March 24, 2014

REVIEW : NEED FOR SPEED


“I do not fear, for you are with me. All those who defied me, shall be ashamed and disgraced. Those who wage war against me, shall perish. I will find strength, find guidance, and I will triumph.” - Tobey

Lebih sering berakhir mengenaskan ketimbang memuaskan, itulah yang terjadi kepada film adaptasi yang sumber aslinya didasarkan pada video game. Kalaupun ada yang tepat sasaran, jumlahnya pun dapat dihitung dengan mudah menggunakan jari – salah satunya adalah seri Resident Evil. Pada umumnya, kegagalan bersumber pada ketidakmampuan si pembuat film dalam menangkap roh dari permainan bersangkutan kala memvisualisasikannya ke medium berbeda. Ini lantas diperparah oleh skrip yang tidak memadai dan casting yang salah kaprah. Maka ketika game balapan laris keluaran Electronic Arts (EA), Need For Speed, diangkat ke layar lebar, ekspektasi telah saya atur di tingkatan paling rendah. Apa yang bisa Anda harapkan dari sebuah film yang beranjak dari video game balap mobil yang isinya hanya... balapan? Sepertinya, sama sekali tidak ada dan... saya keliru.  

Berkat tidak adanya alur penceritaan yang tegas di versi game, maka George Gatins selaku penulis skrip pun bebas hendak berceloteh mengenai apapun dalam film arahan Scott Waugh ini. Untuk memenuhi persyaratan agar film memiliki cerita, diciptakanlah dua tokoh utama yang berseberangan, Tobey (Aaron Paul) dan Dino (Dominic Cooper). Konflik terpantik dari tewasnya sahabat Tobey dalam sebuah kecelakaan maut yang berlanjut pada dijebloskannya Tobey ke penjara atas tuduhan palsu yang dilontarkan oleh Dino. Merasa dirinya tidak melakukan kesalahan, Tobey yang diselimuti dendam pun merencanakan misi pembalasan dibantu oleh kawan-kawannya serta Julia (Imogen Poots) usai dibebaskan dari penjara. Caranya, dengan melibatkan diri dalam balap mobil underground, De Leon, yang juga turut diikuti oleh Dino. 

Tidak pernah terbayang Need For Speed akan terhidang sebagai sebuah sajian hiburan yang begitu menyenangkan terlebih sebelumnya saya kelewat skeptis dengan membayangkan ini akan menambah daftar hitam dari film adaptasi video game yang telah memanjang atau upaya lain untuk meniru seri laris Fast & Furious. Kenyataannya, Waugh dan Gatins mampu membaca jiwa dan karakteristik dari video game yang telah lahir sejak 1994 silam ini, lalu mengaplikasikan sebagian besar elemen penting yang menjadi tonggak kekuatan utamanya ke dalam film. Hasilnya, ditopang oleh pergerakan kamera yang dinamis, editing cekatan, hingga skoring musik yang menghentak penuh semangat, gelaran aksi berbahaya berupa mobil-mobil melaju lincah menembus jalanan yang padat, sempit, dan curam yang diciptakan minim sentuhan efek khusus ini pun terasa begitu seru. Yang mengasyikkan, beberapa adegan balap menempatkan sudut pandang kamera di belakang kemudi memungkinkan penonton untuk merasakan sebagai driver. Adrenalin berhasil dibuat terpacu. 

Memang, Need For Speed adalah sebuah film eskapis murni yang tidak menghendaki penonton untuk kelewat serius dan mendayagunakan logika selama film berlangsung. Datang, duduk, dan nikmati saja apa yang tersaji di layar seraya menyeruput soda serta mencamil berondong jagung. Hanya saja, sulit untuk tak menyoroti sektor naskah dan akting dari Need For Speed yang menghadapi sejumlah problematika... yang mana ini bukan sesuatu yang mengherankan sebetulnya. Jalinan kisah yang dirangkai oleh Gatins sebetulnya tidak terbentur permasalahan yang betul-betul serius, kecuali porsi dramatisasi dan romantisasi yang kelewat banyak dengan kemunculan yang terkesan dipaksakan sehingga di beberapa titik efek jenuh sempat mengemuka. Adegan aksi yang seharusnya bisa lebih dimaksimalkan pun mau tak mau kudu mengalah demi memberi kesempatan bagi si pembuat film untuk mempermainkan emosi penonton... yang sayangnya tidak betul-betul berhasil. 

Yang menjadi kesalahan utama dari film adalah konfigurasi pemain yang berada dalam posisi kurang tepat. Memosisikan Aaron Paul di garda terdepan sebagai sosok bad boy ala-ala perpaduan antara mendiang Paul Walker dan Vin Diesel bukanlah keputusan yang bijaksana. Tanpa adanya kharisma yang memancar darinya ditambah pula upaya kerasnya untuk terlihat begitu keren, ugh... terasa sungguh mengganggu. Chemistry yang dirajutnya bersama Scott Mescudi, Ramon Rodriguez, dan Rami Malek, pun tidak terlihat meyakinkan lantaran kurangnya fokus pengisahan terhadap mereka. Beruntung, departemen akting memiliki Dominic Cooper, Imogen Poots, dan Michael Keaton yang berada di jalur tepat. Kehadiran mereka memberi cita rasa di atas performa Aaron Paul dan kawan-kawan yang hambar. Berkat mereka, film tetap melaju cukup kencang tanpa harus terlempar keluar dari arena dan terjerumus ke jurang. Berkat mereka pula, Need For Speed masih terasa menyenangkan dan mendebarkan untuk disimak. Lumayan lah sebagai hiburan pelepas penat.

Acceptable



No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch