuah film adaptasi, buku panduan kehamilan. Buku hasil buah pemikiran dari Heidi Murkoff dan Sharon Mazel yang saat ini memasuki edisi keempat ini terbilang laris manis di pasaran dan dianggap sebagai sebuah ‘bible’ bagi para calon ibu di Amerika Serikat. Nah, ketika Lionsgate berinisiatif mengadaptasi buku ini ke dalam bentuk film layar lebar, apakah Anda tidak merasa aneh? Sebuah buku panduan kehamilan dimana di dalamnya tidak mempunyai jalan cerita, kecuali Anda menganggap proses dalam menyambut kelahiran si buah hati adalah cerita, mendadak harus bercerita panjang lebar selama 110 menit. Agak sedikit mengingatkan pada He’s Just Not That Into You, ya? Hanya saja, versi buku dari film yang saya sebutkan terakhir masih bisa dikatakan memiliki sebuah alur cerita. Melihat latar belakang yang seperti ini, maka ada baiknya Anda tidak berharap banyak terhadap sektor naskah di What to Expect When You’re Expecting. Dan memang, seperti yang sudah saya duga sebelumnya, naskah racikan Shauna Cross dan Heather Hach tidak menawarkan sesuatu yang baru, terasa kering dan kurang bertenaga. Andaikan tidak dibantu oleh akting apik para pemainnya, entah bagaimana jadinya film ini. 

Film yang ditangani oleh Kirk Jones, penghasil Nanny McPhee dan Everybody’s Fine, ini menggunakan pendekatan multiplot yang terbagi ke dalam lima cerita yang kesemuanya terikat oleh tema kehamilan. Masing-masing cerita diwakili oleh Jules Baxter (Cameron Diaz), Holly (Jennifer Lopez), Wendy Cooper (Elizabeth Banks), Skyler Cooper (Brooklyn Decker), dan Rosie (Anna Kendrick). Dari sisi Jules Baxter, kita melihat sosok wanita karir gila kerja yang mana kehamilan bukan menjadi suatu alasan bagi dirinya untuk rehat sejenak. Menjadi sosok yang mendominasi dalam hubungan, dimana dia menganggap dirinya adalah si ‘Alpha’, Jules kerap cekcok dengan pasangannya, Evan (Matthew Morrison), lantaran Jules emoh mendengarkan saran dari Evan. Dalam cerita kedua yang menghadirkan Holly sang fotografer, penonton tidak lagi dihadapkan pada permasalahan seputar kehamilan. Holly menjadi satu-satunya tokoh utama wanita dalam film ini yang tidak digambarkan dalam keadaan hamil. Karena tak jua mengandung, Holly dan Alex (Rodrigo Santoro) memutuskan untuk mengadopsi bayi dari Ethiopia. Ketidaksiapan Alex untuk menjadi ayah menjadi sorotan utama disini. 

Plot yang lebih menarik muncul saat penonton diajak untuk menilik kehidupan keluarga Cooper dalam menyikapi kehadiran anggota keluarga yang baru. Wendy Cooper akhirnya berhasil mengandung setelah percobaan selama dua tahun yang tidak membuahkan hasil. Di sela-sela kebahagiaan, Wendy kudu ekstra sabar menghadapi persaingan tiada akhir antara sang suami, Gary (Ben Falcone), dengan sang mertua, Ramsey (Dennis Quaid). Istri Ramsey yang masih muda – hingga seringkali dikira sebagai anaknya -, Skyler, juga tengah menantikan momongan. Sementara dalam kisah terakhir, yang memiliki tone lebih tenang dan tak segegap gempita empat kisah lainnya, menghadapkan Rosie kepada kehamilan yang tidak diinginkan setelah berhubungan badan dengan Marco (Chace Crawford). Tidak menduga akan kebobolan, mereka berdua panik. Beruntung Marco siap untuk bertanggung jawab. Hubungan mereka pun naik tingkat. Di saat Rosie dan Marco kian lengket, sebuah peristiwa yang memilukan terjadi. Sayang durasi yang serba terbatas sementara setumpuk permasalahan belum menemui titik temu memaksa Kirk Jones untuk tidak berlama-lama mengasihani Rosie. Padahal, momen yang mengharu biru ini seharusnya mampu berbicara banyak dan lumayan mengangkat film secara keseluruhan. 

Setelah peristiwa tersebut, Cross, Hach, serta Jones, ‘mencampakkan’ Rosie begitu saja. Kehadirannya tak lagi penting bagi film lantaran klimaks dari kisah Rosie malah sudah dimunculkan di pertengahan film. Dengan kepergian Rossie, maka beban Jones dan rekan-rekan penulis pun berkurang. Mereka dapat fokus ke keempat tokoh lain. Sekalipun beban telah dikurangi, sayangnya tidak ada perubahan yang signifikan dalam penceritaan. Hanya kisah keluarga Cooper yang menarik untuk disimak. Sisanya, membosankan. Untuk soal berdrama ria, What to Expect When You’re Expecting kurang greget. Dua adegan yang berpotensi untuk membuat penonton berlinang air mata tak digarap secara maksimal. Untungnya, selera humornya tidak terlalu payah. Sesekali terasa garing kriuk kriuk masih bisa ditolerir, terutama jika setelahnya masih mempunyai cukup amunisi untuk memecah keheningan dengan tawa yang menggelegar. Ya, film ini secara tidak terduga ternyata mampu membuat saya tergelak beberapa kali. Setelah melewati paruh awal yang membosankan, Jones membawa penonton ke dalam sebuah perjalanan penuh keriangan di paruh berikutnya. Detik-detik menuju proses persalinan adalah adegan terbaik di film ini. Sangat lucu, seru, dan menghibur. Kredit khusus saya berikan untuk Janice (Rebel Wilson) dan Jordan, putra Vic Mac (Chris Rock) yang hiperaktif, yang sukses mencuri layar setiap kali muncul. Dari geng para calon ibu, saya suka dengan Elizabeth Banks yang sedikit banyak mengingatkan saya pada Julie Bowen di Modern Family. Berkat jajaran pemain yang bermain lepas seakan tanpa beban inilah yang menyelamatkan film dari kantong sampah. Dan apabila niatan Anda menonton film ini adalah untuk mendapatkan panduan kehamilan yang bermanfaat, maka urungkan. Film ini hanya meminjam judul. What to Expect When You’re Expecting akan terasa menarik apabila sejak awal Anda berniat untuk dibuat terhibur tanpa berekspektasi apapun. Just enjoy the movie.

Acceptable



July 15, 2012

REVIEW : ICE AGE : CONTINENTAL DRIFT


"No matter how long it takes, I will find you!" - Manny 

Apakah Anda masih menanti-nantikan kelajutan petualangan dari tiga sekawan, Manny (Ray Romano), Sid (John Leguizamo), dan Diego (Denis Leary)? Setelah Ice Age: Dawn of the Dinosaurs yang sukses membuat saya tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata di dalam bioskop, maka saya pribadi menantikan apapun yang berhubungan dengan franchise ini. Entah dibuat dalam bentuk sekuel, prekuel, reboot atau spin-off. Walaupun tidak memiliki sokongan yang kuat dari segi naskah, franchise ini berhasil membawakan sebuah sajian yang seru dan menyenangkan untuk dilahap di masa-masa liburan. Ketiga sahabat berbeda spesies ini pun kembali menjumpai para penikmat film di layar lebih terlebih setelah $886 juta mengucur deras ke dalam kas Blue Sky Studios melalui pengalaman mereka selama mengarungi dunia dinosaurus di bawah tanah. Dalam instalmen keempat yang diberi judul Ice Age: Continental Drift, Manny, Sid, dan Diego – serta Scrat tentunya – dihadapkan pada masalah yang lebih besar, lebih kacau, dan lebih menghebohkan dari sebelumnya. Sebuah perjalanan yang akan membuktikan sebuah pesan moral klise, tapi tetap penting dan relevan, mengenai pentingnya arti dari keluarga dan sahabat. 

Dalam Ice Age: Continental Drift, duo sutradara Steve Martino dan Mike Thurmeier membawa kawanan ini dalam jalinan konflik yang lebih lebar ketika benua es yang mereka tempati mulai terpisah seperti yang kita ketahui saat ini. Akar permasalahan tidak berasal dari alam, melainkan dari maskot Ice Age, Scrat, yang masih saja terobsesi dengan biji acorn sehingga terjadilah perubahan tektonik ini. Kecerobohan Scrat membuat Manny terpisah dari keluarganya dan terpaksa mengarungi lautan menggunakan bongkahan es sebagai perahu bersama Sid dan Diego, serta pendatang baru yang tak henti-hentinya mencuri perhatian, Granny (Wanda Sykes), nenek Sid yang sangat merepotkan sampai-sampai dibuang oleh keluarganya sendiri demi memersatukan kembali Manny dengan sang istri, Ellie (Queen Latifah). Dalam perjalanan ini, mereka bertemu dengan sekawanan perompak yang dipimpin oleh seekor orangutan bernama Captain Gutt (Peter Dinklage). Disini, Gutt ditempatkan sebagai versi gelap sekaligus musuh utama dari Manny. Gutt meminta kumpulan ini untuk bergabung bersamanya dan meninggalkan keluarga mereka, namun Manny menolaknya mentah-mentah. Penolakan ini dianggap sebagai sebuah pelecehan bagi Gutt. Gutt pun menitahkan awak kapalnya untuk memaksa Granny berjalan di atas papan. Belum juga keinginan sang bajak laut terwujud, Diego dan Manny mempunyai ide cemerlang yang membantu mereka meloloskan diri dari Gutt. 

Selain Granny dan Gutt, kita pun diperkenalkan dengan beberapa tokoh baru lain yang bisa jadi akan bergabung bersama Manny, Sid, dan Diego, ke dalam jajaran tokoh utama di film berikutnya. Di plot yang melibatkan Manny beserta konco-konconya, hadir Shira (Jennifer Lopez), yang awalnya menjadi bagian dari kru kapal Captain Gutt, sebagai love interest dari Diego. Sementara untuk plot dimana Ellie menjadi bintang utama, muncul Peaches (Keke Palmer), putri Manny dan Ellie yang telah tumbuh dewasa, serta Louis (Josh Gad), sahabat Peaches yang kerap menjadi bahan olok-olok namun diam-diam memendam perasaan ke Peaches. Yang menjadi benang merah antara kedua plot ini adalah hubungan Manny dengan Peaches. Sebelum mereka terpisahkan, Peaches bertengkar hebat dengan sang ayah yang terlalu protektif. Manny masih memerlakukan putrinya layaknya gadis kecil, sementara dalam realitanya Peaches telah tumbuh dewasa, mencoba untuk mandiri, dan menginginkan kebebasan. Peaches merasakan penyesalan yang begitu mendalam ketika bencana ini terjadi dan membawa Manny jauh darinya. Di tengah-tengah konflik utama, dimunculkan subplot yang bersinggungan dengan proses pencarian jati diri. Peaches ingin bergabung ke dalam kawanan Mammoth remaja yang menganggap diri mereka keren dan populer. 

Semakin sesaknya layar disebabkan tokoh yang muncul kian bejibun serta plot yang kian padat rupanya berpengaruh terhadap Ice Age: Continental Drift secara keseluruhan. Jalinan kisah menjadi terasa kurang fokus dan para tokoh utama pun terpaksa berbagi porsi tampil mereka dengan tokoh lain. Martino dan Thurmeier memang masih mampu menghadirkan keceriaan dan kesenangan khas Ice Age dalam sekuel ketiga ini. Akan tetapi, tidak ada momen istimewa yang sanggup membuat penonton tertawa lepas membahana memenuhi gedung bioskop. Jika Dawn of the Dinosaurs mempunyai momen epik yang melibatkan gas beracun yang menyebabkan kawanan ini – dan juga saya - tertawa tiada henti, maka Continental Drift minim adegan yang benar-benar membuat perut dan rahang sakit malah kebanyakan berujung garing. Beruntung masih ada Granny dan Scrat yang sekalipun tidak luar biasa kocak, namun setidaknya masih membuat saya terhibur. Harus diakui, jilid ini mengalami sedikit penurunan. Ice Age: Continental Drift gagal untuk tampil sebaik ketiga film sebelumnya, meski jika ditilik dari segi animasi semakin memperlihatkan kemajuan.

Note : Jangan datang terlambat. Sebelum film utama diputar, penonton disuguhi film animasi pendek berjudul The Longest Daycare yang dibintangi Maggie Simpson. Malahan, film animasi pendek ini lebih menarik untuk disimak ketimbang Ice Age: Continental Drift. Sebuah film yang cerdas, lucu, menyentuh, dan manis. 

2D atau 3D? Lebih baik Anda menyaksikannya dalam 3D. 

Acceptable




July 13, 2012

REVIEW : SPELLBOUND


Masih lekat di ingatan bagaimana sutradara debutan, Kim Young Tak, sukses menyihir saya dan jutaan penonton lain lewat drama terpuji berjudul Hello Ghost setahun silam. Kombinasi drama dan komedi diracik dengan takaran yang berimbang serta ditangani dengan cermat sehingga sulit bagi penonton untuk tidak mencintainya. Kim Young Tak mengajak penonton untuk menghargai pentingnya sebuah keluarga. Meski disesaki empat hantu yang selalu menguntit si tokoh utama kemanapun dia pergi, Hello Ghost tidak lantas menjadi suguhan yang menyeramkan malah cenderung lucu dan mengharukan. Hal yang berbeda dilakukan oleh sutradara debutan lainnya, Hwang In-ho, dimana dia menyuntikkan sejumlah adegan seram dalam Spellbound atau yang juga dikenal dengan Chilling Romance. Sekilas, Spellbound memiliki premis yang nyaris serupa dengan Hello Ghost. Setelah mengalami peristiwa yang nyaris merenggut nyawa, si tokoh utama diberkahi dengan kemampuan melihat makhluk halus. Kali ini yang mendapat penglihatan tersebut adalah seorang gadis bernama Yeo-ri (Son Ye-jin). Semenjak memiliki indra keenam, Yeo-ri berubah menjadi gadis yang pemurung. Dia memilih untuk menjauhi orang-orang dikasihinya agar mereka tidak terluka. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah besar yang dari luar terlihat angker. 

Sang atasan, Jo-goo (Lee Min-ki), penasaran lantaran Yeo-ri selalu menolak ketika diajak makan malam bersama padahal Yeo-ri telah bekerja untuknya selama kurang lebih setahun lamanya. Belakangan diketahui bahwa si gadis sanggup menciptakan kehebohan yang memalukan di meja makan ketika arak dihidangkan kepadanya. Karena malu, Yeo-ri memutuskan untuk menghindari setiap ajakan Jo-goo. Namun perilaku unik Yeo-ri ini malah justru membuat Jo-goo kian penasaran terlebih wajah Yeo-ri yang senantiasa murung mengindikasikan bahwa dia diliputi dengan berbagai masalah berat. Apa yang menjadi rahasia Yeo-ri terbongkar ketika Jo-goo mengunjungi rumahnya. Rupanya, Yeo-ri bisa melihat hantu. Awalnya, Jo-goo menganggap hal baru ini sebagai sebuah tantangan yang menyenangkan. Apalagi pekerjaannya sebagai pesulap kerap bersinggungan dengan hal-hal gaib. Namun perlahan tapi pasti, Jo-goo mulai menyadari mengapa sang pujaan hati begitu tersiksa dengan kehadiran para hantu ini. Salah satu dari mereka adalah seorang gadis berambut hitam panjang dengan wajah penuh amarah. Dia yang menjadi kunci dari semua masalah. 

Spellbound tidak hadir sebagai sebuah film komedi romantis yang ditebari dengan dialog-dialog manis menggelitik, pemandangan alam Korea Selatan yang aduhai, dan romansa yang mengharu biru. Hwang In-ho turut memasukkan unsur supranatural yang cukup dominan ke dalam jalinan kisah. Anda yang alergi dengan film horror, bersiaplah untuk dikejutkan dengan beberapa penampakan yang harus diakui mampu membuat bulu kuduk merinding. Hwang In-ho memberikan kesempatan kepada penonton untuk mengetahui karakter Yeo-ri lebih mendalam. Kemunculan para hantu yang seringkali mendadak pun tidak terkesan tanpa makna. Hebatnya, sekalipun diwarnai dengan cukup banyak teror, hal ini tidak merusak ritme cerita. Spellbound berjalan dengan cukup rapi, nyaris tidak keluar jalur. Masih tetap romantis, masih tetap mengundang gelak tawa, dan masih tetap mengharu biru seperti drama Korea kebanyakan. Walaupun tidak mampu menandingi kegemilangan Hello Ghost, Spellbound tetap mampu hadir sebagai sebuah film komedi romantis berbalut supranatrual yang cantik.

Acceptable



July 4, 2012

REVIEW : THE AMAZING SPIDER-MAN



"We all have secrets. The ones we keep, and the ones that are kept from us." - Peter 


Batalnya pembuatan Spider-Man 4 membuat para eksekutif di Sony Pictures terpaksa untuk mengalihkan proyek dari yang semula berupa sekuel menjadi reboot. Reboot? Apa tidak terlalu cepat untuk me-reboot sebuah film yang baru saja dirilis 10 tahun silam dengan film terakhir dirilis 5 tahun lalu? Sebuah ide yang sangat gila. Ya, terkesan terburu-buru memang. Bahkan dalam jajaran sutradara dan pemain pun mengalami perombakan total setelah Sam Raimi memutuskan untuk hengkang dari proyek menyusul batalnya pembuatan seri keempat dari si manusia laba-laba yang kelewat ruwet dalam proses pengembangannya. Absennya Raimi, plus Tobey Maguire, membuat para fans dan penikmat film meragukan reboot bertajuk The Amazing Spider-Man ini, terutama bagi yang sudah kadung terpesona dengan style Raimi. Belum juga dirilis, nada sumbang perihal film ini terdengar dimana-mana. Para pembenci Marvel bersorak sorai, sementara tidak sedikit dari fans yang mengeluh dan memunculkan nada pesimistis. Tapi bukankah terlalu cepat menghakimi sementara filmnya sendiri belum rilis? Dan apakah memang Marc Webb tak mampu menggantikan Sam Raimi? Well, dari apa yang saya lihat semalam, dimana saya duduk selama 130 menit dalam kegelapan dengan mengenakan kacamata 3D yang sesungguhnya sangat menyebalkan, keraguan yang selama ini menempel di tubuh The Amazing Spider-Man sama sekali tak terbukti. Malah, The Amazing Spider-Man adalah yang terbaik kedua dalam seri film Spider-Man setelah Spider-Man 2

Mengingat ini adalah sebuah reboot, maka jalinan kisah pun kembali ke awal. Akan tetapi, Anda tenang saja. Versi dari Webb ini tak sama persis dengan Raimi. Masih banyak sisi cerita dari awal mula kelahiran Spider-Man yang bisa digali dengan pendekatan yang berbeda. Di dalam The Amazing Spider-Man, Webb memberikan penekanan lebih dalam terhadap riwayat masa kecil Peter Parker (Andrew Garfield) hingga dia berubah menjadi remaja nerd yang kerap di-bully di sekolahnya. Kita diperkenalkan kepada kedua orang tua Peter, Richard Parker (Campbell Scott) dan Mary Parker (Embeth Davidtz), yang pergi meninggalkan Peter secara misterius dan menitipkannya kepada Uncle Ben (Martin Sheen) dan Aunt May (Sally Field) yang lantas merawat Peter hingga tumbuh remaja. Oia, tak ada Mary Jane dalam film ini. Sebagai gantinya, dihadirkan Gwen Stacy (Emma Stone) yang dalam versi komik merupakan cinta pertama dari Peter. Tokoh ini sempat muncul dalam Spider-Man 3 sebagai orang ketiga dalam hubungan Peter dan MJ, namun disini dia menjadi satu-satunya perempuan yang mengisi hati Peter Parker. Transformasi dari seorang remaja nerd berotak cemerlang menjadi pahlawan yang dipuja puji banyak orang dimulai ketika Peter menemukan sebuah koper milik ayahnya yang berisi berkas-berkas yang kemudian mengantarkan Peter ke sebuah laboratorium penemuan bernama Oscorp dimana sang pujaan hati, Gwen, bekerja paruh waktu. Guna menemukan sejumlah data serta menemui kolega sang ayah, Dr. Curtis Connors (Rhys Ifans), Peter pun menyusup ke Gedung Oscorp. 

Ketika sedang melakukan ‘penyelidikan’, tanpa sengaja Peter tersengat laba-laba elektrik yang telah dimodifikasi secara genetik oleh Dr. Curtis Connors dan sang ayah guna sebuah proyek regenerasi DNA yang diminta oleh Dr. Rajit Ratha (Irrfan Khan). Seperti yang telah Anda semua ketahui, setelah mendapat gigitan laba-laba, Peter pun mulai merasakan efek sampingnya. Dia mendapatkan kekuatan laba-laba. Pada awalnya dia memergunakan hal ini untuk bermain-main, layaknya remaja kebanyakan, sekaligus membalas dendam kepada Flash Thompson (Chris Zylka) yang kerap mem-bully-nya. Namun segalanya berubah setelah sang paman, Ben, tewas tertembak oleh seorang perampok toko. Dilingkupi amarah dan dendam membara, Peter pun membasmi para kriminal guna menemukan si pembunuh dengan memakai sebuah kostum yang terinspirasi dari seorang pegulat, yang kemudian dikembangkannya menjadi kostum non-spandex yang ketat dengan tambahan kacamata hitam plus web shooter. Sayangnya, alih-alih mendapat apresiasi, NYPD justru mengecam tindakan Spider-Man yang dianggap oleh kepala kepolisian sekaligus ayah Gwen, Captain Stacy (Denis Leary), sebagai tindakan anarkis. Belakangan tujuan Spidey pun tak lagi sekadar misi balas dendam setelah menyadari besarnya tanggung jawab yang harus dipikul dengan kekuatan yang dimilikinya. Misinya berganti haluan menjadi melindungi warga New York. Hal ini terutama dipicu setelah hadirnya The Lizard, sebuah monster ganas berbentuk kadal raksasa, yang mengancam keselamatan warga. 

Sungguh melegakan setelah mengetahui bahwa segala macam keraguan yang selama ini disematkan kepada film ini ternyata tak terbukti. Saya mendapatkan 130 menit yang sangat menyenangkan di dalam bioskop. Saking menyenangkannya, kacamata 3D yang biasanya sangat tidak nyaman untuk dikenakan sekali ini nyaris tak berasa. Marc Webb melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dia melakukan segalanya dengan cara dia sendiri, menghasilkan Spider-Man versi Webb, tak terlihat adanya upaya untuk mengopi langkah-langkah Raimi. Naskah yang dikerjakan secara keroyokan oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent, dan Steve Kloves – penulis naskah di versi film Harry Potter – mampu meringkas perjalanan hidup Spidey dengan tangkas, cerdas, dan cermat. Alur kisahnya sendiri beranjak dari komik The Ultimate Spider-Man dan beberapa komik lainnya yang dicampur menjadi satu namun tanpa menghilangkan esensi kisahnya itu sendiri. Webb telah memelajari kesalahan Raimi yang menempatkan lebih dari satu villain dalam Spider-Man 3 yang berakibat kepada goyahnya alur cerita dan film pun lepas kendali lantaran tidak jelas siapa yang hendak dijadikan fokus utama. Dalam The Amazing Spider-Man, musuh yang harus dihadapi oleh Spider-Man hanya berpusat kepada The Lizard. 

Yang membedakan The Amazing Spider-Man dengan Spider-Man jilid awal versi Raimi adalah Webb memberikan penekanan lebih kepada masa lalu Peter Parker serta hubungan romansanya dengan sang love interest. Webb tak ingin film keduanya ini hanya berisi adegan aksi penuh baku hantam dan ledakan dimana-dimana yang kosong dan tak meninggalkan kesan apapun. Apa yang dilakukan oleh sang sutradara adalah berusaha untuk tetap memertahankan cita rasa komik di dalam film, termasuk menonjolkan kisah kasih dari si manusia laba-laba. Yup, yang membedakan superhero kreasi Stan Lee dan Steve Ditko ini dengan superhero lain dari Marvel dan DC adalah kentalnya unsur romantis di dalamnya. Maka tidak heran jika hubungan Peter dan Gwen mendapatkan sorotan lebih dibanding jilid sebelumnya. Mempunyai pengalaman dalam menghasilkan film romantis apik, (500) Days of Summer, membuat Webb tak kagok saat diminta untuk menghasilkan momen-momen istimewa yang manis tanpa harus terlihat cheesy dan tacky. Chemistry antara Andrew Garfield dengan Emma Stone pun terasa luar biasa. Sangat padu, believable, dan cantik. 

Casting yang tepat menjadi salah satu resep kesuksesan dari film ini. Andrew Garfield menginterpresentasikan Peter Parker dengan menelusuri masa lalunya yang kelam serta ambisi-ambisi yang ingin dicapainya. Bagaimana Peter merasa dicampakkan oleh orang tuanya, hingga kemudian tumbuh sebagai remaja dengan otak brilian namun kerap mendapat perlakuan tak mengenakkan. Saat seseorang yang dikasihinya kembali direnggut darinya, kemarahan dan rasa benci menguasai dirinya. Garfield memotretnya dengan sempurna, sanggup membuat penonton merasa bersimpati kepada Peter. Bukan berarti Tobey Maguire gagal dalam menghidupkan sosok Peter dan Spidey, keduanya sama hebatnya dalam tataran yang berbeda. Hanya saja, di tangan Garfield, saya merasa lebih terkoneksi dengan sang superhero hingga dapat turut merasakan bagaimana rasa sakit yang dialaminya. Cara Garfield untuk tetap memertahankan tingkah laku Spidey yang ‘smartass’ pun patut mendapat acungan jempol. Emma Stone pun sangat cocok memerankan Gwen Stacy, sementara barisan pendukungnya seperti Rhys Ifans, Irrfan Khan, Denis Leary, Chris Zylka, Martin Sheen, Sally Field, Campbell Scott, Embeth Davidtz, hingga Max Charles dan C. Thomas Howell jauh dari kata mengecewakan. Kehadiran mereka semakin menguatkan posisi Garfield dan Stone. 

Pada akhirnya, saya akan mengatakan bahwa The Amazing Spiderman is amazing. Seperti biasa, produk Marvel memang jarang mengecewakan. Marc Webb sanggup mengembalikan franchise ini kembali ke jalan yang benar setelah sebelumnya sempat lepas kendali dalam Spider-Man 3. Kisahnya lebih kelam dengan problem psikologis yang dihadapi oleh Peter serta plotnya yang lebih humanis dan penuh dramatisasi, lebih romantis dengan kisah cinta Peter dan Gwen yang unyu-unyu menggemaskan, dan lebih lucu dengan Spidey yang kerap melontarkan dialog-dialog asyik saat beraksi. Anda pun tak usah meragukan adegan aksinya. Tetap seru dengan pameran efek visual yang mencengangkan terlebih film ini menggunakan kamera 3D mutakhir di bawah pengawasan James Cameron langsung sehingga adegan Spidey bergelantungan di antara gedung-gedung pencakar langit terasa lebih nyata. Dengan semua keunggulan yang dimiliki, The Amazing Spider-Man hanya kalah tipis dari Spider-Man 2. Penerjemahan ulang yang dilakukan oleh Webb dalam memerlihatkan transformasi Peter dari seorang remaja biasa menjadi seorang superhero sungguh luar biasa. Lebih bagus, dan lebih detil tentunya, dari apa yang dilakukan oleh Raimi. Tidak ada alasan untuk tidak menonton The Amazing Spiderman. It’s wortch watching, trust me. Go see it in 3D.

Note : Setelah adegan terakhir yang cakep, jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop. Seperti biasa, Marvel menyisipkan sebuah post-credit scene yang merupakan petunjuk penting untuk film berikutnya. 

2D atau 3D? 3D. Anda tidak akan menyesalinya. 

Outstanding




July 2, 2012

REVIEW : CINTA DI SAKU CELANA


"Gua ga minta hal-hal yang gila dari lo. Gua cuma minta lo nyopet cinta." - Ahmad

Cinta di Saku Celana beranjak dari cerita pendek berjudul Cinta di Saku Belakang Celana yang berada dalam kumpulan cerpen "I Didn't Lose My Heart, I Sold It on eBay" yang ditulis oleh sang sutradara, Fajar Nugros. Setelah berbulan-bulan lamanya masyarakat dijejali dengan film romantis cengeng yang menjadikan penyakit mematikan sebagai musuh utama, akhirnya hadir sebuah film komedi romantis dari penulis naskah Tendangan Dari Langit dan pembesut Queen Bee yang tidak disangka-sangka sangat menghibur. Filmnya sendiri terbilang cukup absurd, rasanya hampir mustahil benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Akan tetapi, mengesampingkan plotnya yang ajaib, Fajar Nugros masih tetap sanggup menghadirkan sebuah film yang tidak hanya manis, tetapi juga lucu dan menghibur. Tidak dengan cara yang saru, kasar, maupun menjijikan, namun lebih kepada situasi dan dialog. Salut untuk Ben Sihombing selaku penulis naskah. Ketepatan Fajar Nugros dalam memilih pemain adalah kunci kesuksesan dari film ini. Sejumlah pemain hebat tumpek blek disini. Mulai dari Donny Alamsyah, Joanna Alexandra, Ramon Y Tungka, Gading Marten, Dion Wiyoko, Endhita, hingga Lukman Sardi. Dan saya masih belum menyebutkan Luna Maya, Yati Surachman, Agus Kuncoro dan Masayu Anastasia yang nongol tak lebih dari satu menit namun sukses mencuri perhatian. 

Yang menjadi protagonis utama dalam Cinta di Saku Celana adalah Donny Alamsyah. Dia berperan sebagai Ahmad, petugas di kantor pos, yang ingin merasakan cinta. Tumbuh besar sebagai yatim piatu di panti asuhan, dengan Ibu Panti Asuhan (Vita Ramona) bermuka datar tanpa ekspresi, Ahmad belum pernah merasakan nikmatnya cinta. Dalam konteks ini, kekasih. Ahmad kalah telak dengan sahabatnya, Gifar (Dion Wiyoko), yang dengan mudah menaklukkan hati para wanita, walaupun saya sama sekali tidak yakin cara-cara Gifar menggaet wanita akan berjalan dengan mulus apabila diterapkan di luar film. Sebenarnya ada satu gadis yang membuat Ahmad klepek-klepek setiap kali memandangnya. Gadis tersebut bernama Bening (Joanna Alexandra). Mereka berdua kerap bertemu di gerbong KRL. Hanya saja, tak ada keberanian dalam diri Ahmad untuk mengajak berkenalan Bening. Dan selama kurang lebih satu tahun, alih-alih berusaha untuk pedekate, Ahmad hanya memandanginya saja. Lucunya, Bening pun seakan tidak merasa jika nyaris setiap hari ada seorang pria bertubuh tegap berwajah sangar yang selalu mengamatinya. Kalau Anda adalah Bening mungkin sudah ngeri duluan dan ogah naik KRL lagi, kali ya? 

Atas saran dari Ibu Panti Asuhan dan Gifar, Ahmad membuat semacam surat cinta untuk Bening. Dasar sial, karena kecopetan surat itu pun raib. Rasa percaya diri Ahmad pun runtuh. Segalanya menjadi kian absurd tatkala Ahmad berkenalan dengan pencopet kelas teri bernama Gubeng (Ramon Y Tungka). Masa-masa ketika Ahmad dan Gubeng bersama adalah yang paling saya suka dari film ini. Chemistry yang terjalin diantara mereka terasa asyik dan kompak. Ramon Y Tungka pun membawakan dialognya dalam Boso Suroboyoan asli, bukan Bahasa Indonesia yang sok-sok dibuat medhok, dan ini membuatnya terasa segar dan lucu. Tujuan Ahmad berkenalan dengan Gubeng adalah meminta bantuan untuk mencuri cinta Bening. Nah lho, malah minta bantuan copet. Cinta yang diidam-idamkan oleh sang tokoh utama pun tak semakin mendekat, malah menjadi semakin jauh dan memusingkan. Bening nampak jatuh hati pada Gubeng terutama setelah diselamatkan dari sebuah peristiwa tawuran antar pelajar sekolah di stasiun. Ketika Gubeng menghilang, Bening jatuh ke pelukan ke Roy (Gading Marten), pemilik Laundry sekaligus gembong narkoba.  

Tak seperti film komedi romantis kebanyakan yang cenderung berjalan dengan alur yang linear dan mudah dipahami, Fajar Nugros mengajak para penontonnya untuk berfilosofis serta bermain-main dengan simbol dan metafora yang ditebarnya di nyaris penjuru film demi memberikan penjelasan mengenai cinta. Inilah yang membuat Cinta di Saku Celana menjadi terasa absurd bagi yang tidak terbiasa dengan film semacam ini. Akan tetapi, dengan segala macam simbol yang bermunculan dimana-mana, tidak lantas membuat film ini menjadi berat dan memusingkan. Seperti yang telah saya tulis di awal resensi, ini adalah sebuah film yang menghibur. Terasa segar dengan pendekatan yang terbilang baru untuk film komedi romantis buatan sineas lokal, dan menyenangkan dengan visual yang cantik serta jajaran pemainnya yang berakting lepas. Selain nama-nama yang telah saya sebutkan sebelumnya, Cinta di Saku Celana masih memiliki Imey Liem, Pricillia Tanamal, Eko Kristianto, Baim, dan Vita Ramona yang hanya mendapat porsi tampil sedikit namun sanggup meninggalkan kesan yang cukup dalam. Jangan lupakan pula Tya Subiakto dan Khikmawan Sentosa selaku penata musik dan penata suara yang turut memberikan sumbangsih dalam menyukseskan film ini. Pujian pun patut disematkan kepada Slank yang telah bersedia membawakan lagu tema yang sanggup membuat film menjadi terasa lebih hidup. Secara keseluruhan, meski masih jauh dari sempurna, Cinta di Saku Celana sukses menjalankan misinya dalam menghadirkan sebuah tontonan komedi romantis yang berbeda dari yang sudah-sudah. Judulnya mungkin terdengar cheesy, posternya pun tak menggugah selera, bahkan plotnya sendiri pun ajaib, akan tetapi sulit rasanya untuk tidak jatuh cinta kepada film ini terutama dengan jajaran pemainnya yang tampil menghibur. Sebuah film di masa liburan yang sangat menyenangkan.

Acceptable



Mobile Edition
By Blogger Touch