March 27, 2014

REVIEW : DIVERGENT


“The future belongs to those who know where they belong.” – Jeanine 

Apakah Anda sudah jenuh dengan film adaptasi yang menjumput sari penceritaan dari novel Young Adult berseri? Entah jawaban yang Anda sodorkan adalah Ya atau Tidak, brace yourself... it’s not over yet. Tren ini masih belum akan berakhir dalam waktu dekat terlebih dengan sederetan judul telah mengantri panjang di tahun ini. Salah satu yang menyapa pertama kali adalah Divergent yang didasarkan pada novel laris berjudul sama rekaan Veronica Roth. Meniliknya secara sepintas, tidak ada keistimewaan yang melekat dalam tubuh Divergent; ini seolah hanya dibentuk atas elemen-elemen terbaik milik The Hunger Games, Harry Potter, Ender’s Game, hingga The Host. Lantas apa yang begitu istimewa dari Divergent hingga banyak yang menggandrunginya? Melalui versi film yang dinahkodai oleh Neil Burger (Limitless), saya memperoleh jawabannya. 

Memboyong penonton ke masa depan, Burger menampilkan wajah kota Chicago yang lusuh berantakan setelah terjadinya perang maha dahsyat yang nyaris meluluhlantakkan peradaban. Para manusia yang berhasil bertahan hidup, dibagi ke dalam lima faksi berbeda yang masing-masing merepresentasikan kepribadian dari anggota kelompok; Abnegation (tidak mementingkan diri sendiri), Amity (baik), Candor (jujur), Erudite (cerdas), dan Dauntless (berani). Konflik dimulai saat Beatrice ‘Tris’ Prior (Shailene Woodley) yang terlahir dari keluarga Abnegation menyadari bahwa dirinya adalah seorang Divergent – memiliki kepribadian berbeda-beda, tidak hanya mewakili satu faksi – dalam sebuah ujian penentuan kelompok. Demi menyembunyikan identitasnya, Tris bergabung dengan Dauntless karena bagi Jeanine Matthews (Kate Winslet), pemimpin Erudite, dan diamini pula oleh sebagian besar anggota masyarakat, Divergent adalah sosok pemberontak berbahaya yang harus dimusnahkan. 

Sekalipun Divergent mempunyai dasar yang tidak terlalu orisinil dengan pijakan dari sejumlah seri Young Adult yang lebih dahulu tenar, Roth mampu menyulamnya kembali untuk dihidangkan sebagai sesuatu yang segar, memiiki jalinan pengisahan yang terhitung kompleks namun begitu menarik untuk disimak, serta penokohan yang kuat. Dan... Neil Burger berhasil memvisualisasikannya secara tepat. Mengambil dasar dari naskah yang diracik oleh duo Evan Daugherty dan Vanessa Taylor, Burger berhasil mempertemukan para pembaca novel dan para awam yang tidak mengenal sama sekali mengenai Divergent dalam titik kepuasan yang sama. Para pembaca novel bergembira lantaran si pembuat film setia sepenuhnya terhadap sumber asli, sementara para awam merasa senang terhadap keputusan si pembuat film untuk tidak ‘menganaktirikan’ mereka dengan sesi perkenalan yang dikupas detil. 

Sebagian besar paruh awal memang dipergunakan untuk menguliti ‘dunia Divergent’. Penonton diperkenankan terlebih dahulu untuk menilik bagaimana tatanan politik di Chicago baru dan stratifikasi sosial masyarakatnya, untuk kemudian menyelaminya lebih mendalam ketika Tris bergabung dengan Dauntless. Di titik ini, Burger lantas menjlentrehkan tentang ‘seperti apa sih kehidupan dalam faksi Dauntless’ dengan memerlihatkan tahapan-tahapan yang kudu dilalui untuk menjadi Dauntless sejati – termasuk pelatihan keras ala militer dan simulasi pertempuran – lalu sedikit intrik yang menyelimuti dan perkembangan karakteristik dari tokoh utama, Tris dan Four (Theo James), salah satu pemimpin di Dauntless. Pengisahan yang tergolong mendetail ini mampu membangun ikatan yang kuat antara penonton, tokoh, dan jalinan kisah yang digulirkan sehingga muncul rasa peduli serta ketertarikan untuk mengikuti lebih jauh. 

Alur penceritaan pun cenderung melaju stabil, nyaris tak sekalipun mengendur. Ketimbang rekan sesamanya – ehem.. The Hunger Games dan Ender’s Game, mungkin? – Divergent mempunyai pasokan adegan aksi yang lebih tinggi. Sesi pelatihan Dauntless dikemas seru dan menyenangkan dengan berulang kali dimunculkan sensasi deg-degan ke permukaan untuk menjaga mood penonton. Di sela-sela itu, ada pula ketegangan yang dibangun secara perlahan-lahan demi mencapai puncak di tahap akhir dan sedikit balutan romantisme yang mengikat Tris dan Four. Tidak terlalu penting (kalau tidak mau disebut, dipaksakan kemunculannya), namun cukup memberikan kesegaran di tengah-tengah nada penceritaan yang sering kali bernuansa muram suram dan berada di atas garis ‘intens’. 

Di samping naskah dengan tatanan pengisahan yang kompleks namun begitu memikat, sumber penghidupan dari Divergent juga berasal dari performa jajaran pemainnya yang di atas rata-rata. Shailene Woodley memiliki kharisma yang dibutuhkan untuk menjadi seorang heroine dan dia pun menunjukkan transformasi yang meyakinkan dari seorang gadis lemah bertekad kuat menjadi seorang gadis yang tangguh luar dalam. Theo James yang mendampingi di garda depan pun mampu mengimbangi pesona Woodley, memberi gambaran apik dari seorang pemimpin yang sekilas tampak sangar namun sesungguhnya rapuh. Para pemeran pendukung dengan porsi tampil lebih minim, seperti Kate Winslet (dalam peran antagonis pertamanya!), Jai Courtney, Ansel Elgort, Zoe Kravitz, Maggie Q, hingga Ashley Judd, pun memberi penampilan yang tak kalah memukau sehingga memberi nyawa lebih terhadap film yang juga ditopang oleh efek khusus yang halus, lantunan tembang dan musik yang merasuk, serta tangkapan kamera yang menawan ini. Divergent adalah sebuah pembuka yang sangat, sangat mengesankan dari trilogi Divergent – yang semula sempat saya anggap remeh. I really can’t wait for Insurgent to come out!

Exceeds Expectations

2 comments:

  1. Sorry for asking this, but in your opinion lebih bagus & lebih suka mana antara Divergent sama Hunger Games (/Catching Fire) ? Hehe

    ReplyDelete
  2. Sepertinya lebih cocok kalau dibandingkannya dengan The Hunger Games jilid pertama kali ya? Secara personal sih, saya lebih menyukai Divergent. Ada dinamika dalam alur dan penuturannya.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch