October 8, 2013

REVIEW : GRAVITY


"I hate space!" - Ryan Stone

Terkesima dengan mulut menganga lebar, tiada bisa mengucap satu patah kata pun, dan mata terbelalak memandangi layar lebar adalah ekspresi yang didapat usai menyaksikan Gravity di bioskop. Hening untuk beberapa saat, kekaguman membuncah di dada, hingga lupa untuk memberikan standing ovation. Oh, atau mungkin hanya saya yang terlalu pemalu. Lalu apa yang terjadi saat melangkahkan kaki meninggalkan gedung bioskop, saya kudu berjuang mengatur nafas untuk kembali normal seperti sedia kala lantaran Alfonso Cuaron (Y Tu Mama Tambien, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Children of Men) juga telah menyebabkan efek sesak nafas, terlebih bagi saya yang memiliki riwayat claustrophobia. Damn you, Cuaron! Hingga beberapa menit (atau bahkan jam) ke depan, saya pun masih mengalami kesulitan untuk ‘move on’ dan malah sibuk merencanakan untuk kembali ke bioskop demi sekali lagi merasakan pengalaman sinematik luar biasa yang didapat dari menyimak Gravity dalam format 3D. Sungguh, Cuaron telah menyajikan sebuah mahakarya yang melampaui semua pengharapan, bahkan untuk ekspektasi yang membumbung tinggi sekalipun! 

Coba bayangkan premis berikut ini; dua astronot yang tengah dalam sebuah misi hanyut di luar angkasa setelah pesawat ulang-alik mereka hancur. Sekilas, terdengar sangat sederhana, bukan? Ketika Alfonso Cuaron beserta putra sulungnya, Jonas Cuaron, menjlentrehkannya ke dalam bentuk skrip, pengisahan pun hanya menjadi sedikit lebih rumit. Malah, sebenarnya sama sekali tidak rumit. Ini hanya sebuah film yang berkisah seputar pakar biomedik NASA, Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) dan astronot veteran, Matt Kowalski (George Clooney), yang berjuang untuk hidup di zero gravity usai badai debris yang memporakporandakan segala yang mereka angkut dari bumi, termasuk rekan kerja mereka. Tapi yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah mungkin Cuaron mengizinkan penuturan yang se-simple itu? Dilihat dari permukaan, ya. Namun apabila Anda bersedia untuk menelaahnya lebih mendalam, maka selayaknya Children of Men yang menggetarkan itu (dan menjadi film favorit saya!), ada simbol-simbol, metafora, dan pesan-pesan terselip di dalamnya yang meminta penonton untuk menafsirkannya sendiri. 

Sejak menit pertama, Gravity telah menahan penontonnya untuk duduk manis di kursi bioskop seraya mengagumi pencapaian sinematis dari Cuaron yang begitu menakjubkan. Belum apa-apa, sebuah pertanyaan telah meluncur dari mulut, “bagaimana Cuaron bisa menciptakan semua ini?”. Itu terlontar tepat setelah si pembuat film kembali menerapkan ciri khasnya dalam penggunaan take panjang tanpa putus dengan meminimalisir pengeditan yang untuk sekali ini dihadirkan dalam sebuah adegan pembuka yang mencengangkan yang berdurasi sekitar 12 menit! Yang bisa saya lakukan hanya geleng-geleng kepala sekaligus berkomentar, “Alfonso Cuaron edan!”. Ketenangan yang diselipi kegembiraan dimana Kowalksi melayang-layang riang berusaha mencairkan suasana kala rekan kerjanya sibuk mengutak atik teleskop luar angkasa dengan alunan lagu Country samar-samar terdengar dan pemandangan Bumi yang sangat cantik terlihat dari luar angkasa yang suram itu sontak berbalik drastis dengan kemunculan badai debris. Apa yang awalnya tampak tenang, seolah diluncurkan sebagai space drama biasa, seketika berubah menjadi thriller yang mencekam. Bahkan, di beberapa titik, ketegangan yang ditawarkan melampaui film-film memedi yang rilis beberapa bulan terakhir ini. 

Ada semacam perpaduan antara 2001: A Space Odyssey, Apollo 13, dan Life of Pi yang dirasakan di sini. Tentunya, ini bukan berarti plagiarisme atau sedikit pencotekkan, namun lebih kepada efek yang dirasakan kala menyaksikannya. Malah, Gravity adalah sebuah penyempurnaan. Ketika beberapa bulan silam saya terkagum-kagum bagaimana Ang Lee menyajikan Life of Pi, kali ini Alfonso Cuaron, tiada diduga melampauinya dengan begitu mudah. Perjuangannya selama bertahun-tahun (hingga sempat menghilang dari peredaran selama 7 tahun!) terbayar dengan lunas apabila menyimak hasil akhir dari film. Cuaron sanggup memadukan antara elemen teknis yang tergarap teliti nan detil dengan akting terbaik dari Sandra Bullock dalam sepanjang sejarah karirnya (Academy, beri dia piala atau setidaknya nominasi!) dan penceritaan yang mampu memunculkan bahan untuk diskusi sekaligus membangkitkan emosi. Semuanya itu lantas direkatkan menjadi satu secara rapi sehingga menghasilkan sebuah film luar angkasa terbaik yang pernah dihasilkan. 

Ah, masa sih sampai dinobatkan sebagai yang terbaik? Tapi Anda setuju atau tidak, diakui atau tidak, Alfonso Cuaron telah menciptakan sebuah standar yang tinggi bagi sineas-sineas lain yang ingin berkreasi dalam menyatukan kecanggihan teknologi dengan skrip yang berbicara lantang maupun performa dari pemain utama yang tangguh. Bahkan, James Cameron pun telah mengakuinya. Melalui Gravity, Cuaron mengajak penonton untuk berkelana jauh ke luar angkasa dalam sebuah perjalanan bersama dua astronot yang akan membuat Anda takjub sekaligus memunculkan rasa tegang dan ngeri di saat yang bersamaan, serta tanpa diduga, turut membuat hati tersentuh lantaran Cuaron tak lupa untuk memberikan kehangatan ke dalam penceritaan tanpa perlu membuatnya kelewat dramatis. Dengan efek visual berteknologi tinggi yang telah maju jauh ke depan, pergerakan kamera yang lincah nan mengagumkan, Sandra Bullock yang bermain sangat memukau, jalinan kisah yang mampu menciptakan berbagai macam rasa, skoring musik yang menggugah, dan kemampuan Alfonso Cuaron dalam mewujudkan proyek maha ambisius ini, telah cukup menghantarkan Gravity sebagai salah satu sajian terbaik tahun ini. Sebuah film yang sebaiknya tidak Anda lewatkan begitu saja karena, yah... mungkin Anda akan kesulitan menemukan yang seperti ini dalam beberapa tahun ke depan.

2D atau 3D? Suatu kewajiban menyaksikan Gravity dalam format 3D atau lebih baik lagi, dalam format IMAX. Rasakan sensasinya!

Outstanding

9 comments:

  1. mau nonton 4D sih, tapi inget mahallnya itu >< jadi cukup 3D biasa

    ReplyDelete
  2. Berdasarkan ulasan dari teman yang menonton Gravity di 4D, mending cobainnya saat menonton ini kedua kalinya. Kalau baru pertama, lebih disaranin di 3D atau IMAX :)

    ReplyDelete
  3. Gara gara baca review Cinetariz ini jadi penasaran sama Gravity apalagi banyak temen di Twitter & FB yang bilang keren. Kayaknya kudu dicobain nih.

    ReplyDelete
  4. jadi pingin nonton nih... bikin penasaran...

    ReplyDelete
  5. Makasih banyak. Senang jika ulasan saya bisa menggugah rasa penasaran :) Yuk ditonton, mumpung versi 3D masih ada.

    ReplyDelete
  6. GRAVITY is just....
    so damn amazing!
    saking menikmati visualisasi ceritanya, sampe ga kerasa kalo udah waktunya keluar bioskop. hahaha

    ReplyDelete
  7. Saking terbuainya dengan Gravity sampai waktu berlalu tanpa berasa yah. Hihihi.

    ReplyDelete
  8. nice review...... salam kenal.....
    kalo nontonnya di 4D berasa di luar angkasa beneran :)

    ReplyDelete
  9. Kalo saya gatau sih ya, kurang puas aja nonton film ini. Kurang greget, yg bikin seneng nonton ini cuma visualnya yg keren, selebihnya menurut saya biasa aja :3

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch