May 29, 2014

REVIEW : EDGE OF TOMORROW

 

“I'm not a soldier.” – Cage 
“Of course not. You're a weapon.” – Rita 

Apakah musim panas tahun ini akan menjadi salah satu yang terbaik bagi para pecinta film? Ditilik dari gejalanya, sepertinya demikian. Deretan film musim panas yang hinggap di bioskop-bioskop Indonesia, dimulai dari The Amazing Spider-Man 2: Rise of Electro, memiliki asupan hiburan yang mencukupi dan memenuhi standar gizi. Bahkan, film yang semula banyak dianggap remeh, Edge of Tomorrow, lantaran promosi yang terbilang seadanya (untuk ukuran summer blockbuster dari Hollywood) dan sentuhan emas Tom Cruise yang perlahan-lahan mulai memudar – terlebih setelah film berkualitas medioker semacam Jack Reacher dan Oblivion yang ditanggapi dingin berbagai pihak – pun tak bisa juga dipandang sebelah mata. Malahan, Edge of Tomorrow berpotensi kuat keluar sebagai salah satu film yang terunggul di saat perlombaan film musim panas mencapai puncaknya di akhir Agustus nanti.  

Mengadopsi tatanan penceritaan novel Jepang rekaan Hiroshi Sakurazaka, All You Need Is Kill, film yang mengambil latar di masa depan tatkala ras alien telah menginvasi bumi ini menempatkan Lt. Col. Bill Cage (Tom Cruise) sebagai tokoh sentral. Tidak seperti yang (mungkin) mayoritas penonton duga, Cage bukanlah sosok pahlawan sejati yang begitu mudah melumpuhkan lawan hanya dengan satu dua pukulan. Sama sekali bukan. Meski berkecimpung di bidang militer, Cage hanya mengurusi soal relasi media dan tidak memeroleh pelatihan perang yang memadai. Maka ketika dirinya dipaksa untuk terjun langsung ke medan pertempuran, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali mencari perlindungan... hingga dia tewas mengenaskan. Selesai? Tentu tidak. Sebuah kemampuan istimewa merasuki tubuh Cage yang memungkinkannya untuk mengulang hari secara berulang-ulang. 

Tidak sedikit pun menaruh pengharapan terhadap Edge of Tomorrow, tanpa disangka-sangka film ini memberi kejutan yang mengasyikkan. Dimulai dengan agak lambat, meraba-raba akan kemana film dihantarkan oleh Doug Liman (The Bourne Identity, Mr. & Mrs. Smith), film mulai memberi hentakan saat memasuki menit ke-30 lewat sebuah adegan pertempuran yang tergelar besar, seru dan ganas antara manusia dengan para alien di pantai yang sedikit banyak terasa seperti percampuran antara Saving Private Ryan dan Starship Troopers. Perhatian saya perlahan-lahan mulai tercuri dan (akhirnya) sepenuhnya tercuri setelah seluruh peristiwa terulang kembali dari awal. Ya, mengingatkan kepada Groundhog Day (atau mungkin juga Source Code dan Looper) dimana sang tokoh utama ‘dipaksa’ menjalani hari yang sama berulang kali hingga misi berhasil dicapai. Seperti itulah Edge of Tomorrow menjabarkan tuturannya. Saat Cage menemui ajalnya, maka segalanya akan secara otomatis me-reset ulang. 

Mungkin ini terdengar menjemukan karena adanya keberulangan dalam pengisahan, tapi untungnya itu sama sekali tidak terjadi. Ada sesuatu yang baru dan berbeda setiap kali ‘kehidupan baru’ Cage dimulai. Selayaknya saat kita memainkan video game, setelah Cage mengetahui secara persis kesalahannya, maka petualangannya pun kian berkembang. Inilah yang menjadikan Edge of Tomorrow terasa menyenangkan untuk disimak. Ada sensasi deg-degan, kesal, serta gemas bukan kepalang saat Cage gagal menuntaskan misi, persis seperti yang kita rasakan saat berkutat dengan konsol permainan. Diberi taburan humor di sekeliling dalam takaran yang cukup, membuat tuturan yang berpotensi menjemukan, melelahkan, dan rumit jika dalam penanganan yang salah ini terasa semakin renyah untuk disantap. Urat syaraf penonton dibiarkan mengendur sejenak di tengah-tengah suasana yang penuh ketegangan. 

Tapi apalah artinya Edge of Tomorrow tanpa kehadiran Tom Cruise dan Emily Blunt sebagai tulang punggung cerita. Sungguh menyenangkan melihat Cruise dalam peran yang agak berbeda dari biasanya yang sedikit banyak menuntutnya untuk mengeluarkan sisi komedinya. Kapan lagi bisa melihat nyali Cruise menciut yang berdampak pada bercucurannya keringat, kewalahan menghadapi lawan (dan seorang perempuan tangguh!) sampai tertatih tatih menuntaskan misi seperti pecundang sejati? Mungkin ini adalah kesempatan terbaik (dan bisa jadi, terakhir kali) yang Anda miliki. Terlebih lagi, Cruise disandingkan bersama si cantik Emily Blunt yang memerankan Rita Vritaski, wanita perkasa berjulukan ‘Angel of Verdun' yang pernah memiliki kemampuan yang sama dengan Cage, secara meyakinkan. Tampil garang dan beringas, Blunt membina hubungan yang terasa unik, hangat, dan menyegarkan bersama Cruise. 

Ya, penampilan kedua bintang utama dari Edge of Tomorrow ini memang memukau, begitu juga dengan Brendan Gleeson dan Bill Paxton di sektor pemeran pendukung. Namun itu bukanlah satu-satunya keunggulan lain dari Edge of Tomorrow disamping jalinan pengisahannya yang mengikat karena film ini sanggup mengalir lancar berkat topangan dari efek khusus yang mewah, pergerakan kamera yang cepat, dinamis, serta energetik, dan jahitan gambar yang rapi. Kesemuanya ini mutlak diperlukan untuk mewujudkan sebuah summer blockbuster yang gegap gempita. Dan karena Edge of Tomorrow memiliki itu semua, maka tentu saja film ini terhidang sebagai sebuah film pengisi musim panas yang mengasyikkan (dan juga film sci-fi yang cerdas). Didn't expect Edge of Tomorrow to be any good, but it was surprisingly really enjoyable. Clever, witty, and thrilling. Go watch it! 

2D atau 3D? Jika di bioskop terdekat menyediakan versi 3D, maka pilihlah tanpa keraguan. Tidak akan mengecewakan.

Outstanding

1 comment:

  1. Hi, kami dari Cinejour...

    Tukeran link yuk! Ini alamat kami : http://www.cinejour.com
    Kami sudah menambahkan link anda.

    Terima kasih atas perhatiannya.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch