June 23, 2013

REVIEW : LEHER ANGSA


"Potong bebek angsa, masak di kuali. Ada leher angsa, nggak eek di kali..."

Apabila merunut pada pengertian yang tertera di Kamus Besar Bahasa Indonesia, leher angsa memiliki arti ‘saluran pembuangan kotoran di kakus’. Adapun penamaannya sendiri didasarkan pada bentuknya yang sedikit banyak menyerupai leher angsa. Nah... Melalui film ketujuh yang dilepas demi menyemarakkan musim liburan sekolah pada tahun ini, Alenia Pictures mencoba memperbincangkan hal tersebut sesuai dengan skrip hasil olahan Musfar Yasin (Get Married, Ketika, Kiamat Sudah Dekat). Problematika soal jamban – yang kemudian merembet kepada bisul – bisa jadi dianggap oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang remeh, tak penting, serta... menjijikan (tentu saja). Akan tetapi, pada kenyataannya, bagi sebagian orang lain apa yang dianggap sepele ini merupakan sesuatu yang esensial. Ari Sihasale dan Musfar Yasin dalam Leher Angsa mencoba untuk merekamnya lalu memaparkannya dengan lucu, segar, sekaligus menghibur. Banyak pelajaran berharga yang tersampaikan tanpa perlu kelewat ceriwis dalam bertutur. 


Berlatar di Desa Sembalun – yang berlokasi di kaki Gunung Rinjani, penonton lantas diperkenalkan kepada Aswin (Bintang Panglima) beserta ketiga sahabat karibnya; Sapar (Yudi Miftahudin), Najib (Fachri Azhari), dan Johan (Agus Prasetyo). Aswin baru saja kehilangan sang Ibu (Tike Priatnakusumah) dalam sebuah kecelakaan di ladang. Mengetahui bahwa ibunya pergi ke ladang demi menggantikan ayahnya, Pak Tampan (Lukman Sardi), yang terlalu sibuk menyabung ayam, perasaan benci Aswin terhadap sang ayah perlahan mulai timbul. Kehadiran Ibu baru (Alexandra Gottardo) tidak lantas mengakhiri konflik berkepanjangan ini. Malahan, justru kian memperluas jarak diantara mereka berdua. Pak Tampan enggan untuk mengabulkan dua permintaan sang anak; membelikan sepeda dan membuatkan WC leher angsa untuk ibu baru yang kesulitan buang hajat di sungai. Apa yang kemudian menjadi permasalahan di desa tersebut selain WC leher angsa – dimana hanya Kepala Desa (Ringgo Agus Rahman) yang memilikinya – adalah suara gesekan biola yang sumbangnya minta ampun, tugas mengarang yang menyusahkan hingga bisul yang menyiksa. 

Sejujurnya, sekalipun saya mengakui bahwa film yang dihasilkan oleh Alenia Pictures rata-rata berkualitas baik, namun Leher Angsa adalah yang pertama kalinya benar-benar berhasil mencuri hati dan perhatian saya. Permasalahan yang diapungkan terasa dekat dan nyata. Tidak perlu jauh-jauh ke Lombok untuk mengecek silang apakah yang dibahas oleh Musfar Yasin itu benar adanya. Kala menyaksikan film ini, saya langsung teringat dengan kehidupan masyarakat di sepanjang Sungai Mekong (kependekan dari ‘meme bokong’), Demak. Bagaimana aktivitas semacam buang hajat, mandi, dan cuci mencuci, berlangsung di tempat yang sama. Pemandangan yang setiap minggu saya saksikan setiap kali pulang kampung, dipaparkan oleh Ari Sihasale dengan gaya yang unik, lugas, serta mengundang tawa. Untuk mengejawantahkan imajinasi dari si penulis naskah ke dalam bahasa gambar, maka pemanfaatan animasi adalah solusi terbaik. Adegan yang melibatkan ‘kucing jadi-jadian’ boleh dibilang kasar dalam penggarapan animasinya sehingga kucing terlihat bak monster, namun terbayarkan oleh adegan lainnya – yang tidak akan saya sebutkan demi menjaga kejutan – yang menjadi ‘highlight’ dari film ini. Ledakan tawa tidak dapat dibendung. 

Begitulah cara Musfar Yasin dan Ari Sihasale berceloteh. Leher Angsa tidak disulap menjadi film keluarga serius yang setiap tokohnya dipaksa untuk berceramah demi menggugurkan kewajiban sebagai ‘film keluarga bermutu berpesan moral’. Berbagai bentuk kritik sosial (seperti yang dilakukan Musfar di film-film sebelumnya) semacam korupsi, rumitnya birokrasi, judi, kebiasaan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, hingga permasalahan umum dalam keluarga disampaikan secara halus, mulus, santai, dan menggelitik, tanpa pernah terasa menceramahi. Ini lantas dijahit menjadi jalinan penceritaan yang benar-benar jempolan. Menarik sekaligus memikat. Sekalipun durasi film memanjang hingga nyaris mencapai 2 jam, namun saya tidak merasa kelelahan diajak Ari Sihasale dan tim berjalan-jalan meninjau Desa Sembalun. Sebaliknya, saya justru banyak mendapat pelajaran berharga dengan cara yang menyenangkan. 

Leher Angsa jelas adalah sebuah kejutan yang manis dari sineas dalam negeri di pertengahan tahun. Sejatinya, materi promosi yang digelar untuk film ini kurang menggiurkan. Tidak ada hasrat untuk mencicipi hidangan ke-7 dari Alenia Pictures ini. Maka siapa yang menduga, dibalik tampilan luar yang tak terlampau mengundang, terdapat hidangan yang lezat dan bergizi di dalamnya. Ari Sihasale sanggup memproyeksikan naskah jenaka dari Musfar Yasin dengan sukses. Keduanya saling bersinergi. Tapi pada dasarnya, Ari memang beruntung. Selain dibekali naskah sederhana tapi solid, dia juga mendapat dukungan dari jajaran pemain yang berakting secara sangat baik dan natural (salut untuk para pemain cilik dan Lukman Sardi dalam salah satu penampilan favorit saya), serta skoring musik gubahan Aghi Narottama dan Bemby Gusti yang aduhai dan membekas. Alhasil, Leher Angsa adalah salah satu karya terbaik yang pernah dihasilkan oleh Alenia Pictures. Film keluarga yang mengasyikkan dan tidak cerewet.

NB : Tidak disarankan untuk menonton film ini sambil makan. I've warned you! 

Exceeds Expectations


5 comments:

  1. Sekali ini kurang setuju Riz. Mungkin ada kedekatan tapi lagi coba lihat kemana sasaran edukasi yang dituangkan ke filmnya. ANAK-ANAK. Dirilis sewaktu LIBURAN SEKOLAH. Mau kemana unsur edukatif itu kalau dalam durasi 2 jam kita melihat lebih dari 10 x adegan dengan ekspresi BAB diiringi bunyi prat-pret-prot dengan adegan animasi balapan t---- (maaf)dgn kejorokan2 lain kalau ujung2nya hanya mau memancing tawa, itupun mgkn sebagian akan membuat orang jengah. Apa yang diharapkan dari orangtua yang menemani anaknya menonton film ini lewat adegan-adegan seperti itu walaupun mungkin memang kenyataan lewat pengamatan penulis di daerahnya? Dukun masuk sarung memanaskan bisul? Dialog p----- kerendam air baru enak rasanya BAB? Dan jangan lupakan, dialog Aswin yang dari awal terus menyumpahi bapaknya, no matter how wrong his dad was. Scene-scene panoramiknya sangat alenia, itu betul. Tapi pengadeganannya, IMO, bukan mendidik dibalik pesan yang sebenarnya cukup baik, tapi malah, kurang ajar. This is my opinion ya. Terus terang, I choose not to review this film karena akan cenderung bernada protes yang agak keras, padahal semua bakat-bakat yang ada di dalamnya potensial untuk membuat karya lebih baik. Lebih baik biarkan penontonnya yang bisa menilai sendiri.

    ReplyDelete
  2. Kok kritikus bisa berbeda pendapat 180°? Pasti sekolahnya beda.

    ReplyDelete
  3. Yang satu bisa menangkap cerita, satunya hanya menangkap gambar. Yang satu tak terganggu, yang satunya begitu sopan sehingga tidak tega menulis 'pantat'. Kritikus ada yg jelata ada juga yg priayi.

    ReplyDelete
  4. Wah... Om Daniel meninggalkan komentar di sini. Saya sungguh sangat tersanjung. Ehem.

    Sekalipun saya menyukai film ini, namun saya pun tak menyanggah pendapat Om Daniel. Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk berpendapat. Argumen untuk ketidaksukaan Om Daniel kepada film ini pun beralasan - meski saya berharap ini dituangkan dalam bentuk review lebih panjang, ayolah. Perihal masalah BAB di sungai dan tetek bengeknya, sayangnya itu memang benar adanya. Di kabupaten sebelah kampung halaman saya, nyatanya masih dilestarikan berikut segala keanehan-keanehannya. Tapi saya sepakat untuk sumpah serapah si Aswin yang seringkali kelewatan. Berharap penonton cukup cerdas untuk bisa memahami maksud si pembuat film :)

    Untuk anonim... sudahlah, tak apa-apa. Perbedaan pendapat seperti ini sangat wajar kok. Saya, Om Daniel, dan rekan-rekan blogger lain sudah sering seperti ini. Meski kadang-kadang jika debat bisa sampai 'berdarah-darah', tapi justru itu yang menjadikannya asyik. Selama argumen kuat dan bisa dipertanggungjawabkan, saya rasa tak ada masalah :)

    Segala apa yang saya tuangkan di sini (begitu juga dengan Om Daniel dan rekan-rekan) adalah wujud dari kecintaan dan kepedulian kita kepada perfilman Indonesia. Kita hanya ingin membantu melalui sudut pandang masyarakat awam. Itu saja, tidak lebih.

    Mari berdamai :)

    ReplyDelete
  5. Sudahlah, gak usah bicara dan mengkritik terus. Berkarya saja, kritik tidak ada yang membangun, pujian membangun, kritik imenjatuhkan.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch