January 16, 2015

REVIEW : HIJAB


“Perempuan itu kudu di rumah, nyuci baju, merawat anak, masak dan patuh dengan suami.” 

Setelah beberapa tahun terakhir ini Hanung Bramantyo kerap kali disibukkan oleh proyek ambisius dengan bekal cerita cenderung bernada serius dan berat menuntut perhatian lebih, ada semacam kerinduan menyaksikannya bersenang-senang seperti halnya di awal-awal karir penyutradaraan – sebut saja, Catatan Akhir Sekolah dan Jomblo – yang jujur dalam berkisah, lepas tanpa beban, dan santai namun tetap meninggalkan kesan mendalam usai menyimaknya. Mungkin, seperti halnya para pecinta film, Hanung pun merasakan kerinduan (atau justru kelelahan) serupa sehingga usai megaproyek Soekarno dan sebelum melangkah ke film berbujet raksasa lainnya, diputuskan untuk berelaksasi, menyegarkan pikiran sejenak agar tidak suntuk. Lagipula, why so serious? ‘Main-main’ ala Hanung ini lantas diwujudkan lewat Hijab yang tak seperti judulnya – bahkan mungkin bayanganmu – enggan bergerak di ranah reliji. Kenyataannya, Hijab adalah sebuah film komedi satir cerdas berisi nan mengasyikkan yang tanpa malu-malu berbicara soal kesetaraan jender, posisi perempuan, ajaran agama, moral, dan (tentunya) hijab sebagai bagian dari gaya hidup bukan sekadar penanda keimanan seseorang. 

Hijab menyoroti pengisahannya pada persahabatan empat perempuan; Bia (Carissa Puteri), Tata (Tika Bravani), Sari (Zaskia Adya Mecca), dan Anin (Natasha Rizky). Diantara mereka berempat, hanya Anin yang masih betah melajang dan tidak menggunakan jilbab. Meski Anin telah menjalin hubungan cukup serius dengan Chaky (Dion Wiyoko), sutradara film pendek yang kontroversial, Anin enggan menapaki jenjang pernikahan lantaran khawatir akan bernasib serupa seperti ketiga sahabatnya yang menjadi isteri ‘ikut suami’. Semenjak Bia bersuamikan artis sinetron super sibuk, Matnur (Nino Fernandez), dia harus kehilangan ‘me time’ karena harus menemani sang suami di lokasi syuting. Tata yang bersuamikan fotografer ternama, Ujul (Ananda Omesh), direpotkan dengan urusan anak. Dan, Sari – terparah dari semuanya – yang bersuamikan lelaki ketutunan Arab kolot, Gamal (Mike Lucock), terpenjara di rumah karena tugas istri hanya sebatas pada patuh pada suami dan mengurus rumah tangga. Selain itu, haram! 

Satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk berkumpul dan merasakan sedikit kebebasan adalah saat arisan bersama. Ndilalah, di satu kesempatan, Gamal keceplosan, “Semua arisan ibu-ibu sebetulnya arisan suami, karena duitnya dari suami.” Sebagai mantan aktifis perempuan, Tata merasa terusik dengan pernyataan Gamal dan diam-diam mengajak ketiga sahabatnya untuk mencari penghasilan sendiri tanpa bergantung pada suami. Mereka berjualan hijab secara online. Dan, di sinilah akar konflik dari Hijab mulai menampakkan wujudnya. Setidaknya lebih dari durasi film dimanfaatkan oleh Hanung Bramantyo untuk melancarkan sentilan sentilun ke berbagai arah, khususnya berkenaan tentang pemakaian hijab, peran perempuan bersuami dipandang dari sisi agama Islam, kultur dan lingkungan sosial masyarakat yang kerap kali disalahgunakan oleh para laki-laki demi memuaskan ego, melalui kelakar-kelakar ringan. Tidak ketinggalan pula ada celetukan soal ormas tertentu yang menggunakan agama sebagai kedok, ketergantungan terhadap gadget, dan fenomena unik soal industri hiburan tanah air. 

Cara santai-tapi-serius ini tergolong efektif sekaligus tepat guna dalam menghantarkan kisah. Guyonan sebagai solusi dalam mengapungkan isu yang akan kentara sekali sensitifitasnya bagi para konservatif apabila dikupas secara serius. Si pembuat film, jelas, telah belajar dari kesalahannya di masa lampau. Kita diajak tertawa terbahak-bahak berulang kali. Bukan menertawakan orang lain, melainkan diri sendiri dan kenyataan yang tumbuh berkembang di lingkungan sosial sekitar – tak peduli seberapa keras kita mencoba menyangkalnya – maka jangan kaget saat gelak tawamu bermunculan, tiba-tiba merasa tersentil, tergelitik, atau tertohok. Damn! Pun demikian, Hijab tak sepenuhnya soal berhaha-hihi. Menilik tema film yang berkisar pada persahabatan dan kekeluargaan, pembubuhan rona drama pada penceritaan bukan sesuatu yang mengherankan malah cenderung sangat dibutuhkan. Seperti halnya kehidupan – maupun persahabatan di dunia nyata – canda tawa akan selalu diselingi oleh air mata karena keduanya adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Konflik mustahil dihindari. 

Untuk itu, usai paruh pertama dan separuh berikutnya yang disesaki oleh keceriaan, kesenangan, dan keriangan, perlahan tapi pasti nuansa Hijab berbelok arah seiring meruncingnya permasalahan pada titik, “apa yang akan terjadi saat penghasilan para istri benar-benar telah melampaui sang suami?” yang dihadapi oleh para tokoh utama. Puncak dari segala puncak adalah tatkala Andien melantunkan tembang “Satu Yang Tak Bisa Lepas” yang seketika menggiring penonton pada perasaan terenyuh, tersentuh, dan kemudian menitikkan air mata. Ada simpati tersemat kepada Bia, Sari, dan Tata, membuat kita turut merasakan ‘kegagalan’ yang mereka hadapi. Bagusnya, Hanung tidak pernah melantunkan sisi sentimentil dari Hijab ini kelewat dramatis sehingga kesan cengeng pun berhasil terhindarkan. Bagusnya lagi, tak ada penggampangan persoalan dalam pencarian jalan keluar untuk setiap konflik karena Hanung memilih melewati jalur realistis alih-alih bombastis. 

Keunggulan Hijab tidak saja disebabkan oleh skrip trengginas rancangan Hanung Bramantyo dan Rahabi Mandra maupun pengarahan mengesankan Hanung, melainkan turut ditopang oleh penataan kostum, artistik, pengambilan gambar cantik penuh warna a la Instagram dari Faozan Rizal, dan terpenting, performa bertenaga dari jajaran pemainnya. Selain menunjukkan chemistry hebat satu sama lain, kedelapan bintang yang ditempatkan di garda terdepan Hijab memberikan kontribusi lebih – menancapkan nyawa kepada masing-masing karakter yang dimainkan. Ya, dari Zaskia Adya Mecca, Tika Bravani, Carrisa Puteri, Natasha Rizky, Mike Lucock, Ananda Omesh, Nino Fernandez, hingga Dion Wiyoko, kesemuanya bermain secara natural tanpa beban seolah-olah memerankan diri sendiri membuat kita bisa percaya bahwa mereka bersahabat, percaya bahwa mereka adalah pasangan-pasangan, dan percaya bahwa mereka ada. Ketika kita telah diberikan kepercayaan itu, maka mudah untuk terciptanya kedekatan antara karakter dengan para penonton sehingga kita dapat peduli kepada mereka. Dengan bekal kekuatan semacam ini, bisa kiranya saya menyebut Hijab sebagai salah satu film terbaik yang pernah digarap oleh Hanung Bramantyo. Melambungkan kembali ingatan kepada JombloCatatan Akhir Sekolah, maupun Get Married. Trust me, this one should not be missed. Keren!

Outstanding

5 comments:

  1. nonton film ini awalnya aku ngerasa nggak nyaman, beberapa scene di awal ada kesan "mocking" terhadap tradisi-tradisi dlm beragama. lama-lama ngikuti ceritanya jadi excited dan pada akhirnya I can say this is a meaningful and fun movie. Kritik tersampaikan scr fun

    ReplyDelete
  2. Betapa senangnya kamu sangat menikmati film ini, Rif. Pasti setelah menonton langsung terinspirasi untuk menjadi suami yang baik ya. Hahaha.

    ReplyDelete
  3. diajakin nonton sama nyokap kemarin, awalnya gue jg ngira ini film reliji. eh ga taunya kocak bangetttt!!! ngakak pol deh! paling suka sama akting tika bravani dan carissa puteri, two thumbs up!

    ReplyDelete
  4. Betul. Di luar dugaan Hijab sangat kocak dan menghibur. Sudah lama saya tidak sesenang ini nonton film garapan Hanung. Humor dapet, pesan kena.

    ReplyDelete
  5. baru nonton gak lama di tv..
    iya mmmg kocak film ini scane yg bikin ngakak pas pidato pembukaan tokoh hijab mereka ...sukses bikin sya ngakak hahahaha

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch