June 21, 2014

REVIEW : SELAMAT PAGI, MALAM


“Kenapa sih semua orang di Jakarta harus punya lebih dari satu telepon?” 

Bagaimana mendeskripsikan Jakarta? Mudah. Sebut saja kebisingan suara klakson yang bersahut-sahut tak berkesudahan, kemacetan tak berkeprimanusiaan sampai-sampai jalanan tak ubahnya lapangan parkir, barisan pengendara motor yang siap senggol bacok siapapun yang menghalangi laju mereka, pengguna angkutan umum yang berdempet-dempetan berhiaskan peluh keringat, sampai pekerja kantoran berlarian berpacu dengan waktu, maka itu sudah cukup merangkum rutinitas mengerikan yang dihadapi oleh warga Jakarta... setiap hari! Jelas, ini bukanlah tempat bagi Anda yang berharap bisa menjalani kehidupan dengan penuh kenyamanan, karena itu perkara yang nyaris mustahil diwujudkan. Ini adalah tempat yang mungkin (mungkin lho ya!) tepat bagi Anda yang ambisi utamanya adalah merengkuh rupiah sebanyak mungkin dan mengembangkan karir ke puncak tertinggi. 

Tetapi, hey, ini hanyalah pandangan dari seseorang yang rekor terlamanya mendiami ibukota tak lebih dari empat hari, kesahihan boleh saja dipertanyakan. Namun saat Anda menatapnya menggunakan kacamata Lucky Kuswandi yang telah bergabung bersama jutaan orang lain untuk menyesaki Jakarta selama bertahun-tahun lewat Selamat Pagi, Malam, apakah kebenarannya pun masih juga dipertanyakan? Tidak seperti sineas kebanyakan di semesta perfilman Indonesia era kontemporer yang memberikan potret wajah asli (atau wajah kelam) dari Jakarta hanya sebatas permukaan pada gemerlap dunia malam yang melenakan atau pelacuran semata, maka Lucky Kuswandi berani melakukan penyelaman yang lebih dalam hingga mencapai jantung dimana sisi sebenarnya terlihat tampak lebih jelas, lalu mengupasnya secara santai (pula nakal), dan mengajak penonton untuk menertawakannya bersama-sama. 

Penelusuran terhadap hati sang ibukota tak hanya dilakukan oleh satu tokoh semata, tetapi memanfaatkan tiga tokoh sekaligus sehingga lebih memadai bagi si pembuat film untuk mengelaborasi seluruh gagasannya. Tiga tokoh tersebut adalah Gia (Adinia Wirasti) yang baru saja balik dari New York setelah menetap di sana selama beberapa tahun, Cik Surya (Dayu Wijanto) yang kehilangan pegangannya sepeninggal sang suami, serta Indri (Ina Panggabean) yang ingin merasakan nikmatnya hidup sebagai warga kelas menengah. Melalui sosok Gia, Cik Surya, dan Indri, inilah penonton dihadapkan pada sisi yang berbeda-beda dari Jakarta. 

Ketika Gia mewakili hingar bingar kehidupan ibukota yang artifisial dimana kepura-puraan, hedonisme, dan pemujaan terhadap budaya barat adalah jalan untuk bertahan hidup diantara kaum berduit – hingga menjadi sesuatu yang diwajarkan, maka Cik Surya yang melakukan napak tilas ke tempat-tempat perayaan prostitusi adalah perwakilan dari sisi kelam nan misterius. Sementara itu, Indri adalah perwujudan ‘Jakarta Dream’ yang dipenuhi mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik... tak peduli bagaimana caranya. Dalam suatu malam di Jakarta, setiap tokoh menghadapi permasalahannya masing-masing yang kemunculannya secara tidak disangka-sangka membawa perubahan terhadap jalan hidup yang mereka lalui. 

Ketimbang melantunkannya menggunakan nada penceritaan yang bermuram durja, Selamat Pagi, Malam justru didominasi oleh keceriaan berisi lontaran-lontaran sarkasme yang menohok. Lihat saja bagaimana Lucky Kuswandi menggambarkan ‘culture shock’ yang dihadapi oleh Gia – secara ironis terjadi di tanah kelahirannya sendiri. Sungguh sulit untuk menahan tawa atas segala paparannya karena, yah, itu memang terjadi di sekeliling kita. Tidak lagi tumbuh berkembang sebatas di Jakarta, tetapi pula melekat sebagai bagian dari gaya hidup di perkotaan besar dan malah mulai menjajaki kemungkinan menjamur di kota-kota kecil. 

Salah satu bagian terbaik di sini yang sulit terhapus dari memori adalah ketika Naomi (diperankan secara menawan oleh Marissa Anita), kekasih Gia di New York, memberikan pernyataan, “Di Jakarta, kalau gue pura-pura sebagai foreigner, segalanya menjadi lebih gampang.” Entah diakui atau tidak, bukankah memang demikian adanya? Cik Surya dan Indri pun setali tiga uang, melewati malam yang sulit terlupakan di Jakarta. Walau secara garis cerita mereka tak seriang milik Gia, namun momen-momen yang membuat Anda terkekeh-kekeh penuh kegelian tetap hadir. Keterkejutan Cik Surya atas kenyataan sesungguhnya kehidupan di bar dan hotel remang-remang yang tak pernah diketahuinya dan keapesan Indri saat mencoba untuk melakoni peran sebagai wanita karir berduit banyak yang tak pernah dirasakannya. 

Jenaka dan manis di satu sisi, tetapi di sisi lain pun menyimpan rasa yang pahit. Apakah memang seperti ini Jakarta yang sesungguhnya, tampilan begitu megah menggoda tetapi isinya siapa yang tahu? Boleh jadi memang demikian adanya. Bagaimanapun, Selamat Pagi, Malam adalah sebuah surat cinta untuk Jakarta yang dituangkan dengan begitu cantik, mengikat, dan membuka mata oleh seorang Lucky Kuswandi yang bisa saja membuat siapapun seperti saya semakin enggan untuk memboyong diri ke Jakarta – Ugh, seolah panas dan semrawutnya Semarang belum cukup membuat saya menderita – dan membuat siapapun yang mendiami (atau pernah mendiami) Jakarta akan merasa terwakili, tertampar, dan tersentuh. Menarik!

Exceeds Expectations

2 comments:

  1. nice post :) liat lagi post yang lain ah hhe

    ReplyDelete
  2. Nice .... Cukup mewakili review film ini

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch