July 1, 2013

REVIEW : REFRAIN


"Terkadang kenyataan ga selalu sesuai sama yang kita inginkan. Terkadang kita harus nunggu lebih lama buat ketemu orang yang kita sayang." - Niki 

Film terbaru dari Maxima Pictures, Refrain, beranjak dari novel laris bertajuk sama yang dikreasi oleh Winna Efendi. Mengingat pangsa pasar yang disasar adalah remaja, maka yah... apa yang dituturkan di sini tidak jauh-jauh dari problematika percintaan segi rumit diantara sejumlah remaja SMA. Yang menjadi ‘korban’ asmara untuk sekali ini terdiri dari Niki (Maudy Ayunda), Nata (Afgansyah Reza), dan Annalise (Chelsea Elizabeth Islan). Sementara Niki dan Nata telah menjadi sahabat karib semenjak mereka masih bocah, maka Anna adalah siswi pindahan yang baru saja memasuki kehidupan mereka. Apabila ini berlangsung di kehidupan sesungguhnya, segalanya tidak akan berjalan kelewat berliku serta cenderung lurus. Tapi berhubung ini adalah film romansa... maka segalanya tidak baik-baik saja. Bisa dipastikan, ada percikan asmara diantara ketiganya yang sengaja disembunyikan demi menunggu waktu yang tepat untuk diungkapkan. Namun yang lantas menjadi pertanyaan (yang sekaligus menjadi konflik utama), kapan waktu yang tepat itu akan datang menghampiri? 


Memertemukan Fajar Nugros dengan Haqi Achmad dalam sebuah proyek adaptasi untuk novel remaja bergenre romansa, sejatinya merupakan ide yang bagus. Masing-masing telah berpengalaman di jalur ini dengan setidaknya satu karya yang dapat dibanggakan – Fajar melalui Cinta di Saku Celana, sedangkan Haqi lewat Radio Galau FM. Akan tetapi, apa yang sepertinya terlihat bagaikan ‘dream team’ di atas kertas, ternyata tak berjalan sesuai dengan pengharapan di lapangan. Mereka tidak dibekali dengan materi yang memadai. Nyaris tak ada sesuatu yang istimewa untuk ditawarkan dalam jalinan penceritaan. Bisa dibilang, segalanya kelewat sederhana, dangkal, dan hambar. Rasa manis memang masih bisa dikecap di beberapa bagian, namun sebagian besar yang lain nyaris tak ada rasa. Bangunan karakter beserta konflik di sini terlalu lemah. Saya tak merasa terikat dan peduli untuk mengikuti petualangan cinta Niki, Nata, Anna, dan Oliver (Maxime Bouttier). Keempat tokoh ini tak pernah menjadi begitu dekat dengan penonton, hampir tak mempunyai chemistry, dan seolah sibuk dengan urusan masing-masing. Bukan hal yang bagus, tentu saja. Untungnya, Maudy Ayunda menyalurkan energi untuk tokoh yang diperankannya secara maksimal dan pendatang baru Chelsea Elizabeth Islan mudah untuk disukai. 

Ketika paruh awal masih terbilang lumayan menarik untuk disimak, memasuki paruh akhir... putaran yang cukup drastis terjadi. Konflik demi konflik menggempur secara beruntun berpotensi menciptakan klimaks yang menghentak yang sayangnya tak pernah terjadi. Perubahan karakteristik dari beberapa tokoh yang kelewat ekstrim menjadikan Refraintoo weird to be true’. Berbelok kelewat tajam secara mendadak, tanpa melalui proses bertahap. Tentu, maksudnya untuk menghasilkan dramatisasi, yang terjadi justru menjadikan tokoh-tokoh tersebut tak manusiawi dan luar biasa menyebalkan. Simpati pun gagal tersemat. Untuk memberi sentuhan akhir yang mengesankan, film lantas diterbangkan ke luar negeri, atau dalam hal ini Austria – mengingatkan saya kepada film-film buatan Soraya generasi Shandy Aulia. Sekalipun porsinya terbilang minim, adegan-adegan yang terjadi di Austria ini terbilang cukup manis. Bisa terasa lebih manis, jika saja... gambar tidak pecah. Duh. Jauh-jauh menjalani proses pengambilan di negeri orang hanya untuk mendapatkan gambar yang tak sedang dipandang. Sungguh sangat disayangkan. 

Refrain bisa jadi akan dengan mudah membuat para remaja yang masih duduk di bangku sekolah jatuh cinta, terutama berkat para pemainnya yang sedap dipandang dan kisah percintaannya yang penuh kegalauan. Namun bagi mereka yang telah melewati fase ini (seperti saya yang tak lagi muda. Uhuk.)... Refrain akan dengan mudah menguap. Ditilik dari segi materi promosi, kudu diakui film ini adalah salah satu yang terkuat tahun ini – bahkan bisa jadi, dalam beberapa tahun terakhir – akan tetapi sayangnya itu tidak dibarengi dengan filmnya yang hadir dengan jalinan penceritaan yang lemah dan kekurangan energi dalam membuat penonton (dari berbagai generasi, tidak hanya remaja) untuk peduli dan terikat dengan kisah yang digulirkan. Nyaris tak ada greget yang dirasakan. Sayang sekali, padahal Refrain berpotensi menjadi film romantis yang mengesankan jika ditangani secara tepat.

Acceptable


1 comment:

  1. Aku baca bukunya 2 kali dan kebawa emosi 2 kali juga. makannya ekspektasiku cenderung tinggi sama film ini. tp ternyata bnr2 ga tertangani secara matang, mgkn mereka trlalu terburu2 menyelesaikan (soalnya pengumuman casting pemain fix juga blm lama ini) jadi ga bisa munculin titik penguat emosi sama penonton.
    tambah kecewa lagi sama gambar pecah di austria.
    errrr....

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch