February 16, 2013

REVIEW : A GOOD DAY TO DIE HARD


"I'm on fucking vacation!" - John McClane

Dalam perayaan tahun perak, franchise Die Hard yang mulai menghibur para penikmat film pada tahun 1988 melempar jilid kelimanya yang diberi tajuk A Good Day to Die Hard. Ini sekaligus menjadi ajang kembalinya franchise ini ke layar lebar setelah terakhir kali menyambangi penonton 6 tahun silam. Jika segala bentuk kekacauan yang terjadi pada keempat seri sebelumnya berlangsung di Amerika Serikat, maka kali ini John McClane (Bruce Willis) terbang ribuan mil ke belahan dunia lain untuk mengobrak abrik Rusia. Ya, konsep wajib ‘the wrong man in a wrong place at the wrong time’ masih diterapkan di sini. Rencana untuk sedikit bersantai, menggelar ‘family time’ bersama sang putra yang tengah terlibat masalah pelik, dan menikmati keindahan Negeri Beruang Merah ini terusik karena, ya, dia adalah seorang pria yang senantiasa berada di tempat dan waktu yang salah. Itulah John McClane. Tidak peduli kemanapun dia pergi, jika itu berarti adalah sekuel dari Die Hard, maka berkah tersebut akan selalu berada di sisinya.  

Di dalam seri kelima ini, John McClane melanglang ke Moskow, Rusia, usai mendapati anak laki-lakinya, Jack McClane (Jai Courtney), sedang mengalami masalah. Setelah perjalanan panjang nan melelahkan dan belum sempat untuk menikmati secangkir teh hangat, meregangkan otot kaki, atau berendam air panas, John langsung disambut oleh serangkaian kekacauan saat menjejakkan kaki di ibu kota Rusia tersebut. Pertemuannya dengan sang putra berlangsung dalam situasi yang salah dan tidak mengenakkan. Jack, yang ternyata adalah seorang agen CIA, tengah dalam misi menyelamatkan seorang tahanan politik bernama Yuri Komarov (Sebastian Koch) yang terlibat dalam sebuah kasus kebocoran radiasi nuklir di Chernobyl pada tahun 1986. Mantan rekannya yang sekaligus seorang pejabat tinggi di pemerintahan Rusia, Chagarin (Sergei Kolesnikov), mengkhianatinya dan berencana untuk melenyapkan Komarov dari muka bumi setelah mengetahui bahwa Komarov memiliki dokumen penting yang membongkar keterlibatan Chagarin dalam peristiwa Chernobyl. John yang semula tidak tahu menahu mengenai kasus ini pun akhirnya ikut terseret ke dalamnya setelah dia memutuskan untuk ikut campur demi menolong sang anak sekaligus memperbaiki hubungan yang retak diantara mereka. 

John Moore yang bertindak selaku sutradara tak banyak berbasa-basi dalam membuka film. Penonton yang telah duduk manis di dalam gedung bioskop seraya ngemil berondong jagung dan menyeruput segelas soda langsung disuguhi dengan adegan kejar-kejaran mobil yang masif di tengah lalu lintas Moskow yang sangat padat. Bang bang, boom boom! Berlangsung dalam durasi yang terbilang panjang, gelaran aksi yang dihadirkan ini jelas merupakan sebuah pembuka yang seru dan menyenangkan. Apabila Anda menggemari tontonan dimana sejumlah mobil mengalami nasib naas melalui berbagai penghancuran yang tidak manusiawi, maka apa yang tersaji di layar akan membuat Anda bersemangat. Dan selayaknya jilid lain dari franchise ini dimana ledakan demi ledakan menjadi pemandangan yang umum, maka Moore pun membawanya ke level lebih tinggi di sini. Segalanya menjadi semakin besar. Adegan aksinya tersaji nyaris tanpa putus dimulai dari jalanan Moskow yang padat hingga berakhir di Chernobyl melalui konfrontasi akhir yang melibatkan helikopter. Benar-benar hancur-hancuran dan sangat berisik. 

Ini jelas menjadi sebuah suguhan yang mengasyikkan bagi siapapun yang datang ke bioskop mengharapkan sebuah tontonan aksi yang tidak membutuhkan pemikiran serius dan hanya diisi dengan serangkaian ledakan, tendangan, dan tembakan yang tiada berkesudahan. Bukan sesuatu yang salah, tentu saja. Akan tetapi hal ini tidak lantas mengizinkan sang penulis skenario, Skip Woods, untuk bermalas-malasan dalam merajut skrip. Memunculkan adegan laga yang berkepanjangan demi menutupi lubang demi lubang yang menganga lebar dalam hal penceritaan. Terlalu fokus untuk menciptakan sebuah inovasi anyar dalam hal adegan laga sehingga mampu membuat mulut penonton menganga, Woods lupa bahwa bagaimanapun A Good Day to Die Hard tetaplah sebuah film yang membutuhkan naskah. Kisah yang disampaikan seolah hanya tempelan belaka dan dihadirkan demi menggugurkan kewajiban bahwa sebuah film kudu memiliki cerita. Nyaris kosong tak berisi. Hubungan antara John dan Jack ditampilkan sekenanya serta tidak pernah tergali lebih mendalam sehingga penonton pun tidak pernah diberi kesempatan untuk menaruh simpati ke kedua tokoh ini. Dingin dan hambar. Yang terlihat justru lebih menyerupai hubungan antara seorang ‘hero’ dengan ‘sidekick’-nya ketimbang ayah dan anak. Apabila ini masih bisa dimaafkan, maka bagaimana dengan sang villain yang sama sekali tidak meninggalkan greget, terkesan lemah dan jelas kalah telak dengan para penjahat di jilid-jilid sebelumnya? Penggemar berat Die Hard pun akan mendengus kesal. Upaya untuk menciptakan twist di paruh akhir pun berakhir pada kegagalan lantaran sama sekali tidak istimewa dan telah usang, tentu saja. Sangat mudah untuk ditebak. 

Dengan naskah yang bahkan lebih ringan dari bulu tersebut, apakah A Good Day to Die Hard lantas menjelma menjadi sebuah film yang buruk? Tergantung dari sisi mana Anda melihatnya. Untuk saya pribadi, A Good Day to Die Hard tidak sepenuhnya gagal. Menyenangkan untuk disaksikan, walaupun sangat mudah untuk dilupakan. Meski mengalami kemorosotan kualitas yang cukup signifikan dari Live Free or Die Hard, akan tetapi segala bentuk adegan aksi pemacu adrenalin yang ditampilkan di sini setidaknya sedikit banyak mampu menyelamatkan muka franchise Die Hard. Harus diakui, gelaran aksinya jelas sangat ‘wow’ dan menghibur walaupun ini masih belum mampu mengobati kekecewaan sebagian penggemar berat yang tentunya mengharapkan jilid ini hadir bukan hanya untuk merayakan peringatan ulang tahun ke-25 dengan sajian aksi kosong tak berotak namun lebih dari itu. Meski demikian, A Good Day to Die Hard tetaplah sebuah film yang mengasyikkan terlebih jika niatan Anda untuk menyaksikan film ini hanyalah untuk melepas penat dan bersenang-senang dengan melihat seribu satu jenis ledakan. Yippee-ki-yay, motherfucker!

Acceptable



4 comments:

  1. Seri Die Hard yg paling memorable bagi saya adalah Die Hard 3.

    ReplyDelete
  2. @ Rasyidan: Kalau favorit saya tetap Die Hard, tapi Die Hard 3 memang salah satu yang terbaik di franchise ini. Penuh dengan teka teki di dalamnya.

    ReplyDelete
  3. gila-gilaan filmnya. special effectnya mantap cuma memang agak garing sih ceritanya.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch