December 21, 2014

REVIEW : STAND BY ME DORAEMON


"Jika kamu tidak mencoba, kamu tidak akan berubah."

Bersamaan dengan air mata yang mengalir membasahi pipi, senyuman penuh kebahagiaan turut tersungging di bibir ini seusai menyaksikan Stand By Me Doraemon. Seandainya kala itu tak disibukkan oleh urusan menyeka buliran air, boleh jadi tepuk tangan akan digemakan. Mungkin saya akan menyimpannya untuk tontonan kedua. Tidak peduli akan ada yang mengatakan bahwa ungkapan kegembiraan ini terdengar berlebih-lebihan, akan tetapi pada kenyataannya seperti itulah yang terjadi. Sebagai seseorang yang tumbuh dewasa ditemani robot berbentuk kucing biru dari masa depan bernama Doraemon – nyaris tak pernah terlewatkan saban Minggu melakoni ritual mingguan memandangi layar kaca untuk menjadi saksi keajaiban lainnya dari Doraemon, hingga kini – maka berkesempatan untuk menyaksikan persembahan khusus menyambut ulang tahun ke-80 dari sang pengarang, Fujiko F. Fujio, adalah keberuntungan yang boleh jadi hanya akan terjadi sekali seumur hidup. 

Ya, Stand By Me Doraemon berbeda dari puluhan judul versi film layar lebar Doraemon yang tak pernah absen memeriahkan bioskop semenjak awal 1980-an. Selain menanggalkan metode konvensional dengan beralih ke pengunaan CGI (Computer-generated Imagery) seutuhnya, film yang dikomandoi oleh salah satu sutradara Jepang terbaik saat ini, Takashi Yamazaki, dan Ryuichi Yagi ini pun digadang-gadang akan mengulik jalinan pengisahan seputar perpisahan Doraemon dan Nobita. Satu kata kunci yang teramat efektif menggerakkan minat siapapun yang menempatkan Doraemon sebagai sahabat baik yang tak pernah benar-benar dipunyai, bagian dari masa kecil, atau sekadar mengenal sekelumit untuk menyaksikan Stand By Me Doraemon. Sebuah pertanyaan lantas menggelitik sanubari para sobat Dora, “apakah ini adalah sajian yang mengakhiri kisah persahabatan ikonis antara robot kucing dengan manusia yang dicintai oleh jutaan umat?”. Jawaban telah ditekankan secara tegas, tidak. Stand By Me Doraemon tak ubahnya ‘special episode’ yang memungkinkan para penggemar bernostalgia ke episode-episode terbaik dari Doraemon lewat kemasan baru yang menyegarkan. 

Stand By Me Doraemon menarik kita jauh ke titik awal saat si robot kucing dari abad ke-22 yang menggilai kue Dorayaki ini bertemu pertama kali dengan bocah berusia 10 tahun bermasa depan memprihatinkan. Ingatan penonton terhadap motif utama di balik misi utama pengiriman Doraemon (Wasabi Mizuta) kembali dibangun di menit-menit awal seraya mencecerkan sekelumit penjelasan atas sejumlah hal – salah satunya, alasan cinta buta Doraemon terhadap Dorayaki – yang mungkin terlewatkan atau malah terlupakan. Apa yang kemudian terjadi adalah sederet kekonyolan sebagai bentuk dari eksploitasi sisi buruk Nobita (Megumi Ohara) meliputi manja, malas, bodoh, tak bertanggung jawab, sekaligus ceroboh. Akibatnya, untuk ‘bertahan hidup’, Nobita pun bergantung pada alat-alat ajaib kepunyaan Doraemon terlebih dalam upayanya mewujudkan masa depan cerah yang dalam kamus Nobita berarti mempersunting Shizuka (Yumi Kakazu), teman sekelasnya yang cantik jelita berseri-seri. 

Bagi siapapun, para pemuja serial anime yang telah menghiasi layar kaca nasional sejak 25 tahun silam, Stand By Doraemon adalah kado yang sebaiknya tidak ditolak keberadaannya. Mengapungkan kembali memori-memori indah yang sudah terjalin menahun melalui medium manga atau anime bersama Doraemon dan konco-konco. Dengan materi utama dicuplik dari manga utama – bukan edisi petualangan atau semacamnya – maka tentu saja penceritaan di sini tak jauh-jauh dari interaksi keseharian antara Dora dan Nobita beserta orang-orang di sekelilingnya tanpa melibatkan petualangan sarat akan nuansa fantasi ke negeri antah berantah seperti yang biasa kita saksikan di versi layar lebar. Di sini, Yamazaki dan Yagi menekankan pada upaya Doraemon untuk membantu Nobita menjadi manusia yang jauh lebih baik serta persahabatan singkat nan berkesan yang melingkupi keduanya. Banyak tawa canda muncul disebabkan tingkah laku konyol setiap tokoh maupun tangis haru di beberapa adegan krusial. Bahkan, untuk menambah daya pikat, si pembuat film pun tak luput membubuhkan ramuan berwujud semangat lewat keseruan sisi petualangan saat alat-alat ajaib Doraemon dikeluarkan atau ketika Nobita ‘bertamu’ ke masa depan. 

Menambah nilai jual, Stand By Me Doraemon ditunjang oleh penggunaan 3D yang tepat guna (dan sangat mengesankan!) – bukan sekadar gimmick tak perlu. Memberikan efek nyata penonton untuk merasakan penggunaan alat-alat ajaib Doraemon semacam Pintu Kemana Saja, Mesin Waktu atau Baling-baling Bambu, penggambaran realistis terhadap tokoh-tokohnya, sekaligus serasa dilibatkan ke dalam penceritaan. Pemakaian tembang ‘Himawari no Yakusoku’ oleh Motohiro Hata untuk memberikan rasa lebih terhadap sisi sentimentil yang telah menjadi tujuan utama sejak awal dengan digalinya kenangan pun tergolong berhasil. Tatkala lampu di gedung bioskop dinyalakan sebagai pertanda film telah usai, kegembiraan bercampur haru pun dirasakan. Teramat jelas, Takashi Yamazaki betul-betul mengetahui bagaimana seharusnya mempresentasikan tokoh ikonik ini ke para penggemar beratnya. Bahkan, tanpa harus menjadi pemuja Doraemon sekalipun, penonton manapun yang telah melalui masa kanak-kanak, bisa jadi akan mudah mencintainya. Rangkaian kisah-kisah terbaik dari Doraemon dirajut oleh duo sutradara secara sempurna dengan mempertemukan kehangatan, kekocakan, serta keseruan yang dilengkapi muatan pesan moral tentang persahabatan, mimpi, dan mempercayai diri sendiri. Jika kamu memutuskan untuk menontonnya, jangan lupa membawa tissue! 

Note: Saksikan Stand By Me Doraemon dalam format 3D untuk mendapatkan pengalaman menonton yang mengasyikkan. Dan, tonton hingga tuntas karena ada post-credits scene kocak yang akan membuatmu tertawa tergelak-gelak.

Outstanding

1 comment:

Mobile Edition
By Blogger Touch