November 3, 2014

REVIEW : OUIJA


“Keep telling yourself it's just a game.” 

Apabila kamu mendengus kecewa terhadap Annabelle lantaran tak cukup membuatmu ketakutan dan berharap Ouija mengobati luka hatimu, maka sebaiknya redam saja ekspektasimu karena, yah... hanya akan memercikkan kejengkelan lebih mendalam. Dipersiapkan sebagai salah satu dari sedikit film memedi untuk menyambut datangnya Halloween, produksi horor pertama dari perusahaan mainan Hasbro yang bekerja sama dengan Platinum Dunes kepunyaan Michael Bay ini hanya menerapkan kembali resep yang telah dipergunakan oleh, errr... seabrek film horor yang menyasar remaja sebagai target utama pasar. Coba saja intip plotnya; sekelompok remaja iseng-iseng melakukan pemanggilan arwah menggunakan papan permainan supranatural, Ouija, hanya untuk diserang serentetan teror yang berujung pada tewasnya satu persatu dari mereka. Bukankah ini sesuatu yang bahkan telah sering kamu jumpai di film-film horor buatan dalam negeri? 

Ya, Ouija memiliki lima karakter utama yang kesemuanya (tentu saja) adalah pemuda pemudi berwajah rupawan; Laine (Olivia Cooke), Sarah (Ana Coto), Pete (Douglas Smith), Trevor (Daren Kagasoff), dan Isabelle (Bianca A. Santos). Kelimanya tanpa meminta bantuan dari ‘orang pintar’ secara seenaknya menerobos masuk ke dunia gaib menggunakan Ouija sebagai perantara dengan tujuan utama untuk berkomunikasi dengan sahabat mereka, Debbie (Shelley Hennig), yang tewas secara misterius. Laine meyakini bahwa kematian Debbie tidaklah disebabkan oleh bunuh diri sehingga dia berencana untuk mengadakan semacam investigasi. Celakanya, kelima remaja kurang kerjaan ini telat menyadari bahwa penyebab utama kematian dari sang sahabat tercinta berasal dari Ouija. Telah membuka lebar-lebar pintu dimensi lain, maka satu-satunya cara untuk menghentikan teror yang menghantui mereka adalah dengan menyelesaikan permainan hingga tuntas. 

Sejujurnya, saat menonton film seram semacam Ouija, hanya ada satu hal yang saya minta: buat saya ketakutan. Sesederhana itu. Ketika film tersebut berhasil membuat diri berteriak keras-keras, meringkuk tampan di kursi bioskop, atau terbayang-bayang indah dengan beberapa adegan dalam film yang berdampak pada tidak lelapnya tidur malam, maka saat itulah si pembuat film telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik. Akan tetapi apabila kesan yang didapat justru sebaliknya, ditambah tawa yang biasanya muncul setelah jeritan malah justru tergantikan oleh rasa kesal lantaran kejutan yang dipersiapkan begitu murahan sebatas mengandalkan skoring yang volumenya tiba-tiba ditinggikan tanpa ada penampakan yang memperlihatkan diri, tentu ini adalah sebuah kegagalan yang memalukan. Bagi Ouija, kesan kedualah yang paling menempel erat sehingga (sebetulnya) lebih dari cukup untuk mendeskripsikan tontonan seram semacam apa yang disajikan oleh Stiles White. 

Meski mendayagunakan plot basi khas film horor kelas B, Ouija masih sedikit lebih baik dari Annabelle soal konklusi. Setidaknya – walau penyelesaian masalahnya yang dipaksakan membuat jidat mengerut – tetapi untungnya tak lantas menjadi konyol seperti film sebelah. Well... mungkin inilah satu-satunya kelebihan dari Ouija karena berurusan dengan hal takut-menakuti, Ouija tidak bisa diharapkan. Sama sekali. Ketika (lagi-lagi) Annabelle masih memiliki satu dua adegan yang bisa kamu kenang, obrolkan, sekaligus membuatmu terperanjat dari kursi bioskop, maka film yang skripnya ditulis dengan sangat malas oleh White beserta Juliet Snowden tidak memberikan apa-apa kecuali trik-trik penampakan yang kemunculannya bisa kamu perkirakan dengan mudah. 

Jangankan esok hari, saya bahkan sudah lupa teror apa saja yang membuat saya ketakutan hanya sesaat setelah melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop karena yah... memang tidak ada. Kalaupun ada momen berkesan selama menyaksikan Ouija, itu adalah seorang penonton latah yang tiba-tiba teriak “Laine!” saking kagetnya dengan musik yang memang tidak berkeprimanusiaan. Sungguh, Ouija adalah sebuah film horor yang mengecewakan, melelahkan, tidak menyeramkan, dan mudah sekali dilupakan. Kecuali kamu benar-benar menikmati ‘crowd’ film horor di bioskop atau terpaksa menemani kencanmu yang merengek ingin menyaksikan Ouija, lebih baik tunggu saja kehadirannya lewat DVD atau saksikan saja versi Filipina yang lebih menyeramkan. Next!

Poor


No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch