January 27, 2015

REVIEW : SEVENTH SON


Brace yourself, karena tren adaptasi novel young adult berseri masih belum menandakan tanda-tanda akan menyurut. Paska kelulusan trio penyihir ABG dari Hogwarts atau pernikahan pasangan vampir, mungkin hanya The Hunger Games, Divergent, serta (tampaknya) The Maze Runner yang layak dilabeli sebagai ‘penerus sejati’. Lainnya, menguap begitu saja bersamaan kualitas jauh dari rupawan. Walau kegagalan demi kegagalan kerap menaungi, para petinggi studio masih melihat lahan ini sebagai komoditi menguntungkan untuk dieksploitasi dengan target terbaru yang diangkat ke layar lebar adalah rangkaian seri The Wardstone Chronicles gubahan Joseph Delaney. Ditunjuk untuk mengomandoi proyek berjudul Seventh Son – dicuplik dari jilid pertama, The Spook’s Apprentice – adalah sutradara asal Rusia pembesut Mongol, Sergei Bodrov, yang baru sekali ini dipercaya mengerjakan film besar berbahasa Inggris. Jejak rekamnya bisa dibilang mengagumkan, tapi bukan berarti mustahil baginya berbuat kesalahan... karena itulah yang dilakukannya di Seventh Son

Sebagai anggota terakhir yang tersisa dari Falcon Knights, seorang spook – bertugas memburu para makhluk yang mengganggu ketentraman dunia – bernama Master Gregory (Jeff Bridges) membutuhkan murid sebagai penerusnya. Syarat utama, dan mutlak diperlukan, untuk mengabdi sebagai anak didiknya adalah merupakan anak ketujuh dari anak ketujuh. Bukannya sulit bagi Gregory menemukan murid yang memenuhi kualifikasi ini, hanya saja pertarungannya melawan penyihir jahat, Mother Malkin (Julianne Moore), senantiasa membawa korban. Harapan yang tersisa bagi Gregory sebelum Malkin mencapai kekuatan penuh saat bulan berubah merah adalah putra dari seorang petani, Tom Ward (Ben Barnes). Seperti telah menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi, Gregory malah semakin pusing lantaran Tom tidak lebih dari pemuda desa yang polos dan fokusnya terdistraksi oleh kehadiran perempuan cantik, Alice Deane (Alicia Vikander), sementara tenggat waktu kian mendekat. 

Berulang kali mengalami penundaan jadwal rilis disertai perpindahan distributor telah mengobarkan sinyal negatif bahwa ada sesuatu yang salah dengan Seventh Son. Dan memang, segalanya salah kaprah. Seandainya novel ini diwujudkan ke layar lebar sepuluh tahun silam, hasilnya mungkin akan sedikit lebih baik (atau seburuk-buruknya, setara dengan Eragon). Tapi di saat tren penceritaan dalam young adult fiction telah bergeser jauh, menerjemahkan The Wardstone Chronicles dalam bahasa gambar tidak lagi terdengar seperti ide bagus. Sebagai film yang bermain-main di ranah fantasi, sebetulnya Seventh Son telah memiliki segala formula diperlukan untuk menciptakan keseruan; ksatria penyelamat, penyihir aliran hitam, naga, sampai monster-monster penjaga negeri dongeng – you name it! – tetapi kesemuanya tidak bekerja sama sekali terlebih Sergei Bodrov memberinya tv series treatment yang menempatkan Seventh Son di kelas medioker. 

Alih-alih bercita rasa megah fantastis, menyaksikan Seventh Son tak ubahnya seperti menonton salah satu episode (serial televisi) Merlin di layar lebar. Pembukaan film yang menjanjikan akan adanya petualangan kebaikan melawan kejahatan yang penuh semangat berangsur-angsur melemah seiring bergulirnya durasi menyeret penonton pada kubangan kisah tak menarik yang sangat menjemukan, pameran efek khusus menggelikan, dan deretan pelakon dengan performa menyedihkan seolah-olah tengah beraksi di panggung drama sekolah – sangat yakin Jeff Bridges dan Julianne Moore berharap Seventh Son bisa dihapus dari filmografi mereka... secepatnya. Jika kamu berharap Seventh Son akan menawarkan suguhan menggelegar penuh kesenangan, enyahkan segera ekspektasi itu sebelum mendengus penuh kekecewaan karena apa yang tersaji di layar akan sangat jauh berbeda. Duh!

Poor


No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch