February 24, 2013

REVIEW : MAMA


"Victoria, who is Mama? Can you show her to me?" - Dr. Dreyfuss

Apakah Anda siap untuk menyambut kehadiran tokoh anyar dalam film horor yang akan membuat Anda terperanjat sekaligus segera menjadi klasik dalam beberapa tahun mendatang? Jika ya, mari kita sambut... Mama. Setelah beberapa tahun terakhir terlalu banyak darah dan pembantaian dalam film horor dari Hollywood, maka berkat Guillermo del Toro yang menuntun bakat baru, sebuah horor tradisional siap untuk dihidangkan kepada Anda. Berawal dari film seram pendek langganan puja-puji berdurasi 3 menit bertajuk Mama, Andres Muschietti menarik perhatian para pemerhati film dunia. Tanpa ragu, setelah dibuat terkesima, del Toro lantas merancang proyek film panjang untuk Mama dengan sang pencetus ide asli tetap berada di belakang kemudi. Setelah pengembangan demi pengembangan, Mama pun siap untuk kembali menakut-nakuti penonton yang sekali ini berpindah ke layar perak. Dengan jalinan kisah yang lebih panjang, lebih rumit, dan lebih besar, akankah versi layar lebar dari Mama tetap sanggup hadir semencekam atau malah justru jauh lebih mencekam ketimbang versi film pendeknya? Mari kita kupas. 

Mimpi buruk bermula di tahun 2008 kala terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan para pelaku bisnis terpaksa tiarap. Salah satu korban, Jeffrey (Nikolaj Coster-Waldau), tidak sanggup menghadapi tekanan yang menggempur hingga memutuskan untuk melenyapkan nyawa rekan bisnisnya beserta istrinya. Usai menjadi algojo, Jeffrey kabur bersama kedua putrinya, Victoria dan Lily. Perjalanan tidak berlangsung aman dan nyaman karena dalam posisi melaju kencang, Jeffrey tak dapat mengendalikan mobil yang kemudian berakhir di jurang. Berhasil selamat, ketiga tokoh ini lantas mengarungi belantara dan menemukan sebuah pondok bernama Helvetia. Jeffrey berencana untuk mengeksekusi kedua putrinya di tempat ini. Belum sempat rencana terwujud, sesosok makhluk misterius tiba-tiba hadir, menyelamatkan para gadis, dan menghabisi nyawa sang ayah. Apakah segalanya berakhir? Tentu saja belum, ini masih sebuah prolog. Penonton lantas digiring ke 5 tahun berikutnya dengan memperkenalkan pasangan Lucas (Nikolaj Coster-Waldau) dan Annabel (Jessica Chastain) yang tak kenal lelah mencari keberadaan Victoria (Megan Charpentier) dan Lily (Isabelle Nelisse) yang raib seolah ditelan bumi. 

Setelah proses pencarian yang berlangsung menahun, Victoria dan Lily berhasil ditemukan. Jangan harap melihat dua bocah yang bercucuran air mata penuh kebahagiaan melihat hidupnya terselamatkan, Victoria dan Lily justru menunjukkan tingkah laku yang jauh di bawah batas kewajaran sebagai efek dari mencoba bertahan hidup di alam liar selama lima tahun lamanya. Lucas dan Annabel, yang turut mendapat bantuan dari Dr. Dreyfuss (Daniel Kash), pontang panting mengurus mereka. Seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin berkembangnya hubungan para gadis dengan Annabel, berbagai peristiwa ganjil mulai menampakkan muka. Sepertinya ada seseorang (atau malah justru sesuatu?) yang sepertinya tidak rela melihat Victoria dan Lily ‘berpindah ke lain hati’. Dengan adanya bayangan, atau suara-suara pendiri bulu kuduk, penonton dengan segera menyadari, mereka telah memasuki arena bermain sesungguhnya setelah sebelumnya diperkenalkan terlebih dahulu kepada si tokoh utama melalui adegan pembuka yang mendebarkan. 

Paruh awal film adalah bagian terbaik dari film yang mencoba untuk menapaki ranah horor tulen ini. Ketegangan dibangun melalui suasana sunyi senyap yang membuat penonton menduga-duga apa yang akan mendadak nongol di hadapan mereka. Persiapan dalam menyambut kemunculan mendadak meliputi kedua tangan menutupi wajah atau jari-jari menyumbat lubang telinga. Harus diakui, Andres Muschietti tergolong berhasil menghadirkan fase was-was dalam diri penonton. Wujud ‘Mama’ yang masih serba misterius turut menjadi salah satu faktor ketidaknyamanan yang hadir menyeruak, dan masih ditambah pula dengan gelaran scoring yang cukup berhasil dalam membuat penonton terlonjak dari kursi bioskop. Lalu, kita mengikuti investigasi yang dilakukan oleh Dr. Dreyfuss demi membongkar identitas yang sesungguhnya dari sosok-misterius-yang-kerap-dipanggil Mama oleh para gadis. Ini menyenangkan, serta tentu saja menegangkan. Ketika identitas Mama – yang dalam versi film diwujudkan oleh seorang aktor bernama Javier Botet dan digabung dengan CGI – terungkap, sayangnya secara perlahan tapi pasti, ketegangan mulai mengendur. 

Tidak ada masalah bagi saya ketika Andres Muschietti membelokkan film ke drama keluarga yang mengharu biru atau horor berbalut fantasi saat memasuki menit-menit terakhir. Lumayan berhasil dihantarkan hingga emosi penonton turut dibangkitkan. Yang membuat ‘mood’ saya mendadak rubuh adalah ketika sosok Mama tidak lagi demam panggung dan mulai banci tampil. Ini adalah kesalahan utama – yang entah mengapa selalu diulang-ulang dalam film horor nasional, meh – dalam sebuah film horor. Ketika sosok yang sejatinya menyeramkan serta seharusnya misterius itu menjadi lebih sering menampakkan diri, maka pada saat itulah film seharusnya diakhiri. Ini seharusnya menjadi sebuah klimaks. Keputusan untuk terus menerus menggedor jantung penonton melalui sosok Mama yang rasa-rasanya muncul setiap 5 menit sekali dengan taburan musik yang mengagetkan pada akhirnya malah menjadi bumerang terhadap film ini sendiri. Rasa takut yang telah terbangun, mendadak roboh seketika. Sungguh sangat disayangkan. Beruntung, Mama masih memiliki sebuah adegan menakutkan di paruh akhir – meski tidak lagi mengejutkan jika telah menyimak versi film pendeknya – dan para pemain yang berakting dengan chemistry yang terjalin meyakinkan hingga Mama tidak benar-benar terjun bebas dari tebing. 

Pada akhirnya, Mama memang bukan sebuah gelaran berisi teror dan pameran adegan-adegan seram yang istimewa, namun secara keseluruhan tetap mampu mengundang rasa takut – serta sedikit rasa haru – penonton. Ini akan menjadi tontonan yang cukup menyenangkan bagi mereka yang gemar ditakut-takuti, atau penonton yang mudah dikagetkan hanya dengan sedikit dentuman saja. Namun bagi para penggila film horor yang mengharapkan adanya kejutan-kejutan serta teror yang menghantui, Mama hanya terlihat sedikit lebih baik ketimbang sejumlah film seram yang muncul akhir-akhir ini. Memulai dengan langkah yang sangat meyakinkan, sayangnya Mama menjadi kian lemah dan terseok-seok kala mencoba menggapai garis akhir. Ketakutan yang telah terbangun dengan baik roboh seketika saat sosok Mama mulai mencintai kamera. Mama lupa tujuannya hadir di film ini adalah untuk menakut-nakuti penonton, bukan untuk berpose dengan gaya yang aneh.

Acceptable



2 comments:

  1. Pesan dari film ini adalah, "ikutlah dhemit, maka kamu akan jadi kupu-kupu", hahaha.

    Menurut saya, kilas balik 5 tahun yang lalu, tentang Jeffrey yang menghabisi istrinya sendiri itu agak bikin bingung karena terkesan dipaksakan agar ada 2 anak kecil yang menghabiskan 5 tahun hidupnya bersama Mama.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch