June 14, 2014

REVIEW : 22 JUMP STREET


“We Jump Street, and we 'bout to jump in yo ass.” 

Ketika ide pembuatan film layar lebar dari serial televisi klasik, 21 Jump Street, dicanangkan, nyaris tidak ada yang menyambutnya dengan suka cita. Sinis, sinis, sinis. Itulah hasil tarikan simpulan yang umum dijumpai. Nyatanya, beragam pihak yang tadinya melontarkan pandangan merendahkan mau tak mau menelan ludah sendiri saat 21 Jump Street berkibar tidak hanya sisi komersil tetapi juga kualitas. Kecaman seketika beralih wujud menjadi pujian. Pihak studio yang sempat was-was menanti laporan pengumpulan dollar pun tak ragu memberi lampu hijau untuk pembuatan film kelanjutan sepak terjang Schmidt (Jonah Hill) dan Jenko (Channing Tatum) dalam memberangus peredaran narkotika di kalangan muda-mudi usai $200 juta lebih memasuki kantong. Ini berarti... sebuah sekuel? Ugh. Skeptisisme hampir bisa dipastikan akan menyeruak kembali – tidak peduli sehebat apa performa jilid pertama – karena yah, komedi aksi biasanya kehilangan kemesraannya saat memasuki film kedua. Lebih besar dan gegap gempita, tapi tidak lebih dari sekadar pengulangan. Apakah ini akan menimpa pada 22 Jump Street? Let’s see

22 Jump Street memulai tuturan kisahnya sesuai dengan apa yang terpapar di penghujung film pendahulunya; ini saatnya bagi Schmidt dan Jenko kembali ke bangku kuliah! Ya, kesuksesan program Jump Street – sebuah program dari kepolisian yang menempatkan anggota mudanya untuk menyamar dan menyelidiki tindakan kriminalitas yang dilakukan anak muda – membuat Deputi Chief Hardy (Nick Offerman) mempercayakan kembali ‘dynamic duo’ untuk menjalankan misi berikutnya dalam program ini. Masih di bawah pengawasan Captain Dickson (Ice Cube) dengan markas yang untuk sekali ini berpindah lokasi ke 22 Jump Street, Schmidt dan Jenko ditugaskan untuk melacak keberadaan suplier obat-obatan terlarang bernama WHYPHY (baca: WiFi) yang beredar luas di sebuah universitas. Kasus yang sedianya mudah untuk diusut ini mendadak mengusut saat persahabatan Schmidt dengan Jenko terancam retak akibat hadirnya orang ketiga yang membuat fokus Jenko terhadap penyelidikan sedikit banyak teralihkan. 

Selayaknya sebuah sekuel kebanyakan, maka sudah sewajarnya 22 Jump Street tersaji lebih meriah dengan cakupan kegilaan dan kekonyolan yang lebih parah dari instalmen sebelumnya. Duo Phil Lord dan Christopher Miller yang baru saja merengkuh kesuksesan besar lewat The Lego Movie menyadari penuh hal itu sehingga yang mereka lakukan agar film tetap di jalur seharusnya adalah mempertahankan seluruh elemen terbaik yang dimiliki oleh sang predesesor, lalu dosisnya dilipatgandakan sekali ini. Itu berarti, Anda akan dibenamkan kepada kesintingan yang kian menjadi-jadi dengan kekacauan yang tak terbayangkan hanya untuk mencapai satu tujuan: menciptakan ledakan tawa penonton. Cara untuk mengobarkan canda tawanya pun beraneka ragam, tak hanya terpatok pada satu cara semata, meski tentu saja masih bergantung pada banyolan klasik (katakanlah, slapstick) lewat tingkah laku Schmidt dan Jenko yang seringkali aneh, bodoh, dan konyol, sebagai senjata utama. 

Lainnya, si pembuat film pun banyak melakukan sindar sindir (utamanya terhadap film sekuel dan film aksi Hollywood, ha!) yang begitu kurang ajar – dan sangat eksplisit, humor cabul yang menjijikan (dan kasar), hingga guyonan yang menjumput referensi dari budaya populer yang tumbuh berkembang di Amerika Serikat. Ada kesan mengalienasi penonton awam, memang, tapi saat Anda memahami kelakar yang dilontarkan oleh Lord dan Miller, percayalah... ini lucu sekali! Belum lagi yang menjadikan 22 Jump Street kian mengikat adalah keputusan Michael Bacall dan Oren Uziel selaku penulis naskah untuk memberi perhatian lebih kepada dinamika hubungan persahabatan yang terjalin antara dua tokoh utama yang untuk sekali ini terasa lebih intim, hangat, dan lekat. Tidak saja Schmidt dan Jenko diberikan kesempatan untuk melakukan kegilaan – yang mana ini sudah pasti – tetapi juga mendapat momen yang memungkinkan penonton merasa terenyuh, iba, dan simpati. 

Ya, chemistry yang terajut antara Jonah Hill dan Channing Tatum memang terasa lebih erat ketimbang sebelumnya. Keduanya pun tampak telah menyatu dengan karakter masing-masing sehingga sulit membayangkan siapapun menggantikan posisi salah satu atau salah dua dari mereka (bahkan Seth Rogen sekalipun!). Melihat adanya penekanan lebih di sektor interaksi antar karakternya dan humornya yang semakin tidak terkontrol, apa lagi yang istimewa dari 22 Jump Street? Nyaris saja lupa menyebutnya yang mana ini jualan utamanya selain komedi nakalnya itu... tentu saja gelaran aksinya. Tatarannya memang tak sampai membuat rahang Anda jatuh atau berdecak kagum saat menyimaknya, tetapi jika disandingkan dengan jilid awal, ini lebih meriah dan seru. Setidaknya dalam 22 Jump Street Anda akan menemukan pertarungan jarak dekat, helikopter yang meledak, hingga car chase sequence yang kesemuanya dikemas menggelikan. Sebagai sebuah tontonan musim panas, ini jelas mengasyikkan... dan memuaskan.

Note : Jangan terburu-buru meninggalkan gedung bioskop karena 22 Jump Street memiliki salah satu end credits terbaik yang sebaiknya tidak Anda lewatkan begitu saja. Selain itu, sebuah post-credits scene di penghujung film pun layak dinanti karena sangat lucu.

Exceeds Expectations

2 comments:

  1. Bang, humornya tapi ga bikin jijik kan ya?

    ReplyDelete
  2. Nggak kok. Kecuali kalau kamu menganggap humor yang berkaitan dengan seks (dan alat kelamin) itu menjijikan ya :)

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch