January 25, 2015

REVIEW : THE IMITATION GAME


“Sometimes it is the people who no one imagines anything of who do the things that no one can imagine.” 

Seorang filsuf kenamaan dari Barat, Ralph Waldo Emerson, pernah berujar, “to be great is to be misunderstood,” saat mengutarakan gagasannya perihal ‘Self Reliance’. Lontaran pernyataan ini disertai beberapa bukti melibatkan sejumlah tokoh penting seperti Yesus, Phytagoras, maupun Socrates yang melewati jalanan berliku-liku untuk memperoleh pengakuan dari khalayak ramai atas kontribusi besar – sulit dipahami oleh manusia lain di zamannya – yang mereka sumbangkan bagi peradaban manusia. Konsekuensi ‘menentang arus’ yang diterima beraneka ragam wujudnya, dari sekadar dihujani perundungan, pengucilan, hingga menerima hukuman mati. Seorang ahli matematika sekaligus kriptoanalisis, Alan Turing, pun menghadapi nasib kurang lebih serupa tatkala memperjuangkan terwujudnya sebuah alat pemecah kode Enigma yang membantu kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II. Penolakan diperolehnya dari lingkungan sekitar – terlebih Turing digambarkan sebagai sosok dingin dan arogan. 

Memilukannya, kendati sumbangsih yang ditorehkan oleh Turing kepada Inggris bukan lagi sepele, keberadaanya nyaris tak terlacak di sejarah... bahkan sempat ditutupi selama puluhan tahun lamanya oleh pemerintah Britania Raya! Tidak mengherankan jika lantas banyak dikemukakan pertanyaan, “siapa sebenarnya Turing? Mengapa kisah hidupnya begitu penting untuk diketahui?,” saat sineas asal Norwegia, Morten Tyldum, mengangkat sosoknya lewat film berbahasa Inggris perdananya, The Imitation Game – menyusul kegemilangan Headhunters – berpijak pada buku biografi kreasi Andrew Hodges berjudul Alan Turing: The Enigma yang boleh jadi salah satu karya paling berjasa dalam memperkenalkan Turing ke mata dunia. Melalui The Imitation Game, Tyldum mengajak penonton menelusuri sekelumit jatuh bangun Alan Turing pada tiga periode terpenting di kehidupan Turing meliputi fase remaja, bekerja untuk pemerintah, dan detik-detik menjelang kematiannya, dalam tuturan yang mengoyak emosi, mengikat, sekaligus mendebarkan. 

Penceritaan di The Imitation Game dimulai dari interogasi Detective Nock (Rory Kinnear) terhadap Alan Turing (Benedict Cumberbatch) usai kasus pendobrakan yang mencurigakan di rumah Turing. Pengakuan-pengakuan Turing membawa kita terlempar ke beberapa tahun lampau saat Turing mendedikasikan hidupnya untuk bekerja di fasilitas rahasia pemecahan kode milik pemerintah Inggris, Bletchley Park, bersama sejumlah jenius terbaik di Inggris dari beragam bidang keahlian termasuk calon tunangannya, Joan Clarke (Keira Knightley). Diburu oleh sempitnya waktu sementara korban perang dari serangan Nazi terus berguguran, Turing merasa upaya mereka dalam memecahkan kode Enigma yang senantiasa berganti tiap hari sia-sia belaka. Sebagai solusi, Turing pun menanggalkan kerjaannya dan fokus pada penciptaan alat pemecah Enigma yang memicu timbulnya konflik diantara sesama. Di tengah-tengah situasi serba panas ini, sekali lagi kita dibawa mundur ke belakang menilik masa sekolah Turing yang memiliki peranan krusial dalam membentuk kepribadiannya seperti yang kita lihat sepanjang film. 

Tentu, Benedict Cumberbatch adalah kunci atas keterlibatan emosi penonton pada The Imitation Game. Menghantarkan performa konsisten yang sedari awal begitu impresif, kita merasakan kepedihan dan kehampaan yang menggelayutinya di balik tembok penuh sikap tak ramah yang dibangunnya. Pun begitu, keberpihakan berbentuk sikap empati untuknya tak serta muncul – melainkan cenderung berproses – menilik Turing bukanlah sosok yang, yah... mudah dicintai. Sama sekali tidak. Seperti halnya Hugh Alexander dan Joan Clarke (dimainkan dengan menawan oleh Matthew Goode dan Keira Knightley) ada satu titik keinginan menonjoknya keras-keras muncul ke permukaan, namun seiring berlalunya durasi – ketika lapisan-lapisan masa lalu mulai terkuak – penonton akhirnya menyadari pemicu dari dinginnya laku Turing. Keengganan menjalin kedekatan bersama Turing seketika bergeser digantikan oleh perasaan kagum bercampur iba. Ada keinginan untuk melihatnya merayakan kebahagiaan setelah kehilangan besar, walau indikasi sulitnya buat terwujud terpampang jelas. 

Ketidaktahuan mengenai perjalanan hidup Alan Turing menjadi berkah tersendiri sepanjang menyimak The Imitation Game. Seusai menit pembuka yang menyelipkan dialog, “are you paying attention?”, ada ketertarikan untuk memberi perhatian lebih terhadap guliran perjalanan hidup Turing – karena nyaris tidak ada gambaran soal serentetan peristiwa yang akan melingkupi. Morten Tyldum pun mencoba mengenyahkan anggapan publik soal “well, film biopik... pasti menjemukan” lewat alur yang melaju lancar, cukup kencang, dan menghindari metode penceritaan konvensional. Dan daya pikat film pun semakin menguat sesaat setelah The Imitation Game turut menapaki ranah study character dan memperbincangkan moralitas berkenaan orientasi seksualitas Turing yang dianggap terlarang kala itu. Lalu, dengan bermunculannya momen-momen genting selama Perang Dunia II, beberapa diantaranya bahkan memaksa Turing dan tim kecilnya untuk mengambil keputusan sangat penting perihal hidup mati warga Inggris, cenderung mustahil dapat duduk tenang di kursi bioskop tanpa merasakan getaran apapun pada emosi. Tyldum secara lihai mampu menghantarkan suasana yang mengombinasikan sensasi harap-harap cemas penuh ketegangan dengan kesedihan yang akan membuat matamu berkaca-kaca. The Imitation Game was so inspiring, thrilling, and heartbreaking.

Outstanding



2 comments:

  1. Yesss.... Film yang berkualitas, membuka mata tentang beberapa fakta PD II yang mungkin banyak orang tak menyadari dan mengakui hasil kerja Alan Turing, tentang perjuangannya, kesepiannya, pengorbanannya, bahkan dilema yang sangat mengganggu antara menyelematkan sebuah kapal, atau memenangi perang.
    Sungguh perjuangan yang sangat gigih dan terbukti berhasil, meskipun tak secepat yang diharapkan dari pemerintah kala itu.
    Dan mungkin mesin inilah cikal bakal yang digunakan para pembuat instan messenger yang menjamin pesan kita tetap rahasia.
    Nice Review Mas Tariz.
    Keep posting.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih banyak. Senang mengetahui kamu sangat menikmati film ini :)

    Harus diakui, walau ini bukan film pertama yang mengangkat sosok Alan Turing, tapi The Imitation Game adalah film pertama yang membuat saya berkenalan dan penasaran untuk mengetahui lebih jauh soal Turing. Mengesampingkan sikap dinginnya - perwujudan dari tembok pertahanan diri - dan kehidupan personalnya, Turing adalah sosok yang menginspirasi. Kerja keras memang tak akan mengkhianati :)

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch