December 4, 2013

REVIEW : FROZEN


"Some people are worth melting for." - Olaf

Seandainya ulas mengulas sebuah film tidak diizinkan untuk berpanjang-panjang dan saya pun hanya dipersilahkan mendeskripsikan Frozen dalam satu kata saja, maka kata yang saya pilih adalah menakjubkan. Tiada keraguan lagi di dalam diri ini bahwa Frozen adalah film animasi terbaik tahun ini dan salah satu yang berhasil mencuri hati dengan mudah dalam satu dekade terakhir. Bahkan, Anda boleh saja menempatkannya di tingkatan yang sama dengan Beauty and the Beast, Aladdin, atau The Little Mermaid, sebagai karya klasik yang patut dikenang produksi Walt Disney Animation Studios. Sebagus itukah? Ya, setelah masa keemasan dari Walt Disney Animation Studios – biasa disebut sebagai Disney Renaissance – yang berakhir di Tarzan (1999), studio ini seolah kehilangan sentuhan magisnya dan tenggelam di bawah bayang-bayang Pixar yang menjelma sebagai raksasa animasi. Berjuang menghadapi kegagalan demi kegagalan di tahun 2000’an, secercah harapan mulai menampakkan diri dalam wujud The Princess and the Frog, Tangled, dan Wreck-It-Ralph yang begitu menyegarkan. Hanya saja, sekalipun ketiga film tersebut berada di atas rata-rata secara kualitas, namun Frozen adalah yang menandai kebangkitan sesungguhnya dari Disney. 
Dengan Disney kembali ke akarnya, maka yang bisa Anda temukan dalam Frozen mencakup kerajaan di antah berantah, dua putri cantik (karena satu akan terasa kurang), pangeran tampan, sihir menyihir, karakter lucu yang senantiasa menjelma sebagai scene stealer, hingga kutukan yang yah... melibatkan cinta sejati sebagai obat penawar. Formula klasik yang membesarkan nama Disney ini lantas diracik ulang oleh Jennifer Lee untuk Frozen dengan bubuhan beberapa bumbu istimewa disana sini sehingga ketika Anda mengira bahwa film ini tidak lebih dari sebuah replika dari film klasik Disney semacam Cinderella atau The Little Mermaid, Anda akan terkecoh dibuatnya. Duo sutradara yang turut memiliki jasa membesarkan Wreck-It-Ralph, Chris Buck dan Jennifer Lee, tahu betul bagaimana cara memerlakukan Frozen. Kesederhanaan dijadikan sebagai landasan utama untuk membangun film yang lantas dilapisi berbagai elemen yang menggabungkan antara klasik dan kekinian. 

Diadaptasi secara bebas dari dongeng karya Hans Christian Andersen, The Snow Queen, Frozen membawa kita ke Arendelle dan memerkenalkan pada dua putri yang mempunyai pertautan darah, Anna (Kristen Bell) dan Elsa (Idina Menzel). Keduanya memiliki hubungan yang begitu dekat seolah tak ada yang bisa memisahkan mereka, tatkala masih anak-anak. Namun semuanya berubah dalam sekejap setelah sebuah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa Anna. Merasa bertanggung jawab atas peristiwa ini, Elsa menjauhkan diri dari Anna dan mengisolasi dirinya sendiri selama bertahun-tahun lamanya. Apa yang kemudian terjadi – yang sekali lagi, mengikuti tradisi Disney – sang raja dan ratu Arendelle, orang tua Anna dan Elsa, tewas dalam sebuah kecelakaan kapal. Ini berarti, tahta diserahkan kepada Elsa sebagai yang tertua. Penobatan Elsa sebagai ratu menjadi pertama kalinya dua bersaudari ini saling bertemu sejak kecelakaan tersebut. Sayangnya, pertemuan ini tidak berjalan mulus. Keduanya terlibat cekcok yang berujung pada terbongkarnya rahasia besar yang selama ini disimpan rapat oleh Elsa. 

Frozen adalah sebuah film animasi yang begitu menakjubkan. Saya sudah mengatakan itu di kalimat pembuka ulasan ini. Dalam penjabaran yang lebih luas, Frozen tidak sekadar menakjubkan, tetapi juga cantik, cemerlang, cerdas, menghibur, menyenangkan, dan menghangatkan hati – meski sejauh mata memandang, nyaris sepanjang durasi film, yang terhampar hanyalah salju dan es. Sebuah hiburan kelas atas dan penuh pesona untuk keluarga. Apabila Anda berpikir ini akan menjelma selayaknya film animasi tentang putri kerajaan kebanyakan yang begitu menjemukan, maka bersiaplah untuk terkejut. Buck dan Lee merangkai gelaran adegan yang merentang hingga 108 menit dengan mengikat, mempunyai laju penceritaan yang melesat cepat (sehingga ada kalanya, terasa terburu-buru), dan memadukan aksi-roman-komedi secara sempurna. Sejak beberap menit pembuka film, saya tahu bahwa Frozen akan menjadi sebuah film istimewa. Dan seiring berjalannya film, ini menjadi semakin membaik, membaik, dan membaik, yang berujung pada sebuah klimaks yang mengharukan nan menghentak. 

Skrip yang digagas oleh Lee memang memesona, namun itu bukan satu-satunya daya tarik dari Frozen. Film ini masih mempunyai sejumlah lagu yang didendangkan sepanjang film yang fantastis, powerful, berlirik cerdas, memiliki nuansa Disney klasik, dan mudah sekali nyantol di telinga. Selayaknya sebuah drama Broadway atau Les Miserables (yang baru kita saksikan awal tahun ini), penempatan setiap lagu entah itu dalam bentuk berbalas dialog atau berdiri sendiri terasa begitu pas dan membuat film lebih memiliki nyawa. Dan saya bertanya kepada Anda, kapan terakhir kali Anda menyimak film animasi musikal Disney dengan lagu-lagu yang dengan mudah mengajak Anda berdendang? Untuk saya, itu adalah 14 tahun lalu melalui Tarzan. Dalam Frozen, tidak hanya ‘Let It Go’ – yang menjadi single utama – yang tanpa sadar membuat saya ikut bersenandung, tetapi juga tembang lain macam ‘Do You Want to Build a Snowman?’, ‘For the First Time in Forever’, ‘Love is an Open Door’, sampai ‘Fixer Upper’. 

Selain itu, jajaran pengisi suaranya pun menjalankan tugas masing-masing dengan sangat cemerlang; Idina Menzel, Kristen Bell, Josh Gad, Jonathan Groff (pria gunung yang membantu Anna), dan Santino Fontana (pangeran yang jatuh cinta dengan Anna). Mereka memberi kedalaman emosi dalam setiap karakter yang mereka bawakan lewat dialog maupun nyanyian sehingga penonton merasa peduli dan tersambung dengan apa yang mereka alami. Akan tetapi, jika diminta untuk menyebut siapa yang paling menonjol di antara lainnya, maka itu adalah Kristen Bell (surprise, surprise!) dan Josh Gad. Sebagai manusia salju bernama Olaf yang polos dan baik hati, Gad berhasil mencuri perhatian setiap saat. Gad tak pernah menjadi berlebihan atau menjengkelkan dalam membawakan suara untuk Olaf, ada keseimbangan yang tepat antara humor dan hati yang hangat dalam karakter ini. Sampai-sampai, saya ingin sekali memberikan pelukan hangat kepada Olaf. ‘Hi, I’m Olaf and I like warm hugs!’

Setelah berceloteh kesana kemari, saya masih belum juga menyebut betapa bagusnya kualitas penggarapan animasi dari Frozen? Oh, dear. Saya pun nyaris lupa mengatakan bahwa untuk merasakan pengalaman yang menyenangkan dalam menonton Frozen, Anda harus memilih versi 3D-nya. Tentu, jika saya memaksa untuk menjlentrehkan satu persatu apa yang menjadikan Frozen begitu istimewa, tulisan ini akan memanjang hingga berlembar-lembar halaman. Untuk itu, saya mencoba mengakhirinya di sini dengan mengatakan; Frozen membuktikan bahwa kita belum saatnya melupakan Disney. Masih banyak energi yang positif dan kreativitas yang mencengangkan yang tersimpan di sana. Bisa jadi, serentetan karya bagus – dari The Princess and the Frog hingga Frozen – adalah pertanda akan munculnya Disney Renaissance ke-2. Frozen, secara mengejutkan, mampu memberikan sebuah hiburan keluarga yang menakjubkan dengan komposisi cerita dan karakter yang mengikat, lagu-lagu yang catchy, serta polesan animasinya yang mulus. Menonton Frozen sekali tidaklah cukup. Setelah selesai, saya ingin merasakan kembali pengalaman yang mengasyikkan ini lagi, lagi, dan lagi. Saya telah dibuat jatuh cinta olehnya.

Note : Disney tidak hanya memberi satu suguhan yang memukau, tapi dua sekaligus! Pastikan Anda tidak masuk terlambat karena film animasi pendek Get a Horse! yang ditayangkan sebelum film utama – konon, pengisi suara Mickey Mouse di sini adalah Walt Disney sendiri yang diambil dari potongan-potongan rekaman lawas – sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan, the short is worth the admission price alone!

Note No 2: Apabila Anda tidak terburu-buru, maka janganlah beranjak terlebih dahulu dari kursi bioskop saat credit title mulai merayap. Ada disclaimer dan bonus adegan yang lucu di penghujung credit title.

Outstanding

4 comments:

  1. thanks lots for the good review.... :D

    ReplyDelete
  2. emang keren lah pokoknya film ini. berasa kayak nonton film disney klasik. lucu, seru, lagu2nya juga bagus. suka sama let it go.

    ReplyDelete
  3. Review-nya bagus!
    Saya pribadi suka krn filmnya feminis & karakter Elsa sangat merepresentasikan adik saya yg hidup dg Bipolar Disorder, gangguan kejiwaan.
    Sayang waktu nonton bukan yg 3D. Would've been more awesome.
    Iya, bener, belum saatnya lupain Disney :)

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch