October 8, 2012

REVIEW : PERAHU KERTAS 2


"Hati itu dipilih, bukan memilih. Bertahan atau melepaskan itu tergantung hatimu. Hatimu yang tahu"

Perahu Kertas... Hah... Sesungguhnya, setelah jilid pertama yang membuat saya menguap beberapa kali meski harus diakui cukup manis, hasrat untuk menyaksikan paruh kedua tidak terlalu menggelora sekalipun Chand Parwez Servia, produser Starvision Plus, menjanjikan bahwa cerita Perahu Kertas akan menggemuk di belakang. Itu berarti, seiring dengan bergulirnya cerita, maka konflik yang diapungkan pun kian padat dan mengikat. Telinga saya agaknya sudah kebal mendengar obralan janji-janji manis dari para penggiat sinema yang seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Ramai di dunia maya, melancarkan puja puji setinggi langit, setelah disimak ternyata ya hanya begitu-begitu saja. Apakah pujian yang dilayangkan ini tulus dari lubuk hati yang paling dalam atau karena... faktor pertemanan? Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Perahu Kertas 2 ini pun senada. Seusai premiere digelar dengan sukses, nyaris tidak ada yang memberikan kritik. Film menuai pujian dari berbagai pihak. Komentar negatif bukanlah pilihan yang populer malam itu. Saya pribadi skeptis sampai-sampai muncul pertanyaan di pikiran saya ‘benarkah?’. Beberapa teman yang beruntung menyaksikannya lebih awal, memberi penilaian buruk untuk film ini. Dan, saya lebih percaya kepada mereka. Tiga hari berselang, saya pun mempunyai kesempatan yang sama dengan Anda untuk menyaksikannya di layar lebar. Tidak ada ekspektasi sedikit pun. Ditemani dengan segelas minuman bersoda serta berondong jagung yang nikmat namun harganya tidak lagi bersahabat, saya siap untuk diajak mengarungi film sepanjang 100 menit yang ternyata sesuai dengan dugaan saya... kering, tidak bertenaga, dan nyaris tidak mengandung kesenangan di dalamnya. Membosankan. 

Dengan penuh percaya diri, Perahu Kertas 2 berlayar tanpa diawali dengan ringkasan singkat jilid sebelumnya sebagai penyegar ingatan atau mungkin sebagai perkenalan kepada penonton yang belum sempat menyaksikan film pertama. Sebuah pembuka yang cukup menjanjikan sebenarnya. Hanung Bramantyo melanjutkan konflik yang sempat terpotong satu setengah bulan yang lalu. Kugy (Maudy Ayunda) berjumpa kembali dengan Keenan (Adipati Dolken) berkat pernikahan sahabat mereka, Noni (Sylvia Fully R) dan Eko (Fauzan Smith). Sebuah ‘road trip’ untuk mengenang masa lalu pun dihadiahkan oleh Keenan kepada Kugy. Perjalanan yang seharusnya manis ini terpaksa berakhir tragis setelah Kugy menyaksikan dengan mata kepala sendiri Sekolah Alit, tempat pelarian Kugy dulu, dirobohkan dan Pilik yang menjadi sumber inspirasinya dalam menulis dongeng telah berpulang. Menghadapi realitas kehidupan semacam ini membuat semangat Kugy terpecut untuk melanjutkan impiannya sebagai pendongeng. Keenan pun dengan sukarela mengajukan diri sebagai ilustrator. Pertemuan kembali dua sejoli ini turut berimbas kepada kehidupan pribadi Kugy. Prestasi kerjanya menurun drastis. Siska (Sharena), rekan kerjanya yang diam-diam menaruh hati pada Remi (Reza Rahadian), melihat ini sebagai peluang untuk menyingkirkan ‘rivalnya’ tersebut. Sementara itu, hubungan Keenan dan Luhde (Elyzia Mulachela) terombang-ambing dalam ketidakpastian setelah sebuah pertemuan tak terduga Kugy dengan Luhde. 

Apabila pendahulunya gagal membawa Anda ke dalam nuansa yang dramatis dan sentimentil, maka apa yang Anda harapkan dari Perahu Kertas 2? Ini adalah sebuah proyek ambisius yang hanya bisa membahagiakan para penikmat novelnya dan para gadis yang menggilai film drama romantis yang mendayu-dayu, nyaris tidak ada kesempatan untuk penonton awam yang tidak mengenal sumber adaptasinya untuk jatuh cinta kepada Perahu Kertas 2. Saya kurang percaya dengan siapapun yang sesumbar bahwa alasan pemecahan film adalah demi memertahankan bagian-bagian penting dalam novel sehingga esensi cerita tidak luntur. Kenapa tidak mengatakan saja, uang telah berbicara? Jelas sekali ada setumpuk adegan yang jika dihilangkan pun tidak akan memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan cerita. Akibatnya, Hanung Bramantyo dan Dewi Lestari yang turun tangan sendiri untuk menangani penulisan naskah mau tak mau kudu memelarkan beberapa titik guna menggenapi kuota durasi yang diminta oleh para produser. 

Letupan konflik dan ledakan air mata yang dijanjikan semasa promosi pun tidak lebih dari sekadar isapan jempol. Perahu Kertas 2 bak dilepas ke perairan yang tenang dengan gelombang yang muncul sesekali dan alpa bebatuan yang seharusnya merintangi laju. Dramatika cerita dan emosi para tokoh gagal terbangun dengan baik serta tidak mampu mengikat penonton untuk duduk tenang menikmati para tokoh bermain rasa selama kurang lebih 100 menit. Dari sekian banyak problematika yang menyembul, hanya kisah Luhde yang cukup mampu saya nikmati. Sisanya, saya tidak terlalu ambil pusing. Fase deg-degan yang diharapkan hadir saat hubungan segi rumit antara Kugy, Keenan, Remi, dan Luhde terbongkar, lewat begitu saja tanpa meninggalkan kesan sama sekali. Dewi Lestari memang penulis novel yang jempolan, siapapun mengakuinya. Akan tetapi, untuk urusan mengolah naskah, dia masih perlu belajar banyak. Seandainya penulisan naskah diserahkan kepada penulis naskah kelas wahid, bisa jadi Perahu Kertas 2 akan berkali-kali lipat lebih menggigit dan tidak sedatar ini. Atau... seandainya Perahu Kertas dibiarkan berdiri dalam satu kesatuan tanpa dipaksa untuk dipecah, hasil akhirnya mungkin lebih menarik. Sungguh sangat disayangkan. Pada akhirnya, Perahu Kertas 2 tidak ubahnya sebuah dongeng pengantar tidur. Saya benar-benar membutuhkan bantal dan selimut kala menontonnya.

Poor



6 comments:

  1. "...seandainya Perahu Kertas dibiarkan berdiri dalam satu kesatuan tanpa dipaksa untuk dipecah, hasil akhirnya mungkin lebih menarik..."

    gw setuju banget dengan yang ini. banyak juga penonton yg mengeluhkan, kok tahu2 udah ada Perahu Kertas 2 padahal Perahu Kertas 1 saja belum nonton, dsb. but i found it enjoyable. at least a little bit more enjoyable compared to the first one.

    ReplyDelete
  2. Novelnya sendiri menurutku adalah sebuah bencana. Jadi kalau kemudian diangkat ke layar lebar dengan skenario yg ditulis oleh penulis novelnya sendiri, apalagi yg dapat diharapkan? Tentu hasilnya juga sebuah bencana.. Film ini sudah timpang sejak awal, entah karena miscast atau memang tak ada karakter yg dapat menjadi kesayangan kita dlm novelnya, berakibat tdk terkoneksinya penonton dengan karakter2 dalam film ini.. Dialognya apalagi, maksudnya biar puitis tapi jadinya super lebay dan picisan.. eewwrrr..disaster

    ReplyDelete
  3. sejak pertama memang tidak tertarik dengan film yang dibuat oleh Hanung, jadi saya nggak perlu mikir dua kali untuk memutuskan tidak menontonnya apalagi pemainnya kurang sesuai dengan gambaran yang selama ini ada dalam kepala saat membacanya

    ReplyDelete
  4. Saya setuju bahwa ternyata filmnya tidak se-spektakuler yang digembar-gemborkan di social media. Apalagi endingnya. Saya nggak nyangka endingnya bakal seenteng itu. I love Dee Lestari, but these movies are definitely not my favorites.

    ReplyDelete
  5. Awalnya memang begitu penasaran dengan film ini. Banyak yang bilang berkesan, tapi setelah dilihat secara langsung tak sesuai dengan yang diharapkan

    ReplyDelete
  6. iya, filmnya sangat membosankan. ceritanya flat, saya coba tonton beberapa kali, tapi saya tetap tidak menemukan hal-hal yang istimewa. hanya teman-teman saya yang tergila-gila teenlit yg menyukainya

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch