February 24, 2014

REVIEW : POMPEII


Satu hal yang perlu untuk dilakukan sebelum menonton sebuah film rancangan Paul W.S. Anderson adalah jangan pernah berekspektasi apapun (meski rendah sekalipun!) dan... yah, sebaiknya tinggalkan otak di luar gedung bioskop. Garapan terbarunya, Pompeii, pun masih perlu mendapat perlakuan semacam itu. Trailernya boleh saja mengundang perhatian dengan memberi sekilas pemandangan mengerikan dari amukan Gunung Vesuvius yang melontarkan materi vulkanik bertubi-tubi tanpa ampun ke berbagai arah membuat penduduk Pompeii tak berdaya, namun filmnya sendiri... Ah, bahkan lagu populer dari Bastille yang berjudul sama pun masih jauh lebih terasa menghentak, greget dan bergigi. Apa yang terjadi kepada Pompeii ini membuat saya sedikit banyak teringat kepada nasib dari 2012 milik Roland Emmerich; trailer yang bombastis untuk film yang kaotis. Blah. 

Milo (Kit Harington), seorang budak merangkap pemain gladiator papan atas, terlibat cinta segitiga maha pelik dengan Princess Casia (Emily Browning) dan Senator Corvus (Kiefer Sutherland) yang memiliki niatan untuk menikahi Casia sekaligus menguasai Pompeii. Dengan Corvus menjadi otak di balik permainan gladiator yang tak mengenal rasa kemanusiaan, maka jelas bukan perkara mudah bagi Milo untuk memenangkan persaingan terlebih Corvus pun mengerahkan kekuasaan yang dimilikinya guna melenyapkan Milo. Tapi, tentu saja Milo tak menyerah dengan mudahnya terhadap keadaan. Berbekal rasa cinta yang menggelora, amarah tak terbendung, serta keberanian tanpa batas, Milo mengangkat pedangnya tinggi-tinggi menunjukkan perlawanan secara terang-terangan terhadap Corvus dan pasukan Romawinya dengan bantuan sahabat barunya, Atticus (Adewale Akkinuoye-Agbaje). Bersamaan dengan itu, Gunung Vesuvius mulai memperlihatkan tanda-tanda hendak memuntahkan isi lambungnya. 

Yang bisa saya katakan mengenai Pompeii adalah ini seperti perpaduan yang kacau balau antara Titanic-nya James Cameron, Gladiator versi Ridley Scott, dan film bencana gunung berapi apapun yang bisa Anda temukan (sebagai contoh, Dante’s Peak dan Volcano... anyone?). Meski jelas ini adalah sebuah peningkatan dari Resident Evil: Retribution yang ‘maha mengerikan itu’, tapi tetap tidak ada yang bisa Anda harapkan dari karya seorang Paul W.S. Anderson di sini. Mencoba mensugesti diri sendiri dengan, “bayangkan ini sebagai versi mahal dari salah satu film di Syfy” atau “hey, ini film eskapisme murni lho!” pun sama sekali tak membuahkan hasil. Pompeii nyaris tidak menyimpan kesenangan yang membuat saya merasa nyaman dan tertahan mengikuti setiap menitnya. Paruh pertama dari film ini berjalan dengan begitu menjemukan, melelahkan, dan bertele-tele. Rasa kantuk yang tiada tertahankan pun sempat menyerang diri ini. Hoammm. 

Pompeii terbangun atas percampuran dari romantisme yang begitu hambar tanpa ada chemistry, pertarungan khas film-film ‘sword and sandal’ yang serba tanggung dan tidak seru, deretan tokoh yang sulit membangun ikatan dengan penonton sehingga kepedulian pun gagal disematkan, tata produksi yang menggelikan (dengan bujet $100 juta, Pompeii kalah megah dan seolah bukan tandingan dari serial TV Spartacus milik Starz!) hingga tatanan penceritaan kelewat konyol yang menimbulkan gelak tawa di situasi yang tidak sepatutnya untuk ditertawakan. Semakin terasa memprihatinkan saat mengetahui fakta bahwa film dengan skrip semengenaskan ini diracik beramai-ramai oleh tiga orang! (bayangkan!). Ugh, apa saja yang telah mereka lakukan. Bad, bad, bad

Beruntung, waktu dan uang saya tidak sepenuhnya terbuang sia-sia karena menginjak 30 menit terakhir, film mulai sedikit menggeliat mengiringi bangunnya Gunung Vesuvius dari tidur panjangnya. Visualisasi Paul W.S. Anderson terhadap amukan Gunung Vesuvius dalam meluluhlantakkan Pompeii dan seisinya terbilang nyata, mengagumkan, sekaligus mengerikan; lava yang menggelegak, lahar yang menuruni lereng, lontaran materi vulkanik, awan panas yang bergulung-gulung, tsunami, hingga diakhiri hujan abu yang mengucur deras. Dengan apa yang menimpa alam di Indonesia beberapa waktu belakangan ini, penggambaran si pembuat film yang cukup mendetail mengenai gunung berapi yang marah besar ini memang tergolong berhasil memberikan mimpi buruk tersendiri. Inilah yang menjadi bagian terbaik dari Pompeii yang menyelamatkan film dari jurang keterpurukan yang semakin dalam... seharusnya. Ya, seharusnya. 

Seolah belum cukup menyiksa penonton dengan gelaran kekonyolan di paruh awal, Paul W.S. Anderson kembali menghadirkan nuansa yang “maunya sih dramatis”, “maunya sih romantis”, “maunya sih heroik”, dan maunya maunya lainnya di tengah-tengah Gunung Vesuvius yang menggeram dahsyat. Mengingat betapa deretan tokoh di film tidak dibekali penggalian karakter yang mencukupi ditambah pula performa para pemain yang seadanya dan tidak didukung oleh skrip yang terajut dengan baik, maka gelaran penutup yang diharapkan untuk menjadi megah, dramatis, romantis, dan sebagainya ini pun gagal tercapai. Ketimbang mengusap air mata, saya malah justru mengernyitkan dahi sekaligus tertawa pahit. Sungguh disayangkan.

Poor



1 comment:

  1. Bang Tariz, numpang "promosi" ya hehehe
    Teman-teman semua minta bantuan buat VOTE filmku ya, caranya gampang:
    1. Login ke buronanfilm.com (bisa pake fb, twitter atau bikin akun baru disitu)
    2. Terus buka halaman judul filmku
    3. Di halaman itu ada gambar jempol kayak like fb diklik aja

    Ini link halaman film-filmnya:
    HORN : https://buronanfilm.com/id/showcase/horn/
    SOULCASE: https://buronanfilm.com/id/showcase/soulcase/
    WHO'S ALL ALONE: https://buronanfilm.com/id/showcase/whos-all-alone/
    WITNESSES : https://buronanfilm.com/id/showcase/witnesses/
    F(R)ICTION: https://buronanfilm.com/id/showcase/friction/
    HAPPY BIRTHDAY : https://buronanfilm.com/id/showcase/happy-birthday/

    Mohon banget bantuannya dan makasih ya (pemenang diambil 3 besar dengan vote terbanyak & akan diproduksi filmnya)

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch