August 25, 2014

REVIEW : GUARDIANS OF THE GALAXY


“I am going to die surrounded by the biggest idiots in the galaxy.” - Gamora 

Walau sama-sama mengusung tim superhero sebagai peranan utamanya, Guardians of the Galaxy tidaklah setenar saudara seperguruannya di semesta Marvel semacam The Avengers maupun Fantastic Four. Hanya segelintir orang – kebanyakan adalah penggemar berat komik – yang tahu betul soal tim yang terdiri atas sekawanan kriminal berhati keras ini. Jika ada yang menarik minat penonton terhadap Guardians of the Galaxy, hampir bisa dipastikan itu dipicu oleh brand dari Marvel Studios yang telah begitu menjual setelah rangkaian film produksinya sukses menjerat hati penonton maupun kritikus. Maka ketika mereka merilis film baru dengan tokoh seekor rakun bermulut tajam dan sebuah pohon yang bisa berbicara berlatar luar angkasa, “siapa yang peduli, ini film Marvel!”. Itulah yang dianggap paling penting. Dan memang, sekalipun Guardians of the Galaxy masih terbilang asing bagi penonton awam, sekali lagi Marvel tak membuat penggemar yang memuja-mujanya kecewa. Ini adalah salah satu film terbaik dalam koleksi mereka. 

August 24, 2014

REVIEW : YASMINE


“Air dalam cawan akan menjadi cawan. Air dalam gelas akan menjadi gelas. Air dalam tangan, akan menjadi tangan. Jadilah seperti air.” 

Bagi sebagian orang, Yasmine boleh jadi tidak mempunyai daya tarik maksimal. Pertama, premis yang dikedepankan berkenaan ‘from zero to hero’ sudah terlampau kuno, berulang kali mengalami bongkar pasang di beragam film. Kedua, ini film asli buatan Brunei Darussalam (ingat, bukan Malaysia!) yang tentunya masih asing bagi selera penonton sini terlebih Yasmine adalah percobaan pertama dari rumah produksi Origin Films dalam setengah abad terakhir untuk membangunkan perfilman Brunei yang telah terlalu lama terlelap. Ketiga, desain poster di peredaran khusus Indonesia... errr, tak menggugah selera. Jika ada magnet utama yang tersisa, maka itu terletak pada masifnya dukungan sejumlah pekerja film asal Indonesia terhadap proses pembuatan film ini dimulai di posisi pemeran pendukung, penulisan skrip, editing, tata musik, hingga pengisian soundtrack. Sepintas tidak terlalu menggiurkan, memang, tapi jika Anda berani-berani meremehkan kemampuan Yasmine, maka bersiaplah untuk ditonjok keras-keras olehnya. 

August 16, 2014

REVIEW : THE EXPENDABLES 3


“You were stupid enough to get yourself into this mess! And we're the only ones crazy enough to get you out of it!” 

The Expendables is back! Sekumpulan kakek-kakek tua berotot yang dulunya rajin mengokang bedil di era 80 hingga 90’an kembali bereuni setelah The Expendables 2 yang menghebohkan. Beberapa nama, sayangnya, dipensiunkan atas berbagai macam alasan, namun personil kelompok yang dipimpin oleh Sylvester Stallone ini tetap belum kehilangan taringnya karena anggota baru pun turut direkrut. Chuck Norris boleh saja ‘say goodbye’, tapi kali ini kita mendapatkan Harrison Ford, Mel Gibson, Kelsey Grammer, Wesley Snipes, serta Antonio Banderas! Terbilang ramai, bukan? Bahkan, untuk sekali ini demi meningkatkan daya tarik The Expendables 3 sekaligus minat penonton generasi muda yang tidak banyak mengenal para sesepuh film aksi ini, diboyonglah sederet aktor berusia 20-an untuk turut memeriahkan layar dengan salah satunya kita kenal sebagai jebolan franchise laris Twilight, Kellan Lutz, serta seorang perempuan pemegang piala UFC, Ronda Rousey. 

August 15, 2014

REVIEW : TEENAGE MUTANT NINJA TURTLES


"Cowabunga!"

Menyapa para manusia pertama kali di dekade 80-an dalam wujud komik, empat kura-kura mutan penggemar berat pizza yang lihai bela diri ciptaan Mirage ini lantas berkembang pesat sebagai salah satu produk pop culture yang popularitasnya merambah ke televisi, permainan video, hingga tiga jilid film layar lebar berbentuk live action. Keberadaannya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masa kecil sebagian masyarakat dunia yang tergabung dalam generasi 80 dan 90’an sampai-sampai keempat reptil yang namanya dijumput dari pelukis Italia era Renaissance ini dielu-elukan bak pahlawan. Ah, sungguh masa kecil yang indah. Setelah popularitasnya semakin meredup – seiring berkembangnya zaman (dan teknologi) – percobaan untuk menghidupkan kembali ketenaran para kura-kura pun dilakukan lewat film animasi TMNT (2007) dan serial animasi produksi Nickelodeon yang tidak disangka-sangka memperoleh respon memuaskan dari khalayak ramai. Merasa bahwa tokoh fiksi ini memiliki masa depan cerah, Nickelodeon pun nekat memboyongnya ke layar lebar. 

August 14, 2014

REVIEW : INTO THE STORM


“That's the biggest tornado I've ever seen.” 

Bagaimana jadinya saat sebuah film yang mengambil format found footage dipertemukan dengan disaster movie? Sekilas, terdengar seperti ide bagus. Fantastis. Gambaran bencana alam akan terasa lebih autentik sehingga memungkinkan penonton untuk terserap ke dalamnya dan memberi mimpi buruk seburuk-buruknya hingga sulit mengenyahkannya jauh-jauh dari ingatan. Terlebih jika ditayangkan di layar bioskop terbesar atau mungkin melepasnya di 3D. Boom! Bisa jadi itulah yang terlintas di benak pemikiran para petinggi di New Line Cinema saat memutuskan untuk memberi lampu hijau kepada Into the Storm. Seperti melihat perpaduan antara Twister dan Cloverfield – masing-masing salah satu film terbaik di genrenya. Jika sudah begini, siapa yang tidak tergoda? Rasa-rasanya penonton pun akan tergiur untuk mencicipi setelah mengetahui Into the Storm adalah semacam versi pembaharuan dari Twister dengan efek khusus lebih halus dan pemanfaatan found footage sebagai metode penceritaan. 

August 8, 2014

REVIEW : CURSE OF CHUCKY


"You wanna play, motherfucker? Let's play!" 

Semoga Anda belum lupa terhadap Chucky. Boneka seram berjiwa pembunuh berdarah dingin yang terakhir kali menyapa penggemarnya pada sepuluh tahun silam lewat Seed of Chucky, yang begitu konyol dan menghina habis-habisan wibawa si boneka, ini telah dibangunkan dari tidur panjangnya untuk kembali melancarkan kutukan-kutukan kepada para manusia tanpa ampun melalui Curse of Chucky. Tidak seperti kedua instalmen sebelumnya, Bride of Chucky dan Seed of Chucky, yang banyak membubuhkan humor ke dalam penceritaan, jilid keenam dari rangkaian seri Child’s Play yang pertama kali memperkenalkan diri di tahun 1988 ini mencoba kembali ke akarnya sebagai upaya penebusan dosa dari salah satu kreator, Don Mancini, dengan menerapkan formula jilid awal yang cenderung menekankan pada teror, keseraman, serta kesadisan. Untuk itu, guyonan-guyonan tak penting direduksi sebanyak mungkin, digantikan oleh banjir darah dan anggota tubuh yang terlepas. 

August 4, 2014

REVIEW : RUNAWAY


Begini. Sebelum Anda memutuskan melenggang cantik (atau tampan) ke gedung bioskop terdekat guna menyaksikan Runaway, tanyakan terlebih dahulu ke lubuk hati paling dalam tentang: 1) apa keinginan yang ingin Anda genggam usai melahap film ini?, dan 2) apakah Anda adalah penggemar berat Al Ghazali sehingga menganggap melewatkan Runaway adalah sebuah kesalahan tak termaafkan?. Apabila jawaban atas pertanyaan pertama memiliki keterkaitan kuat dengan sesudahnya, maka Runaway bukanlah pilihan meragukan. Malah cenderung bersifat wajib. Tetapi jika tidak, hanya tergiur pada materi promosinya semata – harus diakui, Maxima Pictures adalah rumah produksi paling jagoan untuk perkara satu ini – bolehlah dipikir ulang. Kecuali, Anda memang sama sekali tidak keberatan melahap film yang isiannya tidak lebih dari jualan Al Ghazali yang tengah berkibar popularitasnya dan panorama indah Hong Kong. 

August 1, 2014

REVIEW : SEPUTIH CINTA MELATI


“Allah Maha Penerima Taubat”

Saban tahun, terhitung sejak Liburan Seru! di tahun 2008, Alenia Pictures tak pernah absen mempersembahkan karya untuk mengisi liburan sekolah yang menyasar pangsa pasar keluarga (khususnya anak-anak). Sarat akan pesan moral, menghibur, serta berhiaskan panorama alam Indonesia yang amboi cantiknya adalah ciri khas utama film-film dari rumah produksi kepunyaan Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen ini yang telah ditampakkan dari era Denias, Senandung di Atas Awan hingga Leher Angsa. Lewat rilisan terbaru mereka yang dirilis bertepatan dengan momen Idul Fitri, Seputih Cinta Melati, kekhasan itu tetap dipertahankan. Yang membedakan, untuk sekali ini, Alenia menjajal bermain di ranah reliji yang belum pernah mereka sentuh sebelumnya. Hasilnya? Bolehlah Seputih Cinta Melati ini disebut sebagai salah satu film terbaik milik Alenia setelah beberapa karya terakhir terbilang mengecewakan. 
Mobile Edition
By Blogger Touch