June 8, 2014

REVIEW : MALEFICENT


“Before the sun sets on her sixteenth birthday, she will fall into a sleep like death!” – Maleficent 

Disney sedang getol menciptakan versi pelengkap bagi film-film yang telah mendapatkan status klasik. Lihat saja apa yang mereka perbuat untuk The Wizard of Oz dengan memberinya Oz the Great and Powerful, Mary Poppins bersama Saving Mr. Banks, dan yang teranyar adalah Sleeping Beauty yang ditemani oleh Maleficent – seraya merayakan ulang tahun ke-55 dari Sleeping Beauty. Apakah ini semacam pertanda bahwa danau ide di Hollywood telah mengering? Bisa dibilang demikian. Walau toh tidak bisa dipungkiri masih banyak penonton yang menanggapi konsep ini dengan suka cita karena paparan yang berbeda dari sebuah cerita (atau dongeng) yang telah dikenal baik oleh khalayak ramai memang memiliki daya tariknya sendiri. Dalam kasus Maleficent, siapa pula yang tidak tergugah untuk mengetahui motif sesungguhnya dari dilepaskannya kutukan legendaris itu? Terlebih, film tak akan melantunkan kisahnya mengikuti penderitaan Putri Tidur, melainkan membangun pilar cerita baru memanfaatkan sang villain ikonis berjubah hitam dan bertanduk panjang, Maleficent, sebagai poros utama. 

Maleficent memulai tatanan pengisahannya jauh sebelum Maleficent (Angelina Jolie) mengumandangkan kutukan “prick her finger on a spindle of a spinning wheel and die!” yang dihadiahkannya untuk Princess Aurora (Elle Fanning). Tak seperti yang terpatri di ingatan penonton, Maleficent bukanlah sosok peri yang dingin, keji, dan menyeramkan, tetapi justru peri baik hati yang bersedia mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya untuk melindungi kaum dan tempat tinggalnya... setidaknya itu yang tampak di awal film. Perjumpaannya dengan seorang manusia bernama Stefan (Sharlto Copley) mengubah kehidupannya. Memulai hubungan sebagai sahabat, perlahan tapi pasti benih-benih cinta diantara mereka mulai menampakkan wujudnya seiring dengan berlalunya waktu. Maleficent berharap mampu mendapatkan cinta sejati dari Stefan yang, sayangnya, justru mengkhianatinya demi memuluskan langkahnya untuk menjadi seorang raja. Dan, di sinilah tuturan Maleficent dan Sleeping Beauty mencapai titik temunya. 

Semuanya baik-baik saja, sampai sini. Bahkan cenderung mengikat karena kita berkesempatan untuk melongok ke masa lalu kelam Maleficent yang tak pernah dijlentrehkan di literatur (maupun versi film) manapun. Terbentuknya sisi monster dari sang tokoh utama ditampilkan secara berproses, memberikannya suntikan hati ke dalamnya sehingga masih ada perasaan simpati kepadanya dan turut merasakan kemarahannya akibat dikhianati seorang terkasih. Momen hancur leburnya Maleficent tatkala mengetahui Stefan mencampakkannya (lalu memotong sayap raksasanya) ditampilkan secara gemilang oleh Angelina Jolie yang menjadikan ini sebagai bagian terbaik dari film. Kerapuhan dari sosok peri perkasa ini terpampang jelas dan nyata yang membuat kita bisa memahami mengapa itu harus terjadi, walau dendam menggelora yang memantik munculnya kutukan itu mungkin tidak bisa kita terima. 

Lalu, peri pelindung yang baik hati itu pun melangkahkan kaki ke kepribadian bersebrangan yang membuat Jolie alih pembawaan. Walau kadang terkesan kelewat teatrikal, proses peralihan dilalui oleh Jolie secara mulus dengan memberikan sikap dingin dan menyeramkan yang dibutuhkan oleh karakter ini. Pemilihan Jolie untuk memerankan Maleficent ini harus diakui tergolong cerdas dan sulit membayangkan aktris lain menghidupkannya sebaik Jolie – walau bukan juga sesuatu yang mustahil. Akan tetapi, selain performa prima dari Angelina Jolie dan polesan hebat tim efek khusus dalam mengkreasi dunia Moors yang indah, tidak ada lagi yang mampu membuat penonton terpesona di Maleficent. Upacara pembaptisan Aurora tidak saja menjadi penjembatan bertemunya Sleeping Beauty dan Maleficent, tetapi juga menjadi titik balik yang membuat film tak lagi terasa baik-baik saja. Tampaknya, kutukan pun turut hinggap pada film. 

Setelah Aurora meninggalkan istana untuk diamankan oleh tiga peri mungil – yang dimaksudkan sebagai comic relief namun seringkali berakhir garing – daya tarik film mulai memudar sedikit demi sedikit. Tidak seperti Maleficent yang terlihat begitu gembira menyaksikan pertumbuhan Aurora (Oops!), saya justru merasa jenuh. Masa-masa ini berlalu dengan begitu datar, hambar, dan bertele-tele. Kesenangan dan ritme penuturan yang mengikat dari babak pertama lenyap begitu saja. Seolah belum cukup mengecewakan, Linda Woolvertton pun secara ekstrim membelokkan kemudi cerita dengan melunakkan hati sekeras batu Maleficent. Tidak secara bertahap dan wajar, melainkan tiba-tiba. Mengubah sosok jahat yang ikonik dalam sejarah Disney menjadi sosok yang kelewat lembek hanya karena bayi mungil yang menggemaskan. Perlakuan yang sungguh tidak hormat, melampaui batasan dan jelas, ini pelecehan terhadap dongeng Putri Tidur. Duh. 

Mengobrak abrik struktur cerita yang telah digariskan untuk menghadirkan tatanan kisah yang (maunya) berbeda ini jelas tak termaafkan. Dengan melemahnya Maleficent, dipaksakan untuk berubah haluan dari villain menjadi heroine, turut berdampak pada tatanan kisah yang tidak lagi menarik – menjadikan Oz the Great and Powerful milik Sam Raimi terlihat bagaikan mahakarya. Robert Stromberg selaku sutradara pun tidak bisa berbuat banyak karena skrip dari Woolvertton sukar untuk diselamatkan. Jika nantinya Maleficent memeroleh kesuksesan besar di tangga box office, maka sudah sepatutnya Disney memberikan bonus berlimpah ruah untuk Angelina Jolie dan departemen efek khusus karena berkat mereka film tak terjerembab semakin dalam.

Acceptable

2D atau 3D? Menontonnya dalam format 2D pun tidak ada salahnya karena, yah... 3D tidak menawarkan keistimewaan. 


6 comments:

  1. sepakat kalo dibilang menjenuhkan dan bertele-tele di beberapa bagian, namun dekonstruksi stereotype dongeng sudah banyak dilakukan dlm karya sastra, maleficent menurut saya cukup berhasil menghadirkan perspektif lain melalui film dari dongeng sleeping beauty :)

    ReplyDelete
  2. aslinya Sleeping Beauty malah lain lagi. Lebih kelam, putrinya diperkaos sama rajanya. Bukan bangun karena ciuman cinta sejati.

    ReplyDelete
  3. ^ Yup. Jika difilmkan kurang lebih serupa dengan Sleeping Beauty-nya Emily Browning. Tapi nggak mungkin ya Maleficent dibuat sekelam (atau mendekati kekelaman) cerita asli, apalagi ini Disney dengan pangsa pasar keluarga.

    @Lucky: Sebetulnya tidak masalah dengan dekonstruksi, toh Sleeping Beauty pun sebetulnya juga melakukannya. Cuma perubahan Maleficent kembali menjadi peri baik hati itu disayangkan dan dipaksakan. Seandainya dibiarkan tetap keji, bisa jadi akan lebih greget. Tapi yah, ini film Disney sih. Mereka tampaknya enggan membuatnya kelewat kelam.

    ReplyDelete
  4. Maleficent mungkin encounternya Disney yang nampaknya mulai membuat "princesses"-nya less damsel in distress ya :)

    Nice review!
    Kalo boleh tukaran link yuk
    saya di http://sinekdoks.wordpress.com

    ReplyDelete
  5. suwer, gue ngantuk nontonnya. tepatnya setelah si princess aurora dilahirkan. terlalu bertele-tele menurutku.

    ReplyDelete
  6. Setuju sekali sama agan , tadinya penasaran banget sama film ini paruh awal ekpetasi saya sudah serasa terkabul tapi setelah masuk pertengahan ke akhir semuanya hampa dan tidak masuk akal -_-

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch