February 17, 2014

REVIEW : ROBOCOP


“Dead or alive, you're coming with me!” – Alex Murphy 

Setelah melewati tidur panjang selama 13 tahun sejak sebuah miniseri – atau 21 tahun sejak mimpi buruk yang menggelikan dalam RoboCop 3 dimana sang Robo bisa terbang – cyborg polisi ini kembali diaktifkan untuk mendapatkan kehidupan baru seraya menghapus ‘kenangan-kenangan’ lama yang mempermalukan franchise ini. RoboCop versi Jose Padilha memulai segala sesuatunya dari awal dengan visi dan pendekatan yang berbeda tanpa mencoba untuk mereplika apa yang telah dilakukan oleh Paul Verhoeven karena dia paham betul dengan aturan tak tertulis, “jangan pernah berbuat macam-macam terhadap sebuah film yang telah memeroleh status klasik dan dicintai banyak orang.” Bahkan, dalam remake (menyebutnya reboot pun tak masalah) yang menandai babak anyar dari jilid-jilid lain ini, tampilan dari RoboCop pun turut dimodifikasi menyesuaikan zaman! Terdengar sebagai sesuatu yang menjanjikan? Let’s see

Memboyong latar penceritaan ke tahun 2028, pihak militer Amerika Serikat dikisahkan telah merumahkan para prajuritnya yang semula ditempatkan di sejumlah titik peperangan seluruh dunia dengan alasan efisiensi dan keamanan serta menggantinya dengan robot-robot produksi perusahaan OmniCorp yang dipimpin oleh Raymond Sellars (Michael Keaton). Ironisnya, sekalipun pasokan robot ini mengalir lancar ke luar negeri, pemanfaatan jasa robot di Amerika Serikat malah justru dilarang karena dianggap berbahaya mengingat robot tidak memiliki emosi. Tak ingin melepas pasar utama, Raymond yang menemukan kelemahan dari hukum yang mengatur penggunaan robot pun menitahkan Dr. Dennett Norton (Gary Oldman) untuk mengombinasikan seorang pria dengan mesin dan membuatnya sebagai cyborg polisi penegak keadilan. Memilah kandidat dari sejumlah petugas kepolisian yang cacat fisik secara permanen, pilihan jatuh kepada Alex Murphy (Joel Kinnaman) yang tubuhnya 80% hancur setelah terkena ledakan bom mobil. 

Mengantongi rating yang lebih aman, PG-13, RoboCop versi Padilha ini mereduksi visualisasi (plus satir) akan kehidupan masa depan yang suram muram dan mengeliminasi kekerasan penuh brutalitas yang diumbar dengan begitu dermawan oleh Verhoeven di versi 1987 miliknya. Sebagai gantinya, selayaknya kebanyakan remake/reboot yang lahir di era Christopher Nolan paska Batman Begins, maka sutradara asal Brazil yang angkat nama melalui Elite Squad ini pun turut mengambil pendekatan yang lebih humanis, cenderung realistis, dan tentunya dramatis dalam menghantarkan kisah. Ini artinya, Jose Padilha lebih banyak mengupas sisi drama dari RoboCop ketimbang menggelar serangkaian adegan aksi tanpa henti. Si pembuat film menyoroti lebih terhadap pergolakan batin Alex Murphy dalam upayanya menerima kenyataan identitas barunya, pertalian dengan sang istri, Clara (Abbie Cornish) dan putra semata wayang yang mengusut, hingga hubungan rumit Robo dengan ‘sang ayah’, Dr. Dennett Norton. 

Setidaknya, paruh pertama dari RoboCop dimanfaatkan untuk membentuk ikatan emosi penonton dengan sang Robo dan membongkar lebih dalam kehidupan dari Alex Murphy yang kurang begitu dijamah dalam versi aslinya, terlebih dalam kaitannya dengan keluarga Alex serta konflik moral yang menyergapnya. Menggeluti sisi kemanusiaan Robo yang lebih banyak memacu emosi daripada adrenalin, Jose Padilha tahu benar pilihannya ini memiliki resiko tinggi diemohi penonton yang bila tak ditangani secara tepat pun akan terjerumus ke lembah ‘snoozefest’. Beruntung, Padilha disokong oleh Joshua Zetumer (‘penulis hantu’ di Quantum of Solace) bersama naskah kuat berisinya, performa penuh kharisma dari Joel Kinnaman yang juga merajut chemistry meyakinkan dengan Abbie Cornish dan Gary Oldman, permainan di atas rata-rata dari departemen akting, hingga skoring apik dari Pedro Bromfman, sehingga babak awal ini tak pernah menjadi membosankan dan cukup menggugah emosi – walau (maaf sekali lagi, perbandingan) kelasnya tak sampai benar-benar menohok seperti ‘adegan pulang ke rumah’ di RoboCop milik Verhoeven. 

Sebagai penawar agar tak kelewat serius, dimunculkan sosok Patrick Novak (Samuel L. Jackson) yang diposisikan untuk memecah kesunyian, mengundang gelak tawa penonton, serta sarana dalam menghantarkan pemikiran-pemikiran dan sentilan-sentilan dari si pembuat film terhadap teknologi juga kehidupan politik masa kini. Porsinya memang terasa sedikit berlebihan, namun masih terbilang efektif dalam mencairkan suasana sekaligus mampu menjadi penjembatan yang bagus dari keseriusan menuju kesenangan di paruh akhir. Ya, setelah dirasa cukup ‘bermain-main’ bersama sisi psikologis Robo, Padilha lantas tancap gas menaikkan tensi ketegangan yang dimulai ketika Alex Murphy mencoba untuk menguak dalang di balik percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Dimulai dari sana, RoboCop yang memiliki setelan baru ini tak pernah lagi berjalan perlahan-lahan hingga mencapai sebuah penutup yang cukup mengasyikkan dengan balutan sedikit twist.

Acceptable

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch