September 29, 2013

REVIEW : INSIDIOUS: CHAPTER 2


"How dare you!!!"

Dua tahun silam, Insidious hadir menyemarakkan bioskop Indonesia tatkala tengah dilanda paceklik film-film dari enam grup besar. Kala itu tak banyak harapan yang disematkan terhadap film ini sekalipun James Wan (dan rekannya Leigh Whannell) memiliki jejak rekam yang terbilang bagus dalam dunia film horor. Tapi apa yang kemudian terjadi, sama sekali di luar bayangan saya. Bisa-bisanya, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir saya keluar dari gedung bioskop dengan tubuh yang terkulai lemas. Suguhan yang tadinya dipandang sebelah mata, tak dinyana ternyata luar biasa ganas dalam membuat penonton ketakutan! Dengan cepat, word of mouth pun tersebar ke berbagai penjuru, berdampak pada meledaknya film berbiaya minim ini. Ketika torehan akhir melampaui prediksi siapapun, sekuel pun dipersiapkan. Berselang dua tahun dari jilid pembuka, Insidious: Chapter 2 menyapa penonton. Wan berniat untuk mengulang kembali kegemilangannya dalam membangkitkan bulu kuduk penonton. Akan tetapi, dengan formula yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya ditambah fakta teror The Conjuring masih belum luntur sepenuhnya dari ingatan, akankah Insidious: Chapter 2 sanggup meninggalkan kesan mendalam bagi para penonton, khususnya mereka yang jatuh hati dengan jilid awal? 

September 25, 2013

REVIEW : MALAVITA


Malavita atau yang dikenal juga sebagai The Family atau We’re a Nice Normal Family kala dirilis di negara-negara tertentu, memiliki daya tarik yang tak terbantahkan – setidaknya untuk penikmat film. Betapa tidak, hanya dengan melihat posternya, kita telah melihat ada nama-nama menjanjikan sekaligus menggiurkan; Luc Besson, Martin Scorsese, Robert De Niro, Michelle Pfeiffer, Tommy Lee Jones, dan si Quinn Fabray yang cantik dari serial televisi Glee... Dianna Agron! Lalu, Malavita pun dibekali dengan premis yang cukup unik dan mengundang selera; program perlindungan saksi untuk keluarga mafia. Belum lagi, Besson pun tidak segan-segan untuk menjumput sejumlah referensi terhadap film gangster (sebut saja Goodfellas dan Married to the Mob). Ckck. Dengan segala daya tarik ini, tentu tiada alasan untuk melewatkannya begitu saja, bukan? Terlebih setelah saya menyimaknya – dengan ekspektasi yang meninggi, tentu saja – Malavita rupanya sesuai dengan apa yang bisa saya harapkan. Menghibur, lucu, dan menegangkan! 

September 20, 2013

REVIEW : KEMASUKAN SETAN


"Gue udah nggak sabar pengen ketemu setan!" - Eddy

Kapan terakhir kali Anda menyaksikan film horor buatan dalam negeri yang mampu membuat Anda diliputi rasa tidak nyaman, terlonjak berulang kali dari kursi bioskop, dan sesekali enggan untuk menatap ke layar? Untuk saya, itu adalah empat tahun silam kala menyimak Keramat garapan Monty Tiwa. Selepas itu, tiada lagi yang benar-benar membekas di ingatan – walau dalam beberapa bulan terakhir ada yang lumayan semacam Hi5teria, Tali Pocong Perawan 2, hingga 308 – terlebih kian lama kian banyak sineas serakah yang seenak udelnya mengoyak-oyak genre horor dengan mencampurinya bumbu komedi garing dan seks murahan dimana dari sisi penceritaan pun tidak lebih dari copy paste. Ugh! Maka ketika ada sebuah film seram asal Indonesia yang rilis, belum apa-apa sikap skeptis sudah terpatri. Ini pula yang berlaku saat saya hendak menyaksikan Kemasukan Setan garapan Muhammad Yusuf – yang tahun lalu baru saja menelurkan The Witness. Akankah ini berbeda dari film sebelum-sebelumnya atau tak lebih dari sekadar pengulangan yang menyiksa? Well... usai melahap Kemasukan Setan, saya harus mengatakan... masih ada harapan bagi film horor Indonesia untuk kembali bangkit! Film ini tidaklah seburuk yang dikira banyak orang, malahan... justru sama sekali tidak buruk. 

September 15, 2013

REVIEW : KICK-ASS 2


"You don't have to be a bad-ass to be a superhero. You just have to be brave." - Mindy

Apakah Anda masih ingat dengan superhero rekaan Mark Millar dan John Romita, Jr. bernama Kick-Ass yang memulai debutnya di layar lebar pada tahun 2010 silam? Tidak selayaknya karakter superhero lain yang beraksi dalam memberangus kejahatan dibekali oleh kekuatan super, keahlian khusus, atau perlengkapan maha canggih, Kick-Ass beraksi... hanya dengan bermodalkan kenekatan – dan kostum yang dibelinya di eBay. Boom! Tapi, siapa yang akan menduga jika konsep superhero tanpa kekuatan super (dan tidak lebih dari sekadar remaja nerd biasa yang memakai kostum berwarna hijau) akan dengan mudah disukai oleh para kritikus film dan masyarakat? Tentu saja, tidak dapat disangkal, percampurannya dengan kekerasan gila-gilaan dan komedi satir lah yang membuatnya kian menarik. Dengan raihan mencapai lebih dari $96 juta dari peredaran seluruh dunia, maka kesempatan untuk mewujudkan sebuah sekuel pun tak disia-siakan begitu saja. Namun yang kemudian menjadi pertanyaan, dengan Matthew Vaughn (sutradara film pertama) ‘membelot’ untuk bergabung dengan X-Men dan pengarahan diserahkan kepada Jeff Wadlow (Never Back Down, Cry_Wolf), akankah Kick-Ass 2 mampu menggila seperti sang predesesor? Let’s see! 

September 14, 2013

Short Reviews : CINTA/MATI, RIDDICK & ARBITRAGE


Cinta/Mati 

Setelah sebuah pengkhianatan, Acid (Astrid Tiar) berniat untuk mengakhiri hidupnya. Hanya saja rencana untuk bunuh diri berakhir dengan kegagalan dan justru memertemukan Acid dengan Jaya (Vino G Bastian). Apa yang terjadi kemudian adalah Ody C Harahap, sang sutradara, mengajak penonton untuk mengikuti ‘perjalanan satu malam’ antara dua manusia ini yang dituturkan dengan gaya yang unik, penuh tawa dan emosi, manis sekaligus mengiris hati. Sedikit banyak mengingatkan pada Before Sunrise dan Lovely Man, topik pembicaraan semalam suntuk yang diapungkan oleh Acid dan Jaya memang tak terlampau luas lantaran hanya mencakup pada cinta, hidup, dan kematian, namun ada makna mendalam yang menyentil terkandung di dalamnya. Obrolan yang sejatinya berat dan tak mengenakkan – lantaran bersinggungan dengan kematian – disampaikan secara santai sehingga film pun terasa mengasyikkan untuk disimak terlebih chemistry yang terjalin antara Astrid Tiar dan Vino G Bastian sungguh luar biasa. Saking apiknya akting mereka, sampai-sampai third act yang lajunya tak terkontrol dan melantur kemana-mana pun masih bisa termaafkan. 

Exceeds Expectations 

September 10, 2013

Short Reviews : PERCY JACKSON: SEA OF MONSTERS & R.I.P.D.


Percy Jackson: Sea of Monsters 

Sutradara asal Jerman, Thor Freudenthal, ditunjuk menggantikan Chris Columbus untuk menggarap Percy Jackson: Sea of Monsters yang sekali ini menyoroti petualangan Percy (Logan Lerman), putra Poseidon, bersama kawan-kawannya dalam mengarungi Amerika Serikat demi menemukan ‘bulu domba emas’ yang berkhasiat untuk menyembuhkan pohon pelindung di Camp Half-Blood yang tengah sekarat. Tak seperti Columbus yang masih sanggup menyuntikkan cukup banyak energi hingga film mencapai klimaks, Freudenthal sudah terengah-engah kehabisan nafas tatkala memasuki pertengahan film. Memang masih ada beberapa kesenangan yang didapat di sini; salah duanya melibatkan taksi gaib dan Nathan Fillion, namun secara keseluruhan, ini adalah sebuah penurunan dari jilid pertamanya. Dengan penceritaan yang begitu mudah ditebak kemana arahnya, Freudenthal tidak memberikan bumbu penyedap sedikit pun demi mengikat penonton sehingga yang terhidang ke penonton adalah sebuah sajian yang datar, hambar, dan menjemukan. Percy Jackson: Sea of Monsters tidak lebih dari dongeng pengantar tidur. 

Acceptable

September 5, 2013

REVIEW : THE MORTAL INSTRUMENTS: CITY OF BONES


"Demons exist across the world, in their varying different forms." - Jace

Sejujurnya, saya sudah mulai lelah dengan berbagai film adaptasi dari novel fiksi young-adult yang mendadak mewabah usai seri Harry Potter dan Twilight memeroleh respon luar biasa di seluruh dunia. Segera saja, para produser rakus di Hollywood itu latah membeli hak cipta berbagai macam novel fiksi; dari mulai yang laris bak kacang goreng hingga yang nyaris tak terdengar gaungnya, dan dari yang berkualitas jempolan hingga yang seolah asal jadi demi mengikuti tren. Entah sudah berapa macam pengekor yang dilempar ke bioskop hingga kini, namun yang pasti hanya The Hunger Games yang mampu menggaung sementara sisanya cenderung melempem. Seolah belum kapok, City of Bones, jilid pertama dari enam seri The Mortal Instruments karya Cassandra Clare, pun ikut-ikutan dipinang demi diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa gambar. Pengharapan dari pihak Constantin Film sebetulnya sederhana saja, mengulang kejayaan dari The Twilight Saga. Namun dengan kualitas penggarapan The Mortal Instruments: City of Bones yang sungguh memprihatinkan, maka pengharapan sederhana ini pun sayangnya menjadi terkesan... muluk-muluk. Duh. 

September 3, 2013

[Preview] DAFTAR FILM INDONESIA SIAP RILIS SEPTEMBER 2013


September ceria... September ceria... Ada apa di September yang seharusnya ceria ini? Well... usai Agustus yang rupanya tidak sesemangat seperti yang diharapkan, maka di bulan ini berupaya untuk ditebus. Dengan Manusia Setengah Salmon diundur penayangannya ke bulan berikutnya, maka setidaknya ada 7 film yang bertarung di bulan sembilan. Genre yang diusung lebih bervariatif; komedi, horor, aksi, romansa, hingga drama keluarga. 

Untuk lebih lengkapnya, inilah film-film Indonesia yang dirilis pada September 2013: 

September 2, 2013

REVIEW : ONE DIRECTION: THIS IS US


"They don't know me, but they love me!" - Directioner

Saya telah mengenal One Direction sejak mereka masih tidak lebih dari sekadar lima pemuda biasa yang mencoba peruntungan untuk menembus industri musik dengan mengikuti ajang The X-Factor Inggris musim ketujuh. Dengan penampilan yang kerap kali, errr... di bawah rata-rata, maka adalah suatu kejutan boyband ini dapat bertahan hingga tiga besar. Kejutan lainnya, mereka bahkan bisa bertahan di industri musik! Lalu, siapa pula yang akan menduga jika usai lulus dari acara realitas tersebut mereka akan dengan cepat menjadi besar seperti sekarang ini? Hanya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, mereka telah mendunia, dipuja disana sini, dan melibas habis Rebecca Ferguson serta Matt Cardle. Dengan ketenaran One Direction yang kian membumbung tinggi, maka hanya tinggal menunggu waktu seseorang akan mencetuskan ide untuk membuat film konser tentang mereka... yang mana (tentu saja) itu pun tidak perlu menunggu waktu lama untuk diwujudkan. Yang lantas menjadi pertanyaan (seperti yang sudah-sudah), akankah One Direction: This Is Us ini dapat dinikmati oleh mereka yang bukan fans? Well... dengan adanya Morgan Spurlock – yang menelurkan sebuah film dokumenter ciamik, Super Size Me – di belakang kemudi, maka seharusnya ini tidak akan menjadi sesuatu yang buruk. 

Mobile Edition
By Blogger Touch