July 15, 2012

REVIEW : ICE AGE : CONTINENTAL DRIFT


"No matter how long it takes, I will find you!" - Manny 

Apakah Anda masih menanti-nantikan kelajutan petualangan dari tiga sekawan, Manny (Ray Romano), Sid (John Leguizamo), dan Diego (Denis Leary)? Setelah Ice Age: Dawn of the Dinosaurs yang sukses membuat saya tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata di dalam bioskop, maka saya pribadi menantikan apapun yang berhubungan dengan franchise ini. Entah dibuat dalam bentuk sekuel, prekuel, reboot atau spin-off. Walaupun tidak memiliki sokongan yang kuat dari segi naskah, franchise ini berhasil membawakan sebuah sajian yang seru dan menyenangkan untuk dilahap di masa-masa liburan. Ketiga sahabat berbeda spesies ini pun kembali menjumpai para penikmat film di layar lebih terlebih setelah $886 juta mengucur deras ke dalam kas Blue Sky Studios melalui pengalaman mereka selama mengarungi dunia dinosaurus di bawah tanah. Dalam instalmen keempat yang diberi judul Ice Age: Continental Drift, Manny, Sid, dan Diego – serta Scrat tentunya – dihadapkan pada masalah yang lebih besar, lebih kacau, dan lebih menghebohkan dari sebelumnya. Sebuah perjalanan yang akan membuktikan sebuah pesan moral klise, tapi tetap penting dan relevan, mengenai pentingnya arti dari keluarga dan sahabat. 

Dalam Ice Age: Continental Drift, duo sutradara Steve Martino dan Mike Thurmeier membawa kawanan ini dalam jalinan konflik yang lebih lebar ketika benua es yang mereka tempati mulai terpisah seperti yang kita ketahui saat ini. Akar permasalahan tidak berasal dari alam, melainkan dari maskot Ice Age, Scrat, yang masih saja terobsesi dengan biji acorn sehingga terjadilah perubahan tektonik ini. Kecerobohan Scrat membuat Manny terpisah dari keluarganya dan terpaksa mengarungi lautan menggunakan bongkahan es sebagai perahu bersama Sid dan Diego, serta pendatang baru yang tak henti-hentinya mencuri perhatian, Granny (Wanda Sykes), nenek Sid yang sangat merepotkan sampai-sampai dibuang oleh keluarganya sendiri demi memersatukan kembali Manny dengan sang istri, Ellie (Queen Latifah). Dalam perjalanan ini, mereka bertemu dengan sekawanan perompak yang dipimpin oleh seekor orangutan bernama Captain Gutt (Peter Dinklage). Disini, Gutt ditempatkan sebagai versi gelap sekaligus musuh utama dari Manny. Gutt meminta kumpulan ini untuk bergabung bersamanya dan meninggalkan keluarga mereka, namun Manny menolaknya mentah-mentah. Penolakan ini dianggap sebagai sebuah pelecehan bagi Gutt. Gutt pun menitahkan awak kapalnya untuk memaksa Granny berjalan di atas papan. Belum juga keinginan sang bajak laut terwujud, Diego dan Manny mempunyai ide cemerlang yang membantu mereka meloloskan diri dari Gutt. 

Selain Granny dan Gutt, kita pun diperkenalkan dengan beberapa tokoh baru lain yang bisa jadi akan bergabung bersama Manny, Sid, dan Diego, ke dalam jajaran tokoh utama di film berikutnya. Di plot yang melibatkan Manny beserta konco-konconya, hadir Shira (Jennifer Lopez), yang awalnya menjadi bagian dari kru kapal Captain Gutt, sebagai love interest dari Diego. Sementara untuk plot dimana Ellie menjadi bintang utama, muncul Peaches (Keke Palmer), putri Manny dan Ellie yang telah tumbuh dewasa, serta Louis (Josh Gad), sahabat Peaches yang kerap menjadi bahan olok-olok namun diam-diam memendam perasaan ke Peaches. Yang menjadi benang merah antara kedua plot ini adalah hubungan Manny dengan Peaches. Sebelum mereka terpisahkan, Peaches bertengkar hebat dengan sang ayah yang terlalu protektif. Manny masih memerlakukan putrinya layaknya gadis kecil, sementara dalam realitanya Peaches telah tumbuh dewasa, mencoba untuk mandiri, dan menginginkan kebebasan. Peaches merasakan penyesalan yang begitu mendalam ketika bencana ini terjadi dan membawa Manny jauh darinya. Di tengah-tengah konflik utama, dimunculkan subplot yang bersinggungan dengan proses pencarian jati diri. Peaches ingin bergabung ke dalam kawanan Mammoth remaja yang menganggap diri mereka keren dan populer. 

Semakin sesaknya layar disebabkan tokoh yang muncul kian bejibun serta plot yang kian padat rupanya berpengaruh terhadap Ice Age: Continental Drift secara keseluruhan. Jalinan kisah menjadi terasa kurang fokus dan para tokoh utama pun terpaksa berbagi porsi tampil mereka dengan tokoh lain. Martino dan Thurmeier memang masih mampu menghadirkan keceriaan dan kesenangan khas Ice Age dalam sekuel ketiga ini. Akan tetapi, tidak ada momen istimewa yang sanggup membuat penonton tertawa lepas membahana memenuhi gedung bioskop. Jika Dawn of the Dinosaurs mempunyai momen epik yang melibatkan gas beracun yang menyebabkan kawanan ini – dan juga saya - tertawa tiada henti, maka Continental Drift minim adegan yang benar-benar membuat perut dan rahang sakit malah kebanyakan berujung garing. Beruntung masih ada Granny dan Scrat yang sekalipun tidak luar biasa kocak, namun setidaknya masih membuat saya terhibur. Harus diakui, jilid ini mengalami sedikit penurunan. Ice Age: Continental Drift gagal untuk tampil sebaik ketiga film sebelumnya, meski jika ditilik dari segi animasi semakin memperlihatkan kemajuan.

Note : Jangan datang terlambat. Sebelum film utama diputar, penonton disuguhi film animasi pendek berjudul The Longest Daycare yang dibintangi Maggie Simpson. Malahan, film animasi pendek ini lebih menarik untuk disimak ketimbang Ice Age: Continental Drift. Sebuah film yang cerdas, lucu, menyentuh, dan manis. 

2D atau 3D? Lebih baik Anda menyaksikannya dalam 3D. 

Acceptable




1 comment:

  1. saya setuju dengan ulasan mas tariz, entah mengapa saya pun tidak terlalu seka dengan ice age teranyar ini. gak ada greget2nya, kegilaan sid pun terasa sirna di film ini :(

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch