August 17, 2012

REVIEW : CINTA SUCI ZAHRANA


"Apa kabar perawan tua? Kelapa itu semakin tua semakin kental santannya. Maka banggalah menjadi perawan tua." - Sukarman 

Cinta Suci Zahrana adalah film Lebaran terbaik tahun ini... jika dinilai dari trailer. Dari keempat film Indonesia yang dilempar ke pasaran menjelang perayaan Hari Raya Idul Fitri, Cinta Suci Zahrana menjadi satu-satunya yang mempunyai trailer paling ‘bener’. Fungsinya terjalankan dengan baik. Tapi sayang sekali, Sinemart, kualitas dari sebuah film tidak dinilai dari penampilan trailer-nya, sebagus apapun kemasannya. Setelah Ayat-Ayat Cinta, film-film adaptasi dari novel karangan Habiburrahman El Shirazy – atau yang akrab disapa Kang Abik – kian lama kian memprihatinkan. Puncaknya, ketika beliau memutuskan untuk turun ke lapangan demi membesut Dalam Mihrab Cinta yang ah... sudahlah, tak usah dibahas. Anda tentu sudah tahu betapa konyolnya film tersebut. Entah karena memang suatu kesengajaan lantaran paham betul penonton akan mengolok-olok hasil akhir film ini, atau murni karena sebuah kecelakaan – hanya sutradara dan Tuhan yang tahu, Chaerul Umam yang juga menangani dwilogi pembangun jiwa, Ketika Cinta Bertasbih, memutuskan untuk membawa Cinta Suci Zahrana ke ranah komedi. Setidaknya, itu yang berhasil saya tangkap. 

Tidak seperti Ayat-Ayat Cinta, dwilogi Ketika Cinta Bertasbih, maupun Dalam Mihrab Cinta, petualangan cinta dosen muda bernama Zahrana (Meyda Sefira) ini tidak dibalut dalam jalinan cerita yang mendayu-dayu, dan nuansa romantis yang berlebihan. Chaerul Umam mencoba untuk melakukan pendekatan baru, menerjemahkan novel Kang Abik menjadi sebuah film yang penuh dengan kegembiraan, keceriaan, dan kekonyolan yang membuat gedung bioskop dipenuhi dengan riuh tawa penonton yang nyaris tiada henti sepanjang film. Terserah Anda mengartikan ini sebagai sebuah penilaian yang positif atau negatif. Yang jelas, saya sangat menikmati setiap detik yang berjalan tatkala menyaksikan film ini. Ini adalah film Indonesia pertama yang membuat saya tertawa terbahak-bahak sampai-sampai mengeluarkan air mata – atau jika Anda ingin saya menuliskannya dalam bahasa yang lebay, ngakak kejengkang – di tahun 2012. Naskah olahan almarhum Misbach Yusa Biran menuntut film untuk bertutur dengan lebih santai dan realistis. Konflik yang dihadapi oleh Zahrana, begitu juga dengan sejumlah tokoh yang hadir dalam kehidupan Zahrana, dapat kita jumpai dengan mudah di kehidupan nyata. Beberapa dari Anda tentu sudah pernah dihadapkan pada pertanyaan, "kapan nikah?" atau "sudah punya calon belum?". Pertanyaan sederhana tapi nyelekit inilah yang menjadi dasar cerita Cinta Suci Zahrana.  

Jalan cerita Cinta Suci Zahrana masih mengulik seputar perjodohan dan lamar-melamar. Zahrana yang telah berusia 34 tahun tidak kunjung dipersunting oleh lelaki. Bukan tidak ada yang mau dengan Rana – sapaan akrab Zahrana, akan tetapi wanita yang baru saja kembali dari Beijing berkat prestasinya yang moncer dalam bidang akademis ini belum menemukan yang pas di hati *halah*. Hal ini membuat kedua orang tua Rana cemas. Harapan terakhir ayah Zahrana yang sakit-sakitan, Munajat (Amoroso Katamsi), adalah ingin segera melihat putri semata wayangnya ini segera naik ke pelaminan. Atasan Rana, Sukarman (Rahman Yacob), melamar Rana. Dengan alasan tidak menyukai akhlak dari Sukarman, Rana menampik lamaran. Konsekuensi yang diterima, dia kehilangan pekerjaan dan mendapat teror SMS yang tiada berkesudahan. Melihat kondisi sang ayah yang kian kritis, Rana pun meminta bantuan seorang ustadzah untuk mencarikannya jodoh. Rana dijodohkan dengan seorang penjual kerupuk keliling, Rachmad (Kholidi Asadil Alam). Di saat pernikahan hendak dilangsungkan, hadir Hasan (Miller Khan), seorang mahasiswa tingkat akhir yang pernah dibimbing Rana saat mengerjakan skripsi. Jika Anda sudah hafal dengan cara bertutur Kang Abik, maka Anda tentu sudah bisa menebak bagaimana penyelesaian cinta segibanyak antara Rana dengan para pria yang mengejarnya. Ada tokoh yang kudu dijadikan ‘tumbal’ demi terwujudnya akhir kisah yang bahagia. Yang menjadi pertanyaan, siapakah dia? Jeng jeng! Film pun ditutup dengan dialog menggelikan yang membuat saya ingin bergelantungan di dalam bioskop. “Mas, bolehkah aku menciummu?” “Tapi aku malu, dik.” “Tapi kan kita sudah menikah, sudah halal, dan kita sendirian.” Setelah dialog ini, Rana dan suaminya berjalan menjauhi kamera, menuju Candi Prambanan. Penonton tidak dibiarkan tahu, apakah mereka akhirnya berciuman atau tidak. Meh.

Poor



3 comments:

Mobile Edition
By Blogger Touch