June 30, 2014

REVIEW : THE FAULT IN OUR STARS


“You gave me a forever within the numbered days, and for that I am eternally grateful.”

Komedi bukanlah sahabat terbaik bagi romansa tragis berembel-embel penyakit mematikan. Kerap diwujudkan penuh derita dan uraian air mata seolah kebahagiaan telah sirna, khususnya di khasanah melodrama Asia, penderita dieksploitasi sedemikian rupa sampai-sampai menyunggingkan senyuman pun membutuhkan perjuangan tersendiri untuk dilalui. Akan tetapi, Hollywood sepertinya sudah lelah dengan rengekan tak berkesudahan sehingga mencoba memandang subjek pahit ini lewat nada yang lebih positif. Anda mungkin paling mengingatnya paling jelas di 50/50, dan kali ini, Josh Boone pun mengaplikasikan formula yang sama kala menuangkan novel young adult sarat puja puji dari banyak kalangan karya John Green, The Fault in Our Stars, ke dalam bahasa gambar dengan meminimalisir kecengengan dan mengalunkan penceritaan secara dewasa pula bijaksana. Hasilnya? Malah justru lebih membekas di hati. 

The Fault in Our Stars berceloteh seputar percikan asmara yang timbul diantara Hazel Grace (Shailene Woodley), gadis berusia 16 tahun pengidap kanker tiroid stadium 4 yang kehidupannya tak terpisahkan dari tabung oksigen, dengan Augustus Waters (Ansel Elgort), pemuda tampan mantan atlit basket yang hidupnya berubah setelah kakinya diamputasi karena osteosarcoma yang dideritanya. Berjumpa di sebuah kelompok konseling penderita kanker yang pada awalnya diikuti Hazel dengan setengah hati, hubungan diantara keduanya berkembang secara cepat terlebih setelah Gus – panggilan akrab Augustus – mengabulkan impian Hazel untuk berkomunikasi secara langsung bersama pengarang favoritnya. Ketika tampaknya ‘keadilan’ mulai berpihak kepada mereka, dengan semua kegembiraan yang dilalui, sebuah tragedi memilukan mendadak datang menghampiri memaksa Hazel dan Gus untuk mengakhiri hubungan indah mereka yang berlangsung singkat. 

Ditilik dari sisi kupasan cerita, The Fault in Our Stars sebetulnya tak berbeda jauh dengan drama tearjerker kebanyakan. Mengindikasikan pula bahwa film akan disesaki oleh adegan-adegan penyayat hati yang meminta penonton untuk menangisinya. Tapi selayaknya apa yang diutarakan di versi novelnya, itu tidak pernah benar-benar terjadi setidaknya hingga film mencapai ujungnya. Ketimbang cengeng (dan bermenye-menye), Josh Boone justru menghantarkan film penuh semangat cenderung insightful dengan memberinya keceriaan (pula kehangatan) dimana di dalamnya mengandung humor segar, dialog-dialog bijak bermetafora, serta, tentunya, tidak boleh ketinggalan adalah sisi romantismenya yang terkemas begitu manis dan menggugah menciptakan candu tersendiri. 

Terhindar pula dari kesan murahan dan klise, alih-alih sekadar berbincang masalah ‘kanker, kanker, dan kanker’ yang ternyata hanya dimanfaatkan sebagai pembentuk latar, The Fault in Our Stars yang penulisan skripnya ditangani oleh Scott Neustadter dan Michael H. Weber (500 Days of Summer, The Spectacular Now) ini malah berani mengambil resiko alih-alih sekadar mengulik romantisme tearjerker belaka, mereka justru menjlentrehkan tentang makna kehidupan lengkap beserta perjuangannya dilihat menggunakan sudut pandang penderita kanker yang diutarakan pula lewat rangkaian dialognya yang mendalam dan puitis. Pengoyakan emosi bertujuan untuk meneteskan air mata pun bukan menjadi tujuan utamanya karena lewat kisah percintaan Hazel-Gus, persahabatan mereka dengan Isaac (Nat Wolff) yang buta, dan interaksi bersama keluarga, si pembuat film justru meminta penonton untuk berkontemplasi. Dalam. 

Meski demikian, The Fault in Our Stars tidak lantas mengkhianati penonton yang datang ke bioskop berbekal ekspektasi beroleh tontonan penguras air mata. Memang, tingkat ‘keseraman’ yang ditawarkan tidak setinggi pengharapan, namun dalam kaitannya membuat penonton mengeluarkan tissue dari saku celana, ini masih terbilang ampuh. Chemistry lekat dari Shailene Woodley dan Ansel Elgort yang mampu memberikan jiwa kepada Hazel-Gus sehingga keintiman hubungan mereka merasuk ke sanubari penonton yang memunculkan sikap simpati adalah pemantiknya. Kadung jatuh hati kepada Hazel-Gus dan berharap mereka bersatu untuk selamanya, maka ketika penyakit ganas itu meminta tumbal nyawa yang memisahkan keduanya, penonton pun tidak bisa merelakannya begitu saja. Pada titik inilah, kekejaman Josh Boone dan rekan-rekan pun menampakkan hasil. Tidak tersaji secara menye-menye, The Fault in Our Stars tetap berhasil menyentuh hati (dan mungkin, menumpahkan air mata) lewat sajiannya yang manis dan lucu, tetapi tetap terasa pahit dan memilukan.

Exceeds Expectations


3 comments:

  1. Sudah baca novelnya dan memang ada beberapa adegan yang bikin saya tak kuasa menahan haru....(ikutan puitis)

    Agak terganggu dengan pemilihan pemeran, gara-gara Divergent...

    Ah..lebih baik saya tidak melihat filmnya..

    ReplyDelete
  2. Nice review, soundtracknya juga ga kalah indahnya dengan filmnya, bahkan si swedish rap yang absurd itu sekalipun.:D

    ReplyDelete
  3. Inti cerita The fault in our stars menurut saya mirip dengan film Mika (waktu aku sama mika > bukunya) yg diperanin sama Vino Bastian. Pasangan yg mempunyai masalah kesehatan masing2. Yg sakitnya lbh parah / dying lebih bisa memberikan hidup lebih hidup dan semangat untuk pasangannya yg sakit juga tp gak separah dia. Hmm mungkin kali ya film TFiOS terinspirasi dari Mika yg berasal dr true story sang penulis 😉

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch