August 30, 2012

REVIEW : STEP UP: REVOLUTION


"When the mob speaks, everyone listens" - Sean 

Jika Anda menggemari film tari-tarian tak peduli seburuk apapun naskahnya, maka Step Up: Revolution haram hukumnya Anda lewati begitu saja terutama jika sebelumnya Anda telah melakukan dosa besar dengan menyaksikan StreetDance 2 yang errr... layak untuk dilempar ke tong sampah. Franchise Step Up yang dimulai pada tahun 2006, tidak hanya berjasa mengangkat karir Channing Tatum serta memertemukannya dengan sang pendamping hidup, namun juga kembali mempopulerkan ‘dance film’ yang sempat marak di akhir tahun 70’an hingga 80’an. Tak butuh waktu lama untuk menunggu kemunculan film-film bergenre serupa yang sayangnya tidak satupun yang mampu untuk mengungguli, atau setidaknya menyamai, kualitas dari sang pelopor. Satu persatu bertumbangan, sementara franchise ini semakin menguat dari seri ke seri. Step Up jilid awal masih kebingungan antara membagi porsi romansa dengan tarian yang membuatnya menjadi serangan empuk para kritikus yang tidak tahu cara bersenang-senang. Belajar dari kesalahan, Step Up 2: The Streets memperbanyak porsi adegan tari yang membuat seri ini mulai dilirik publik internasional. Puncaknya adalah Step Up 3D yang mengukuhkan franchise ini sebagai ‘dance movie’ paling apik dan tersukses pada saat ini dengan suguhan koreografi tari yang mengesankan serta 3D-nya yang eye popping. 

Pertanyaan mendasar sekaligus pertanda munculnya keragu-raguan yang diajukan oleh mereka yang telah menyaksikan jilid sebelumnya, apakah Step Up: Revolution mampu memberikan tampilan yang berbeda dan tak sekadar sebuah proyek yang copy paste? Ini wajar, terlebih pada umumnya franchise yang telah mencapai ‘masa puncak kejayaan’ akan merosot drastis ditilik dari segi apapun ketika dipaksa untuk dilanjutkan ke seri berikutnya. Beruntung, instalmen keempat ini mendapat dukungan dari tim yang solid. Rasa pesimistis berhasil ditepis. Step Up: Revolution, sekalipun bukan yang terbaik dari franchise Step Up, tetaplah sebuah ‘dance movie’ yang keren dan mengasyikkan untuk ditonton. Tidak usah ambil pusing dengan naskahnya yang tidak jauh berbeda dengan ketiga film sebelumnya. Naskah garapan Adam Shankman dan ketiga rekannya ini hanyalah pelengkap dan pemanis belaka, serta dimanfaatkan untuk menghantarkan tokoh utamanya seperti yang dilakukan oleh jilid sebelumnya. Sekalipun klise dan mudah ditebak, namun bangunan plot yang didirikan oleh Shankman tidaklah secetek dan selembek StreetDance 2 sehingga masih membuatnya layak untuk ditampilkan dalam format film layar lebar. Sementara untuk koreografi tari dan gimmick 3D-nya, tidak usahlah Anda pertanyakan lagi. 

Step Up: Revolution yang menyoroti fenomena ‘flash mob’ yang tengah naik daun beberapa tahun belakangan ini, mengambil latar belakang kota Miami yang eksotis dengan pemandangan wanita-wanita seksi berbikini yang segera saja memanaskan gedung bioskop hanya beberapa menit setelah logo Summit Entertainment disorotkan ke layar. Jalan cerita utama belum bergeser masih mengikuti pakem yang ada, menampilkan dua pemain utama yang cantik dan tampan dengan tubuh atletis yang dipersatukan karena sebuah tarian, sebuah grup tari, serta elemen-elemen klasik dari film yang bertutur soal ‘kejarlah mimpimu’. Dalam film arahan Scott Speer ini, ada dua mimpi yang berbeda. Pertama, grup tari bernama The Mob yang mendambakan uang sebesar $10 juta dari sebuah kontes di Youtube demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kedua, seorang gadis kaya bernama Emily (Kathryn McCormick) yang impiannya untuk menjadi penari profesional ditentang keras oleh ayahnya, William (Peter Gallagher). Kedua mimpi ini dipertemukan oleh Sean (Ryan Guzman), pemimpin The Mob, yang jatuh hati kepada Emily. Seperti yang sudah-sudah, Emily pun bergabung dengan The Mob meski Eddie (Misha Gabriel), sahabat Sean, setengah hati menerima kehadirannya. Ketika William berencana menggusur pemukiman warga dimana para personil The Mob tinggal untuk dibangun sebuah hotel, Emily mengajukan sebuah usul. The Mob tidak lagi menampilkan flash mob hanya untuk kesenangan belaka, tetapi juga sebagai media untuk mengutarakan pendapat. Mereka melayangkan protes kepada perusahaan William dengan menggunakan ‘Seni Protes’ berwujud flash mob. 

Seperti biasa, tak ada keterkaitan dalam hal cerita antara Step Up: Revolution dengan ketiga film sebelumnya. Agar tetap memiliki benang merah, maka dihadirkan kembali Moose (Adam Sevani) dan beberapa anggota The Pirates dari Step Up 3D walau jatah tampilnya sangat sebentar. Pemain utamanya adalah muka-muka baru dengan Ryan Guzman dan Kathryn McCormick ditempatkan di garda terdepan. McCormick yang merupakan jebolan dari acara realita kompetisi So You Think You Can Dance, tidak mewakili almamaternya itu sendirian. Dia didampingi Mia Michaels, Phillip Chbeeb dan Stephen ‘tWitch’ Boss di depan layar, sedangkan Travis Wall, Jamal Sims, Christopher Scott, dan Adam Shankman mendukung dari belakang layar. Bagi saya yang memang menggemari acara ini, maka menyaksikan mereka berkolaborasi dalam satu film adalah suatu hiburan tersendiri. Mereka dengan kompak, bersama dengan anggota tim yang lain, menghasilkan sebuah suguhan yang menghibur dalam Step Up: Revolution. Kekhawatiran akan hasil yang mengecewakan, nyatanya tidak terbukti. 

Memang, pada akhirnya, kita pun akan menyandingkannya dengan Step Up 3D. Akan tetapi, koreografi tari yang dimunculkan disini tetaplah kelas wahid. Bahkan, ada kalanya rutin tarian disini lebih keren ketimbang jilid sebelumnya. Simak saja adegan di galeri dimana Travis Wall, Jamal Sims, Christopher Scott dan Chuck Maldonado selaku koreografer mencampurkan contemporary dance yang cantik dengan seni. Jangan lupakan pula ‘aksi protes The Mob’ yang merupakan bagian terbaik dari film ini. Dengan dua tarian cakep hadir di pertengahan film, berdampak pada final dance sequence yang terkesan biasa dan kurang wah. Saya merasa film ini pun cenderung berakhir dengan anti klimaks. Sedangkan untuk pemilihan lagu-lagu yang menemani setiap adegan dari film ini pun tak bisa lebih tepat lagi meskipun cukup disayangkan tidak ada tembang ‘memorable’ macam Low atau Club Can’t Handle Me. Goin’ In yang sudah cukup familiar di telinga, malah ditempatkan saat credit title bergulir. 3D yang menjadi ‘menu andalan’ selain koreografi tari, sama sekali tidak mengecewakan. Malahan, salah satu pemanfaatan 3D terbaik untuk tahun ini. Tapi teteuuupppp... jilid ini tidak memiliki laser dan cipratan air yang eye popping seperti jilid sebelumnya. Haha. Pun begitu, sulit untuk menampik bahwa Step Up: Revolution adalah sebuah hiburan musim panas yang menyenangkan. Koreografi tarinya tertata rapi dan cantik ditemani musik hip hop dan RnB yang berdentum keras senantiasa membuat kaki tidak berhenti bergoyang.

Acceptable



August 26, 2012

REVIEW : TANAH SURGA... KATANYA


"Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu kehilangan rasa cinta pada negeri ini." - Hasyim 

“Apapun yang terjadi, jangan sampai kamu kehilangan rasa cinta pada negeri ini.” Demikian pesan Hasyim (Fuad Idris), mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia pada tahun 1965 yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, kepada cucu kesayangannya, Salman (Osa Aji Santoso). Melanglang jauh ke utara meninggalkan Pulau Jawa menuju perbatasan Indonesia dan Malaysia di sebuah perkampungan terpencil yang terbelakang di Kalimantan Barat, Tanah Surga... Katanya mengambil tempat. Terinspirasi dari lagu legendaris milik Koes Plus, ‘Kolam Susu’, film kedua dari sutradara penghasil Jagad X Code, Herwin Novianto, ini tak jauh berbeda dengan karya-karya Deddy Mizwar sebelumnya, sebuah satir terhadap situasi dan kondisi di tanah air tercinta, Indonesia. Ya, ini adalah film produksi Demi Gisela Citra Sinema milik Deddy Mizwar yang sebelumnya juga telah sentil sana-sini lewat Ketika, Nagabonar Jadi 2, Alangkah Lucunya Negeri Ini, dan Kentut. Sekalipun tak lagi berada di garda depan dan ditemani Musfar Yasin, beliau tetap melancarkan sindiran-sindiran yang menohok terhadap pemerintah serta memberikan penonton bahan untuk berkontemplasi. 

Setelah mengulik seputar pejabat-pejabat yang korup serta sarjana pengangguran, Tanah Surga... Katanya asyik membahas mengenai polemik antara Indonesia dengan negara tetangga, Malaysia, yang tidak kunjung mencapai titik temu dan seakan tiada berkesudahan. Danial Rifki, yang tak kalah ciamik dengan Musfar Yasin dalam menggarap naskah yang vokal, tidak mengangkat isu seputar klaim budaya yang akhir-akhir kerap menjadi sorotan media atau perebutan Pulau Sipadan. Akan terlalu berat untuk dikonsumsi oleh seluruh anggota keluarga, tentunya. Permasalahan yang diapungkan cukup sederhana, rumput tetangga tampak lebih hijau dari rumput sendiri. Sejumlah masyarakat Indonesia berbondong-bondong mengadu nasib ke Malaysia karena dari segi perekonomian, disana lebih menjamin. Setidaknya, ada harapan yang bisa dimiliki. Bahkan putra Hasyim, Haris (Ence Bagus), menikahi seorang wanita Malaysia agar tidak kesulitan dalam mengais rezeki. Dia memboyong putrinya ke Malaysia, sementara Salman kekeuh tinggal di kampung halaman menemani sang kakek yang sakit-sakitan. Disamping kisah Hasyim dan keluarganya, penonton pun disodori dengan kisah Astuti (Astri Nurdin), guru satu-satunya di perkampungan tersebut, dan dr. Anwar (Ringgo Agus Rahman), seorang dokter muda. Sekalipun pada akhirnya mereka mencintai apa yang mereka lakukan, akan tetapi baik Astuti maupun Anwar ‘mengabdi’ ke masyarakat di kampung halaman karena sebuah keterpaksaan. 

Lucu sekaligus miris tatkala terungkap bahwa teman-teman sebaya Salman tidak mengetahui bentuk Sang Saka Merah Putih, serta mereka mengira ‘Kolam Susu’ adalah lagu kebangsaan Indonesia. Untuk melancarkan transaksi jual beli, alih-alih memakai Rupiah, penduduk kampung justru terbiasa dengan Ringgit Malaysia. Dan apa yang dilukiskan dalam film ini, memang benar adanya. Saya pun jadi teringat dengan salah satu dialog di Lewat Djam Malam, “apa guna merdeka selagi periuk kita masih tergantung pada bangsa lain?.” Apakah itu berarti perkampungan ini masih belum bisa dikatakan merdeka lantaran tak sepenuhnya merasakan hasil kemerdekaan secara mutlak yang diperjuangkan oleh para pendahulu? Apakah makna sesungguhnya dari kemerdekaaan? Dirilis menjelang peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, Tanah Surga... Katanya seolah ingin menggugat pemerintah yang tidak memedulikan nasib wong cilik, utamanya yang berada jauh dari pusat pemerintahan dan berada di batas negara. Sekalipun banyak pesan yang disampaikan untuk para petinggi, trio Herwin Novianto, Danial Rifki, dan Deddy Mizwar - serta Gatot Brajamusti - pun tidak melupakan pesan untuk masyarakat yang perlahan-lahan mulai kehilangan nasionalisme. Di beberapa bagian memang ada kesan menceramahi penonton, akan tetapi secara keseluruhan pesan berhasil tersampaikan dengan baik. Dimulai dengan kuat, film sedikit terseok-seok di pertengahan, namun kemudian kembali menanjak menjelang penutupan. Naskah bernas buatan Danial Rifki menjadi kunci utama kesuksesan film ini, terlepas dari kurangnya humor yang menggigit, disamping sinematografi yang tertata cantik serta permainan apik para pemainnya. Jika ada yang dirasa mengganggu, maka itu adalah kehadiran ‘product placement’ yang seliweran berkali-kali sehingga lumayan menodai estetika film. Tidak sampai dalam tahapan yang parah layaknya Di Bawah Lindungan Ka’bah, namun tetap saja mengurangi kenikmatan dalam menonton. Hal ini seakan telah menjadi salah satu ciri khas dari film yang diproduksi oleh Deddy Mizwar, iklan terselubung dimana-mana. Pun begitu, dengan segala kekurangan yang diemban – termasuk tampilan posternya yang sangat tidak menggugah selera, Tanah Surga... Katanya melaju dengan mudah, meninggalkan ketiga pesaingnya, untuk menjadi Film Lebaran paling mengesankan untuk tahun ini.

Exceeds Expectations



August 21, 2012

REVIEW : PERAHU KERTAS


"Nyerah sama realistis itu beda tipis." - Keenan 

Diantara keempat film Lebaran yang tayang dalam waktu nyaris bersamaan, Perahu Kertas menjadi pilihan yang paling populer. Selain fakta bahwa film ini beranjak dari novel laris berjudul sama hasil tulisan Dewi Lestari yang telah mengumpulkan basis penggemar yang cukup banyak, faktor Hanung Bramantyo sebagai nahkoda kapal menjadi daya tarik lain. Bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, nama Hanung sudah cukup menjadi jaminan akan kualitas dari sebuah film, walaupun anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Mendekati hari perilisan, Perahu Kertas kian santer menjadi bahan pembicaraan di jejaring sosial setelah Maudy Ayunda dan Adipati Dolken diumumkan sebagai bintang utama dari film ini. Berbagai pro dan kontra pun bermunculan, umumnya berasal dari para penggemar versi novelnya. Ini tak lagi menjadi sesuatu yang mengherankan. Memvisualisasikan sebuah novel populer dimana masing-masing pembaca tentunya sudah memiliki imajinasi sendiri tentang bagaimana seharusnya puluhan hingga ratusan ribu kata-kata ini diterjemahkan dalam bentuk media audio visual bukanlah perkara yang mudah. Hal ini telah menjadi rahasia umum. Si sineas mau tidak mau kudu siap menghadapi pujian maupun cacian dari fans garis keras novelnya setelah film beredar. The show must go on. Kita tentu tidak bisa memuaskan semua orang, bukan? 

Demi memuaskan para pembaca setia yang tentunya menuntut setiap momen diabadikan dalam bentuk gambar, maka Perahu Kertas pun dipecah menjadi dua bagian. Sebuah keputusan yang sangat berani mengingat ini adalah sebuah film drama. Perahu Kertas berkisah mengenai persahabatan antara Kugy (Maudy Ayunda) dan Keenan (Adipati Dolken) yang tidak biasa. Kugy digambarkan sebagai gadis yang unik nan eksentrik yang menganggap dirinya sebagai agen Neptunus, namun diberkahi otak yang brilian dengan imajinasi yang luar biasa tinggi. Perkenalannya dengan Keenan dimulai ketika Kugy mengantar kedua sahabatnya, Noni (Sylvia Fully R.) dan Eko (Fauzan Smith), menjemput Keenan yang baru tiba di Bandung ke stasiun. Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi keduanya untuk saling terkoneksi satu sama lain. Segera saja, Keenan tergabung dalam geng ‘Pura-Pura Ninja’ bentukan Kugy dan bersedia untuk diangkat sebagai agen Neptunus. Seiring berjalannya waktu, Kugy dan Keenan menjadi kian dekat. Percikan gelora asmara pun tak terhindarkan. Hanya saja, masing-masing enggan untuk mengakuinya dan menutup rapat rahasia ini. Terlebih, Kugy telah memiliki seorang kekasih yang dipanggilnya Ojos (Dion Wiyoko). 

Letupan konflik muncul saat hadir orang ketiga dalam kehidupan Kugy dan Keenan. Dia adalah Wanda (Kimberly Ryder), sepupu Noni yang sengaja ‘diimpor’ langsung dari Australia untuk dijodohkan kepada Keenan. Mengetahui hal ini, Kugy pun mengurungkan niatnya untuk menyerahkan sebuah kotak rahasia sebagai hadiah ulang tahun Keenan yang isinya baru diketahui oleh penonton menjelang film berakhir. Tak ingin hatinya semakin terluka, Kugy absen dari pesta ulang tahun Noni yang digelar di rumah Wanda. Persahabatan Kugy dan Noni pun retak. Dari sini, percikan api kian membesar, menjalar kemana-mana, menciptakan friksi dalam skala yang lebih besar. Saya yang semula telah kehilangan minat terhadap Perahu Kertas setelah sekitar setengah jam pertama yang kering, bertele-tele, dan membosankan, dengan segera kembali mengarahkan pandangan ke layar tatkala Wanda muncul. Bukan, bukan karena kecantikan dia, melainkan karena grafik konflik mulai menunjukkan tanda-tanda peningkatan dalam intensitas konflik. Perahu kertas merah yang dilepas oleh Kugy di sungai pada permulaan film mulai memasuki lekuk-lekuk sungai yang dipenuhi dengan batu-batu besar dan air yang deras. 

Setelah cukup lama tidak menemukan sebuah film yang mengangkat kisah percintaan klasik dengan balutan konflik persahabatan yang menarik untuk disimak – terakhir disuguhi Brokenhearts yang memble – Perahu Kertas membangkitkan kembali kepercayaan bahwa genre drama romantis masih bisa diselamatkan. Seusai melewati fase-fase sulit di paruh awal, Perahu Kertas secara perlahan-lahan mulai membaik seiring dengan semakin berkembangnya konflik. Terlepas dari pro kontra ihwal pemilihan pemain yang dianggap kebanyakan fans kurang mewakili imajinasi indah mereka dalam menggambarkan sosok Kugy dan Keenan, Maudy Ayunda berhasil menyuguhkan sebuah performa yang apik. Sementara Adipati Dolken, errr... entahlah, sekalipun mampu menciptakan chemistry dengan Maudy Ayunda, belum bisa meyakinkan penonton bahwa dia adalah Keenan, bukan Adipati. Bayang-bayang dari film sebelumnya, 18++ Forever Love dan Malaikat Tanpa Sayap, masih melekat dan susah terlepaskan. Malahan, Fauzan Smith yang sanggup bersinar dengan mencuri perhatian penonton di setiap adegannya. Akan tetapi, siapa sih yang bisa melupakan penampilan singkat namun membekas di ingatan dari personil 3 Diva, Titi DJ? Semacam penyegaran saat para aktor muda, selain Maudy dan Fauzan, gagal memberikan penampilan yang memukau.

Dan, satu yang paling menonjol dari film in, soundtrack-nya! Diisi dengan deretan tembang-tembang yang ‘easy listening’ dimana penempatannya dalam mengiringi sejumlah adegan dalam film terasa pas dan representatif sehingga perjalanan mengarungi sungai dengan menggunakan perahu kertas menjadi lebih mengesankan. Sekalipun pada akhirnya nanti Anda tidak terkesan dengan filmnya, saya cukup yakin Anda tidak akan menampik bahwa film ini mempunyai soundtrack yang digarap amat baik. Saya jatuh cinta dengan soundtrack-nya. Andaikata tidak dibekali dengan musik latar dan lagu-lagu berkualitas ciamik ini, perjalanan Perahu Kertas akan terseok-seok. Inilah yang menjadi ruh film. Adalah sebuah keputusan yang tepat memberikan kesempatan kepada departemen soundtrack untuk menjalankan tugas besar mereka dengan semestinya, alih-alih hanya dijadikan sebagai sebuah pelengkap semata yang kerap dilakukan oleh film-film lokal dalam beberapa tahun belakangan ini. Pada akhirnya, sekalipun tidak mampu menjadi sebuah film adaptasi yang luar biasa, Hanung Bramantyo tetap berhasil menyuguhkan Perahu Kertas jilid awal ini sebagai sebuah film drama romantis remaja manis yang sudah sangat jarang kita temukan dalam perfilman Indonesia.

Acceptable



August 18, 2012

REVIEW : THE EXPENDABLES 2

"My shoe is bigger than this car!" - Trench 

Sekumpulan opa-opa bertubuh kekar yang haus akan eksistensi di usia senja, kembali untuk Anda, para penikmat film Action, dan siap untuk memorak-porandakan sekawanan penjahat tengil dalam The Expendables 2 yang jauh membumbung melampaui pencapaian film sebelumnya. Mickey Rourke yang sekali ini tak ikut berpartisipasi menjelajahi Nepal, China, dan dataran Eropa, digantikan oleh Liam Hemsworth, Chuck Norris, dan sang Terminator yang setelah berhasil menyelesaikan misinya memutuskan untuk terjun ke dunia politik, Arnold Schwarzenegger. Oia, dan jangan lupakan Jean-Claude Van Damme yang menjadi lawan tangguh bagi Sylvester Stallone dan konco-konconya. Deretan cast yang sangat menjanjikan, bukan? Aktor-aktor laga favorit berkumpul dalam satu ruang, saling ejek dan sindir satu sama lain, mengokang senapan berukuran jumbo, dan memberondong tembakan secara membabi buta ke arah para figuran yang siap untuk dikorbankan kapan saja serta dimana saja. Peluru habis atau tidak dilengkapi dengan senjata? Tidak menjadi soal. Dengan tangan kosong pun mereka masih sanggup untuk meng-KO lawan-lawan mereka yang untungnya tidak dibekali kemampuan bela diri semumpuni Mad Dog. 

Beli tiket, masuki ruang teater dengan hati riang gembira, duduk manis di kursi bioskop yang empuk, dan nikmati hidangan dari Simon West. Oia, jika Anda turut menenteng logika ke dalam ruang teater, sebaiknya dititipkan terlebih dahulu ke pihak security yang akan menjaganya dengan penuh cinta kasih hingga Anda keluar dengan senyum mengembang. The Expendables 2, selayaknya film aksi-aksi kebanyakan – termasuk film aksi ciamik, The Raid, tidak memusingkan urusan naskah. Selama film mampu dengan konsisten menjaga ritme, tidak keluar dari rel yang menjadi tujuan utama, dan sanggup membuat penonton bersorak sorai bergembira, maka fungsinya telah terjalankan dengan baik. The Expendables 2 adalah murni sebuah film hiburan yang menuntut Anda untuk menyantapnya dengan santai tanpa perlu memikirkan lubang cerita yang menganga lebar dimana-mana atau kelogisan cerita. Ini adalah sebuah film yang diciptakan khusus untuk Anda yang ingin bersenang-senang. Setelah film sebelumnya, The Expendables, yang bagi saya kurang greget, maka sekuelnya ini membayarnya dengan lunas. It’s a FUN, FUN, FUN movie! Entah berapa kali kata ‘sh*t’ atau ‘watdefak!’ terlontarkan saat menyaksikan film ini. Nampaknya, jumlahnya melebihi kala menonton The Cabin in the Woods, haha. 

Baru saja lampu di dalam ruang teater bioskop diredupkan, suara tembakan dan ledakan bom berkali-kali telah memenuhi seisi ruangan, menggetarkan kursi bioskop. Boom, boom, boom! Penonton tidak diperkenankan untuk bergerak lambat dalam menyiapkan diri. Permainan sudah dimulai. Tim tentara bayaran, The Expendables, telah kembali. Anda tentu sudah berkenalan dengan Barney Ross (Sylvester Stallone), Lee Christmas (Jason Statham), Gunner (Dolph Lundgren), Yin Yang (Jet Li), Hale Caesar (Terry Crews), dan Toll Road (Randy Couture), di film sebelumnya. Dalam adegan pembuka yang seru, menegangkan, brutal, dan epik yang membuat film pendahulunya terasa bagaikan film anak-anak, The Expendables berjumpa dengan kawan lama Barney, Trench (Arnold Schwarzenegger), yang tengah disekap di sebuah gudang di Nepal saat berusaha untuk membebaskan seorang miliarder China yang diculik. Disini, penonton turut diperkenalkan kepada anggota baru tim, Billy the Kid (Liam Hemsworth), yang merupakan mantan penembak jitu tentara Amerika Serikat. Setelah bak bik buk, baam biim boom, dan dar der dor, film lalu kembali memertemukan penonton dengan Mr. Church (Bruce Willis) yang menugaskan The Expendables untuk mengambil sebuah benda rahasia yang konon katanya tak ternilai harganya dari pesawat yang terjatuh di Albania. The Expendables tak bekerja sendirian. Setelah Yin Yang kembali ke kampung halamannya bersama si miliarder, maka diperlukan sosok pengganti. Dimunculkanlah Maggie (Yu Nan) yang tidak kalah ‘sangar’ dari para pria. Kehadiran Maggie juga menjadi semacam pemanis, terlebih di jilid ini dominasi kaum pria semakin menggila dan kaum wanita dapat dihitung jumlah dengan jari. Lantas, dimanakah Jean-Claude Van Damme? Aktor laga yang angkat nama berkat Bloodsport ini kebagian peran sebagai tokoh antagonis bernama Jean Vilain. Sosoknya menjadi penting bagi The Expendables setelah dia secara brutal menghabisi nyawa salah satu personil. 

Yang membuat jilid ini lebih menyenangkan ketimbang sebelumnya, selain adegan aksi yang lebih dahsyat dan meriah, adalah dialognya yang luar biasa kocak. Simon West, Richard Wenk, dan Sylvester Stallone menyadari, kesalahan film pertama adalah film yang kelewat serius, dan kurangnya suntikan humor. Kali ini, mereka mencoba untuk menebus kesalahan. Selalu saja ada yang mengundang tawa di saat suasana genting sekalipun. Lihat saja bagaimana Mr. Church dan Trench yang sempat-sempatnya ngelawak sementara mereka harus meladeni berondongan tembakan dari anak buah Vilain. “I’ll be back,” seru Trench. “You’ll be back enough. I’ll be back!,” Mr. Church menimpali. Dan bagaimanakah tanggapan Trench mendengar hal ini? “Yippie kay yay!”. Jenius. Terbukti, Richard Wenk yang membidani naskah The Expendables 2, mempunyai selera humor yang lebih baik ketimbang pendahulunya. Setelah satu misi dituntaskan, maka West, Wenk, dan Stallone pun fokus ke hal lain. Dengan dukungan bujet raksasa, memungkinkan West dan timnya untuk menciptakan adegan aksi dalam skala yang lebih besar. Di bawah pengarahan sutradara yang menggebrak lewat Con Air yang super seru, The Expendables 2 diciptakan sebagai sebuah ‘mindless action movie’ dengan ledakan, tembakan, dan tendangan yang nyaris tiada henti serta celetukan-celetukan yang mengundang tawa renyah penonton. Semuanya disajikan secara cepat dan tangkas. Sekalipun cukup terganggu dengan penampilan para aktornya yang kentara sekali menyuntikkan botox ke wajah mereka, The Expendables 2 tetaplah sebuah film yang mengasyikkan untuk ditonton dan menjadi penutup sempurna bagi parade film musim panas tahun ini.

Exceeds Expectations



August 17, 2012

REVIEW : CINTA SUCI ZAHRANA


"Apa kabar perawan tua? Kelapa itu semakin tua semakin kental santannya. Maka banggalah menjadi perawan tua." - Sukarman 

Cinta Suci Zahrana adalah film Lebaran terbaik tahun ini... jika dinilai dari trailer. Dari keempat film Indonesia yang dilempar ke pasaran menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, Cinta Suci Zahrana menjadi satu-satunya yang mempunyai trailer paling ‘bener’. Fungsinya terjalankan dengan baik. Tapi sayang sekali, Sinemart, kualitas dari sebuah film tidak dinilai dari penampilan trailer-nya, sebagus apapun kemasannya. Setelah Ayat-Ayat Cinta, film-film adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy – atau yang akrab disapa Kang Abik – kian lama kian memprihatinkan. Puncaknya, ketika beliau memutuskan untuk turun ke lapangan demi membesut Dalam Mihrab Cinta yang ah... sudahlah, tak usah dibahas. Anda tentu sudah tahu betapa konyolnya film tersebut. Entah karena memang suatu kesengajaan lantaran paham betul penonton akan mengolok-olok hasil akhir film ini, atau murni karena sebuah kecelakaan – hanya sutradara dan Tuhan yang tahu, Chaerul Umam yang juga menangani dwilogi pembangun jiwa, Ketika Cinta Bertasbih, memutuskan untuk membawa Cinta Suci Zahrana ke ranah komedi. Setidaknya, itu yang berhasil saya tangkap. 

Tidak seperti Ayat-Ayat Cinta, dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, maupun Dalam Mihrab Cinta, petualangan cinta dosen muda bernama Zahrana (Meyda Sefira) ini tidak dibalut dalam jalinan cerita yang mendayu-dayu, dan nuansa romantis yang berlebihan. Chaerul Umam mencoba untuk melakukan pendekatan baru, menerjemahkan novel Kang Abik menjadi sebuah film yang penuh dengan kegembiraan, keceriaan, dan kekonyolan yang membuat gedung bioskop dipenuhi dengan riuh tawa penonton yang nyaris tiada henti sepanjang film. Terserah Anda mengartikan ini sebagai sebuah penilaian yang positif atau negatif. Yang jelas, saya sangat menikmati setiap detik yang berjalan tatkala menyaksikan film ini. Ini adalah film Indonesia pertama yang membuat saya tertawa terbahak-bahak sampai-sampai mengeluarkan air mata – atau jika Anda ingin saya menuliskannya dalam bahasa yang lebay, ngakak kejengkang – di tahun 2012. Naskah olahan almarhum Misbach Yusa Biran menuntut film untuk bertutur dengan lebih santai dan realistis. Konflik yang dihadapi oleh Zahrana, begitu juga dengan sejumlah tokoh yang hadir dalam kehidupan Zahrana, dapat kita jumpai dengan mudah di kehidupan nyata. Beberapa dari Anda tentu sudah pernah dihadapkan pada pertanyaan, "kapan nikah?" atau "sudah punya calon belum?". Pertanyaan sederhana tapi nyelekit inilah yang menjadi dasar cerita Cinta Suci Zahrana.  

Jalan cerita Cinta Suci Zahrana masih mengulik seputar perjodohan dan lamar-melamar. Zahrana yang telah berusia 34 tahun tidak kunjung dipersunting oleh lelaki. Bukan tidak ada yang mau dengan Rana – sapaan akrab Zahrana, akan tetapi wanita yang baru saja kembali dari Beijing berkat prestasinya yang moncer dalam bidang akademis ini belum menemukan yang pas di hati *halah*. Hal ini membuat kedua orang tua Rana cemas. Harapan terakhir ayah Zahrana yang sakit-sakitan, Munajat (Amoroso Katamsi), adalah ingin segera melihat putri semata wayangnya ini segera naik ke pelaminan. Atasan Rana, Sukarman (Rahman Yacob), melamar Rana. Dengan alasan tidak menyukai akhlak dari Sukarman, Rana menampik lamaran. Konsekuensi yang diterima, dia kehilangan pekerjaan dan mendapat teror SMS yang tiada berkesudahan. Melihat kondisi sang ayah yang kian kritis, Rana pun meminta bantuan seorang ustadzah untuk mencarikannya jodoh. Rana dijodohkan dengan seorang penjual kerupuk keliling, Rachmad (Kholidi Asadil Alam). Di saat pernikahan hendak dilangsungkan, hadir Hasan (Miller Khan), seorang mahasiswa tingkat akhir yang pernah dibimbing Rana saat mengerjakan skripsi. Jika Anda sudah hafal dengan cara bertutur Kang Abik, maka Anda tentu sudah bisa menebak bagaimana penyelesaian cinta segibanyak antara Rana dengan para pria yang mengejarnya. Ada tokoh yang kudu dijadikan ‘tumbal’ demi terwujudnya akhir kisah yang bahagia. Yang menjadi pertanyaan, siapakah dia? Jeng jeng! Film pun ditutup dengan dialog menggelikan yang membuat saya ingin bergelantungan di dalam bioskop. “Mas, bolehkah aku menciummu?” “Tapi aku malu, dik.” “Tapi kan kita sudah menikah, sudah halal, dan kita sendirian.” Setelah dialog ini, Rana dan suaminya berjalan menjauhi kamera, menuju Candi Prambanan. Penonton tidak dibiarkan tahu, apakah mereka akhirnya berciuman atau tidak. Meh.

Poor



August 15, 2012

REVIEW : THE CABIN IN THE WOODS


"Ok, I'm drawing a line in the fucking sand. Do NOT read the Latin!" -  Marty 

Akhirnya, film yang paling saya tunggu-tunggu di tahun ini dilepas juga dari gudang oleh 21 Cineplex setelah berbulan-bulan lamanya tertahan tanpa ada kejelasan yang menyebabkan ratusan (atau bahkan ribuan?) ‘Jamaah Kabiniyah’ menggalau di Twitter selama kurang lebih empat bulan. Saat pihak yang berwenang merilis info seputar jadwal tayang The Cabin in the Woods, sontak kicauan penuh kegembiraan menyeruak di linimasa. Tidak hanya sehari, tapi berhari-hari, hingga tulisan ini diturunkan pun, gegap gempita masih belum sirna. Rasanya seperti seseorang yang mengalami mulas-mulas, bolak balik ke toilet, namun yang diharapkan ‘nongol’ tidak kunjung datang. Setelah berhari-hari menahan, akhirnya tiba suatu hari dimana orang tersebut berhasil ‘mbrojolkan’ apa yang selama ini tertahan. Kepuasan tiada tara. Sebentar, hmmm... analogi saya kok terlalu ekstrim dan rada tidak nyambung ya? Haha, biarkan saja, para pembaca budiman. Inilah racauan dari seorang pecinta film yang terlalu bahagia menyambut kedatangan The Cabin in the Woods, sekalipun baru ditayangkan untuk pertunjukkan tengah malam saja. 

Penantian panjang, digantung selama berbulan-bulan, terbayarkan dengan lunas dalam semalam. Saya rela menempuh perjalanan darat selama setengah jam, menembus udara malam yang dingin, melawan dengan susah payah rasa kantuk dan lapar yang menolak untuk diajak berkompromi hanya demi sebuah kabin di tengah hutan. Dan saya sama sekali tidak menyesali perjuangan itu setelah melihat hasil akhirnya. Apabila saya memiliki lebih dari empat jempol (kaki masuk dalam hitungan ya!), maka saya akan acungkan semuanya untuk film garapan Drew Goddard ini. Bahkan, saya berani menjamin, film ini akan menempati posisi yang tinggi di daftar ‘Film Terbaik Versi Cinetariz’ tahun depan. Terdengar terlalu berlebihan? Mungkin saja. Akan tetapi, saya cukup yakin, Anda akan sependapat dengan saya terlebih jika Anda mengaku sebagai fans garis keras dari genre horror. Ini adalah sebuah pesta yang dirancang sedemikian rupa oleh Drew Goddard dan Joss Whedon khusus untuk Anda, para pecinta film, terutama pecinta film horror. Tinggalkan apa yang disebut logika di luar gedung bioskop, dan nikmati saja segala kegilaan hasil buah pikiran Goddard dan Whedon yang maha sinting selama 95 menit ini. 

Kesulitan terbesar dalam mengulas The Cabin in the Woods adalah menghindarkan Anda, para pembaca yang budiman, dari spoiler. Kuncinya, semakin sedikit Anda tahu, semakin bagus. Sekecil apapun informasi yang disebar perihal plot film ini berpotensi merusak kenikmatan Anda dalam menikmati film secara keseluruhan. Apakah Anda masih ingat bagaimana media memberikan peringatan ‘Jangan Dengarkan Ending Cerita Film Ini!’ di iklan film The Sixth Sense tiga belas tahun silam? Ini saat yang tepat untuk mengulang hal tersebut. Tapi untuk sekali ini, tidak hanya berlaku untuk akhir cerita, tapi sinopsis lengkap The Cabin in the Woods. Saya rangkumkan intisari dari film ini. Secara garis besar, kabin bertutur tentang lima sekawan yang terdiri dari Dana si perawan (Kristen Connolly), Curt si atlit (Chris Hemsworth), Holden si pintar (Jesse Williams), Jules si seksi (Anna Hutchison), dan Marty si bodoh (Fran Kranz), yang berlibur ke sebuah kabin di hutan. Sebelum mereka mencapai kabin terpencil tersebut, van berhenti sejenak di pom bensin yang terlantar. Dari sini, Anda sudah menduga bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan lokasi tujuan mereka. Benar saja, belum sempat mereka berpesta pora semalam suntuk, teror datang menghampiri, mengancam nyawa kelima remaja ini. 

Sekumpulan remaja berlibur di tempat terpencil, pembunuh berdarah dingin berbentuk manusia atau makhluk lain ikutan nimbrung dan menggila, satu persatu dari remaja tersebut meregang nyawa dengan si cantik atau si tampan yang menjadi korban pertama, dan hanya satu yang berhasil keluar dari medan tempur dengan selamat. Klise. Anda yang kerap bergumul dengan film-film horror tentunya sudah hafal betul alur semacam ini. Berulang kali digunakan, hanya bongkar pasang pemain saja. Lantas, dengan jalan cerita yang kelewat umum semacam ini, apa yang membuat The Cabin in the Woods menonjol dan layak untuk mendapat apresiasi lebih? Jika Anda sudah terlanjur skeptis, maka saya perlu mengingatkan kembali, saya hanya menceritakan isi film ini secara garis besar. Itu artinya, Anda hanya mengetahui sebagian kecil dari film ini. Goddard dan Whedon tidak sesederhana itu dalam bertutur. Sesuai dengan tagline yang diusung, ‘you think you know the story’. Saran saya, think twice, baby! Setelah saya menyaksikan sendiri apa yang tersaji di layar, nyaris semuanya berbeda dengan apa yang saya pikirkan. Duo edan ini telah mengaduk-aduk pikiran saya. Mereka telah menciptakan sebuah film horor yang luar biasa cerdas! 

Selain mengetahui serba sedikit mengenai isi film ini, akan lebih yahud jika Anda membekali diri dengan referensi film horor serta pop culture yang lumayan banyak. Dua hal inilah yang menjadi sasaran utama dari Goddard dan Whedon. Berhubung The Cabin in the Woods selesai diproduksi pada tahun 2009 (karena satu dan lain hal film ini terpaksa ditunda penayangannya), maka bisa dimaklumi jika ada satu dua ‘berita terpanas’ yang terlewatkan dan telah kita saksikan dalam Scream 4. Akan tetapi, ini tak menghalangi Kabin untuk menjadi sebuah film yang mencengangkan. Agaknya sudah bertahun-tahun lamanya saya tidak menemukan sebuah film horor segokil, sekeren, dan secerdas ini. Saya ingin bertanya kepada Anda, kapankah terakhir kali Anda bersenang-senang, berteriak ketakutan, dan melontarkan ‘Watdefak!’ berulang kali tatkala menyaksikan sebuah film seram di bioskop? The Cabin in the Woods mengobati kerinduan saya akan film horor yang tidak hanya membuat saya terlonjak dari kursi bioskop dan berteriak sekencang mungkin, tetapi juga terpana dengan kisah yang disajikan. Duo maut yang pernah menghasilkan Buffy the Vampire Slayer dan Angel ini mengemas karya mereka ini dengan teror klasik yang mencekam, penuh darah yang muncrat kesana kemari, dialog berselera humor tinggi, beberapa sentilan yang menancap di hati serta alur yang sulit ditebak. Dengan adegan pembuka yang tidak biasa, The Cabin in the Woods pun ditutup dengan memuaskan. 20 menit terakhir film ini penuh dengan kegilaan. Pesta penghormatan terhadap film-film horor oleh Drew Goddard dan Joss Whedon ini sungguh mengasyikkan dan sulit untuk dilupakan.

Outstanding



August 4, 2012

REVIEW : TOTAL RECALL


"If I'm not me, then who the hell am I?" - Douglas Quaid

Coba Anda bayangkan, seandainya kehidupan yang Anda jalani selama ini ternyata penuh dengan kepalsuan, bagian dari sebuah sandiwara yang tersusun rapi, sementara mimpi Anda yang dianggap banyak pihak sebagai bunga tidur ternyata justru merupakan kehidupan Anda yang sesungguhnya, apa yang akan Anda lakukan? Jelas nyaris tidak ada orang di sekitar Anda yang bisa dipercaya. Bisa jadi, mereka adalah aktor atau aparat yang digaji untuk berpura-pura menjadi istri, sahabat, atau bahkan orang tua Anda. Pada titik ini, satu-satunya pihak yang dapat dipercaya hanyalah Anda sendiri, yang ironisnya, malah merupakan orang yang paling sedikit tahu mengenai identitas Anda sendiri. Memusingkan, bukan? Beruntung, para pembaca yang budiman tidak mengalami hal ini. Cukup Doug Quaid (Colin Farrell) saja yang mencicipi rasa pahit dari sebuah kepura-puraan. Segala macam tipu daya yang menggerogoti kehidupan Quaid ini merupakan inti permasalahan dari film terbaru Len Wiseman yang diangkat dari cerpen karangan Philip K. Dick, ‘We Can Remember It for You Wholesale’, yang sebelumnya juga sudah pernah diejawantahkan ke dalam bentuk film layar lebar pada tahun 1990 dengan judul Total Recall. Arnold Schwarzenegger dan Sharon Stone didapuk menjadi bintangnya kala itu dibawah pengarahan Paul Verhoeven. 

Kini, ‘mimpi buruk’ dari Doug Quaid kembali diputar sekali lagi. Dengan tim yang baru, sumber yang sama, Total Recall versi Len Wiseman ini berusaha untuk lebih dekat dengan cerpen Philip K. Dick ketimbang film sebelumnya. Sadar beban berat disandangnya, terutama karena versi Verhoeven sukses dari segi kualitas maupun kuantitas, maka Wiseman menciptakan kisah futuristik berlatar di Bumi paska Perang Dunia III dengan misi yang berbeda. Bahkan, tidak ada Mars disini! Sepanjang film, Total Recall hanya berkeliling-keliling di planet biru yang tercinta ini. Settingnya terbagi menjadi dua; Koloni dan Federasi. Dua wilayah inilah sisa-sisa peninggalan dari Bumi yang telah porak poranda. Koloni berlokasi di tanah bekas milik Australia, sementara Federasi menempati Inggris Raya. Dalam visualisasi yang tertata cantik, detil dan megah, Koloni dan Federasi memiliki penggambaran yang kontras. Koloni yang senantiasa dihiasi dengan rintikan hujan diwujudkan dalam nuansa pinggiran Hong Kong yang padat, semrawut, nan kumuh. Disinilah tempat tinggal kaum proletar. Sedangkan Federasi merupakan perwujudan dari kota masa depan yang kerap Anda temui dalam film fiksi ilmiah. Mobil terbang, jalan tol di udara, hingga gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dimana-mana. Masyarakat, yang didominasi kalangan menengah ke atas, memiliki mobilitas yang tinggi. Dengan kondisi ras manusia yang terancam punah, tidak ada niatan bagi kedua negara adidaya ini untuk bersatu. Yang ada, kesenjangan sosial semakin tajam. Alat transportasi yang digunakan untuk menghubungkan Koloni dan Federasi adalah ‘The Fall’, semacam perpaduan antara pesawat dan kereta api dengan jalur melewati inti bumi. 

Doug Quaid adalah penduduk Koloni. Dia bekerja sebagai buruh pabrik pembuatan robot penegak hukum. Kehidupannya biasa saja, cenderung monoton malah. Satu-satunya yang istimewa darinya adalah dia memiliki seorang isti yang cantik, Lori (Kate Beckinsale). Tidak heran jika dia bermimpi untuk mengunjungi Mars menilik rutinitasnya yang menjemukan. Namun, kehidupan Doug mendadak jungkir balik lantaran sebuah mimpi yang terlalu nyata untuk disebut sebagai sebuah mimpi. Doug mencoba untuk menelusurinya. Dia menyambangi Rekall, sebuah perusahaan yang menanamkan memori buatan ke kliennya sesuai dengan keinginan si klien. Belum sempat Doug merasakan fasilitas yang disuguhkan oleh Rekall, segerombolan polisi menyergap perusahaan ini. Terjadilah aksi baku tembak yang menewaskan kurang lebih 20 polisi. Dari sini, sekelumit ingatan Doug akan masa lalu yang sebelumnya tercecer satu demi satu mulai terhubung. Pertemuannya dengan Melina (Jessica Biel), wanita yang kerap dilihatnya di mimpi, mengungkap identitas Doug yang sesungguhnya. Kehidupan yang selama ini dijalaninya ternyata hanyalah sebuah panggung sandiwara yang mengungkap betapa bobroknya sistem politik di Koloni dan Federasi. 

Tanpa menyandingkannya dengan versi Schwarzenegger, Total Recall versi tahun 2012 ini, tanpa disangka-sangka, sanggup menghadirkan sebuah sajian musim panas yang penuh hingar bingar dengan menghibur, seru, dan menegangkan. Len Wiseman membuat saya serasa terikat di kursi bioskop, tak sekalipun ada niatan untuk rehat sejenak dan mengunjungi toilet atau bermain-bermain dengan ponsel kesayangan. Saya akui, saya sangat menikmatinya. Deretan aksi yang intens, berjalan cepat, memompa adrenalin, penuh energi, dan nyaris tanpa jeda – membuat saya tersengal-sengal, menjadi menu utama disini. Fun, fun, fun! Inilah film paling menghibur dari pagelaran film musim panas tahun ini. Mendapat sokongan dana yang berlimpah, Wiseman berkesempatan untuk menaburi Total Recall dengan efek khusus yang mewah serta adegan aksi yang jor-joran. Yang paling berkesan adalah adegan kejar-kejaran antara Doug dan Melina dengan Lori dan robot penegak hukum di sebuah labirin lift berbentuk vertikal dan horizontal dengan lift yang muncul secara cepat tanpa terduga. Mendebarkan. Dan saya yakin, setelah saya berpanjang lebar membahas mengenai tampilan visual, Anda tentu bertanya-tanya, lantas bagaimana dengan akting dan naskah yang biasanya paling saya soroti? Oh tenang saja, tidak usah khawatir. Meskipun dari jajaran pemain hanya Kate Beckinsale yang tampil menonjol, akan tetapi Colin Farrell dan Jessica Biel tidaklah mengecewakan. Hanya saja, penampilan mereka tertutupi oleh Beckinsale yang sekali ini tampil cemerlang. Omong-omong - sedikit keluar jalur, adakah dari Anda yang merasa Beckinsale dan Biel itu mirip? Karena saya merasa seperti itu, dan hebatnya, saya sempat mengira Biel adalah Beckinsale di adegan pembuka, haha. Kembali ke topik. Naskah olahan Kurt Wimmer dan Mark Bomback sekalipun tidak mencapai tahapan luar biasa, tergarap dengan baik dan cermat, serta berhasil dituangkan ke dalam bentuk film layar lebar oleh Len Wiseman dengan apik dan memuaskan. Total Recall adalah sebuah film aksi fiksi ilmiah yang menghibur dan menyenangkan untuk ditonton di bioskop kala waktu senggang. Well done, Mr. Wiseman, well done.

Exceeds Expectations



Mobile Edition
By Blogger Touch