July 16, 2014

REVIEW : DAWN OF THE PLANET OF THE APES


“Apes do not want war!” – Caesar 

Nyaris tidak ada yang peduli saat proyek reboot film legendaris Planet of the Apes – berjudul Rise of the Planet of the Apes, rilis 3 tahun silam – diumumkan ke khalayak ramai. Kekecewaan yang ditimbulkan oleh versi remake-nya yang diolah Tim Burton bisa jadi menjadi salah satu kuncinya. Hingga... orang-orang menontonnya. Tiada yang kemudian menyangka bahwa jilid yang memulai franchise baru ini akan mencuat sebagai summer blockbuster sukses, gegap gempita, tetapi tetap memiliki kecerdasan dalam penuturannya. Sikap skeptisisme pun seketika lenyap, tergantikan oleh optimisme. Terlebih, masih banyak ruang bagi franchise ini untuk berkembang setelah klimaks epik di Golden Gate yang sulit dilupakan itu. Mungkin satu-satunya yang memberikan (sedikit) keraguan atas Dawn of the Planet of the Apes adalah Matt Reeves (Cloverfield, Let Me In) yang menggantikan posisi Rupert Wyatt di kursi penyutradaraan. Bukan sutradara yang buruk, tentu saja, tetapi sejauh manakah dia akan membawa jilid ini setelah instalmen sebelumnya telah menetapkan standar yang cukup tinggi? 

Dawn of the Planet of the Apes memulai pengisahannya dengan lambat – menempa mental para penonton yang mengharap ini adalah murni tontonan eskapisme tanpa otak – memberi kesempatan bagi kita untuk mengenal lebih dekat Caesar (Andy Serkis) yang kecerdasannya telah berkembang pesat, memiliki anak istri untuk dilindungi, dan memimpin koloni kera super pintar di tengah hutan belantara. Kehidupan mereka baik-baik saja, cenderung tenang dan damai tanpa terlihat adanya potensi gesekan konflik, sampai hadirnya serombongan manusia dipimpin oleh Malcolm (Jason Clarke). Putus asa lantaran persediaan logistik kian memprihatinkan bagi para manusia yang tersisa usai wabah virus mematikan, Malcom dan konco-konco pun nekat memasuki teritori para primata tanpa izin untuk menjangkau PLTA yang lantas disalahartikan oleh segelintir kawanan kera. Dipicu oleh perpaduan antara dendam kesumat, pengkhianatan, serta fitnah, perang skala besar pun sekali lagi berkobar. 

Mengikuti jejak sang pendahulu, film memang mengalun perlahan di titik awal untuk memberikan gambaran utuh kepada penonton perihal perkembangan para kera paska revolusi akbar. Bagaimana Caesar yang dulunya hanya seekor simpanse rumahan telah bertransformasi sebagai pemimpin karismatik yang berusaha memimpin koloni secara demokratis, mengayomi putra remajanya yang masih labil serta istrinya yang sakit-sakitan, sambil terus mencoba menjaga hubungan baik bersama para manusia agar tak ada lagi pertumpahan darah. Dihantarkan lewat naskah yang padat berisi dan performa brilian dari Andy Serkis, tuturan yang memakan setidaknya separuh durasi ini tak pernah terasa menjemukan. Sebaliknya, ada ikatan antara penonton dengan sejumlah karakter inti yang tercipta sehingga muncul sikap simpati, peduli terhadap kelangsungan nasib mereka. Menciptakan permainan emosi yang senantiasa naik turun sepanjang film berlangsung. 

Dipadukan pula bersama efek khusus megah nan rumit, kebanyakan berpola teknologi performance capture – berbentuk seragam ketat dan titik-titik kecil untuk merekam gerakan serta ekspresi para aktor pemeran kera – tangkapan gambar yang indah, dan skoring Michael Giacchino yang menghipnotis, membuat Dawn of the Planet of the Apes terasa kokoh. Bahkan, sekuel ini tidak hanya terasa lebih kelam, tetapi juga lebih menggugah, mengikat, dan besar (tentunya) dari film sebelumnya. Sebuah hasil akhir yang menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap kinerja Reeves tidak akan sehebat Wyatt menjadi sangat tidak beralasan (dan terbantahkan). Terlebih puncak film pun tak kalah menggetarkannya dari kekacauan Golden Gate tersebut. Standar yang lebih tinggi untuk franchise ini pun berhasil dicapai yang sekaligus menantang jilid berikutnya - kabarnya masih akan digarap oleh Reeves - untuk melampauinya. 

Tapi yang lebih menarik dari itu adalah betapa isu yang diapungkan oleh Dawn of the Planet of the Apes terasa begitu relevan dan aktual dengan polemik politik berkepanjangan yang menghiasi Indonesia maupun Palestina saat ini. Menyentil pihak manapun – direfleksikan oleh si pembuat film lewat sosok Koba (Toby Kebbell) yang tidak lagi memiliki welas kasih lantaran dibutakan oleh amarah dan kebencian – yang menjunjung tinggi kekerasan sebagai solusi terbaik dalam pemecahan masalah. Apakah kita sebagai manusia tidak malu untuk belajar berdamai dari, errr..., primata? Inilah yang kemudian menempatkan Dawn of the Planet of the Apes tidak saja sebagai sebuah film musim panas terbaik 2014, sejauh ini, tetapi juga sebagai sebuah film yang penting untuk disimak.

Outstanding

2 comments:

  1. Sepertinya film yang bagus.. D:

    ReplyDelete
  2. Sebenarnya filmnya bisa lebih sempurna kalau sekalian menyertakan elemen flashback, khususnya yang berkaitan dengan Koba saat masih dikerangkeng. Supaya penonton bisa merasa kesal sekaligus bersimpati sama dia.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch