March 31, 2015

REVIEW : WILD TALES


“Shoot this, Néstor.”

Pemberitaan mengenai tepuk tangan sambil berdiri selama sepuluh menit yang bergemuruh di Festival Film Cannes setahun silam untuk film arahan Damian Szifron, Wild Tales, mungkin terdengar berlebih-berlebihan (atau malah aneh, mungkin?)... bagi yang belum menonton filmnya. Tapi jika kamu telah menyaksikan apa yang telah diperbuat oleh Damian Szifron dalam ‘cerita-cerita liar’, maka kehebohan tersebut terasa sangat masuk akal. Tidak saja Wild Tales akan membuatmu terperangah selama sepersekian detik lantas ‘menyihirmu’ untuk berdiri secara sukarela seraya memberi tepukan meriah usai menyimaknya, tetapi juga secara tidak sadar akan membuatmu melontarkan umpatan-umpatan penuh kekaguman (terhitung setidaknya enam kali saya mengucap “watdefak banget!” sepanjang film) atas kinerja brilian dari si pembuat film yang begitu lincah, rapi, pula liar bukan kepalang – seperti halnya tajuk yang dipergunakan oleh film omnibus ini – dalam menuturkan sederet kisah rajutannya. Bisa dibilang, Wild Tales adalah film omnibus terbaik yang pernah saya tonton hingga tulisan ini diturunkan di blog. 

March 28, 2015

REVIEW : AIR & API


“Pantang pulang sebelum padam.” 

Sekitar tujuh tahun silam, mendiang Iqbal Rais melahirkan film penuh banyolan yang tergarap secara dinamis dan menyenangkan berjudul Si Jago Merah ke bioskop di bawah naungan Starvision. Yang membuatnya layak dikenang, keberanian si pembuat film untuk menempatkan profesi pemadam kebakaran di garda terdepan penceritaan. Sesuatu yang boleh dibilang mutakhir untuk ukuran sinema Indonesia yang kurang berani coba-coba. Pertaruhan Iqbal menjajal ide segar ini memperoleh sambutan positif dari para penikmat film kala itu sehingga rencana pembuatan film kelanjutan dari rumah produksi terdengar masuk akal. Ndilalah, proyek yang beberapa kali tarik ulur ini baru bisa diwujudkan satu dekade kemudian dengan formasi pemain yang mengalami banyak perombakan. Dengan mangkatnya Iqbal Rais, Starvision pun memercayakan proyek berjudul Air & Api ini untuk dinahkodai oleh Raymond Handaya yang sebelumnya terlibat dalam Si Jago Merah sebagai asisten sutradara. 

March 23, 2015

REVIEW : INSURGENT


“You can take the girl out of Abnegation, but you can't take the Abnegation out of the girl.” 

Divergent meninggalkan penonton pada kepenasaran tinggi saat konflik yang mulai meruncing diakhiri begitu saja yang memberi ending menggantung selayaknya film-film lain yang sari penceritaan dijumput dari novel young adult berseri. Masih teringat jelas, kala itu ada semangat menyeruak untuk menantikan kemunculan film kelanjutan, Insurgent, hanya sesaat setelah melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop dengan pertanyaan-pertanyaan semacam “apa langkah yang ditempuh oleh Tris dan Four berikutnya?” atau “akan sebesar apa pergolakan antar faksi ini seusai pemberontakan yang dilakoni si tokoh utama?” senantiasa membayangi. Dengan meruncingnya konflik di penghujung film pertama – dan momen perkenalan yang disuntikkan dalam medium pencarian jati diri telah berlalu – maka sudah sewajarnya harapan penonton menggelembung untuk memperoleh hidangan berisi plot rumit mengikat dengan aksi seru yang tak berhenti berdentum terlebih kesemua itu telah dijanjikan oleh trailernya. Tapi lagi-lagi, bukankah kita tidak seharusnya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada materi promosi demi menghindari kekecewaan? 

March 20, 2015

REVIEW : THE SPONGEBOB MOVIE: SPONGE OUT OF WATER


“The Krabby Patty is what ties us all together! Without it, there will be a complete breakdown of social order! A war of all against all! Dark times are ahead! Dark times indeed!” 

Seperti halnya Doraemon, SpongeBob adalah tontonan animasi sejuta umat di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal makhluk laut berbentuk spons kuning yang mendiami sebuah rumah berwujud nanas di sebuah daerah bernama Bikini Bottom? Semenjak mengudara pertama kali di Nickelodeon pada 1999 silam, SpongeBob telah menjadi salah satu fenomena budaya populer yang virusnya menjangkiti secara cepat tanpa pandang bulu ke beragam lapisan usia maupun strata sosial. Popularitasnya inilah yang lantas mendorong Nickelodeon Movies untuk memboyongnya ke layar lebar lewat The SpongeBob SquarePants Movie di tahun 2004. Memperoleh resepsi hangat dari kritikus dan penonton, mudah untuk menduga akan ada kelanjutan petualangan dari penduduk Bikini Bottom... hingga akhirnya baru benar-benar terlaksana 10 tahun kemudian. Geez, why does it take so long to make a sequel? 

March 17, 2015

REVIEW : RUN ALL NIGHT


Liam Neeson is back... again. Membintangi setidaknya empat film dalam kurun waktu 13 bulan terakhir (jika isian suara dan penampilan singkat diabaikan), semoga kamu belum jenuh melihat bapak sayang anak ini berlarian kesana kemari sepanjang hari sepanjang malam seolah memiliki energi berlimpah-limpah guna membersihkan reputasi dengan membalas dendam sekaligus menyelamatkan sang buah hati tercinta. Ya, guliran kisah yang telah begitu familiar hingga melekat sebagai ciri khas Neeson ini kembali dicuplik di film terbarunya, Run All Night, yang menandai kolaborasi ketiga antara si Opa dengan Jaume Collet-Serra setelah dua film berkadar ketegangan cukup tinggi, Unkown dan Non-Stop. Menilik betapa manisnya buah yang dipetik dari hasil kerjasama sebelumnya inilah maka muncul pengharapan pada Neeson dan Collet-Sera untuk sekali lagi keduanya meluncurkan produk laga yang mencengkram erat. Berhasilkah? 

March 13, 2015

REVIEW : CINDERELLA


“Have courage and be kind.” 

Popularitas Cinderella tak perlu lagi dipertanyakan. Everybody knows Cinderella. Who did not grow up with the story with the wicked stepsisters and the glass slipper?... unless you live under a rock, of course. Dibanding rekan-rekannya sesama putri penghuni negeri dongeng, kisah hidupnya yang pilu namun sarat akan keajaiban terbilang paling sering dikulik oleh para sineas perfilman dunia entah dalam wujud penceritaan ulang atau sekadar dimanfaatkan sebagai template untuk membangun guliran kisah anyar. Ya, semenjak profilnya melesat tinggi berkat film animasi klasik buatan Disney, Cinderella, berturut-turut versi lain bermunculan tanpa terkendali bak cendawan di musim penghujan. Dengan tren ‘modern retelling of fairytales’ tengah menghinggapi Hollywood mudah untuk menduga bahwa dongeng warisan dari Charles Perrault ini akan turut terkena imbasnya... dan memang tidak perlu menunggu waktu lama bagi kita untuk melihatnya divisualisasikan ke dalam bahasa gambar berbentuk live-action. Bagusnya, ketimbang neko-neko merombak ulang seluruh komponen penceritaan yang telah begitu familiar, Kenneth Branagh (Hamlet, Thor) malah sebisa mungkin setia pada sumber asli seraya mencoba kembali mengingatkan penonton kenapa Cinderella versi Disney banyak dicintai penonton. 

March 10, 2015

REVIEW : AMERICAN SNIPER


“I was just protecting my guys, they were trying to kill our soldiers and I'm willing to meet my Creator and answer for every shot that I took.” 

Siapapun yang mengira American Sniper akan berisi parade desingan-desingan peluru, ledakan-ledakan bom, maupun suara retakan tubuh seperti yang bisa kamu jumpai di Lone Survivor, tunggu dulu. Adaptasi dari memoir rancangan Chris Kyle berjudul American Sniper: The Autobiography of the Most Lethal Sniper in U.S. Military History ini lebih menekankan pada kegalauan seorang penembak jitu berupa pertentangan batin sekaligus trauma psikologis sebagai hasil dari prestasinya ‘membantai’ sekitar 160 orang di medan perang ketimbang mengumbar adegan peperangan yang hanya sesekali ditampakkan oleh Clint Eastwood di sela-sela kerapuhan Chris Kyle. Ya, American Sniper memang lebih banyak memperoleh sokongan melalui pilar drama daripada aksi walau ini tak lantas menghentikannya untuk menggelontorkan sejumlah momen brutal, mencekam, dan memilukan yang memberi gambaran riil terhadap situasi medan pertempuran yang dipenuhi kekacauan kepada penonton. 

March 8, 2015

REVIEW : LOVE & FAITH


"Saya punya harapan, keyakinan, niat baik, kejujuran dan cinta. Itu yang menjadi modal utama saya." 

Bagi masyarakat kebanyakan, nama Kwee Tjie Hoei tidak berarti apa-apa. Bahkan ketika nama Indonesia dari bersangkutan, Karmaka Surjaudaja, disebut pun belum juga terbersit sedikit gambaran mengenai sosok ini hingga melahirkan pertanyaan klasik, “siapa dia?”. Dengan mayoritas kontribusi dicurahkan pada era peralihan Orde Lama ke Orde Baru di bidang perbankan, terasa wajar saat khalayak ramai masa kini tak banyak mengetahui soal profilnya... kecuali saat dibubuhi embel-embel bahwa beliau adalah salah satu motor dibalik suksesnya bank beraset Rp 100 Triliun, Bank NISP (atau kini dikenal sebagai OCBC NISP). Menilik garis sejarah bahwa Karmaka dibesarkan di lingkungan dengan kondisi finansial serba terbatas, maka pencapaian yang telah ditorehkannya ini boleh dibilang menakjubkan terlebih pendakiannya terus menerus diwarnai oleh hantaman-hantaman keras dari para petinggi korup yang tidak segan-segan meminta imbalan nyawa. 

March 7, 2015

REVIEW : CHAPPIE


“If you are my creator, why you make me could die? Don't you want to see me alive?" 

Tidak ada sesuatu yang betul-betul menyegarkan pada tatanan kisah di garapan terbaru Neil Blomkamp, Chappie. Mendengar guliran premis yang diusung oleh Chappie mengenai robot sensitif dengan emosi dan perasaan selayaknya manusia mau tak mau mengingatkan kita kepada sederet film mengingat tema yang salah satunya dicetuskan oleh Pinocchio ini memang bukan lagi barang baru di sinema dunia karena telah berulang kali mengalami modifikasi. Akan tetapi, berkaca kepada beberapa film sci-fi bagus semacam Blade Runner, Short Circuit, RoboCop, Bicentennial Man, A.I. Artificial Intelligence, maupun Wall-E, mengulik premis usang ini juga bukan suatu kesalahan karena dibawah penanganan yang tepat akan menjelma sebagai gelaran hebat. Dengan jejak rekam menghasilkan film penuh puja puji semacam District 9 – walau sempat agak kehilangan sentuhan magisnya di Elysium yang masih saya sukai – ada kepercayaan tersisa bahwa Blomkamp akan mampu membawa Chappie ke level terhormat dan membuatnya lebih dari ‘film robot biasa’. 

March 5, 2015

REVIEW : LOVE, ROSIE

“There aren't many sure things in life, but one thing I know for sure is that you have to deal with the consequences of your actions. You have to follow through on some things." 

Di semesta film percintaan, persoalan jatuh cinta kepada sahabat sendiri telah tercatat di katalog tema sejak puluhan tahun silam. Kegelisahan yang mendera nyaris senantiasa serupa, berkisar pada pertanyaan, “bisakah laki-laki dan perempuan sekadar bersahabat?”, yang berlanjut pada pengkhianatan terhadap hati kecil dengan mencoba berpura-pura memberikan ruang hati kepada orang lain. Ini telah beralih sebagai salah satu template klasik – kalau tak mau disebut klise – di ranah romansa. Love, Rosie garapan Christian Ditter yang merupakan jelmaan dari novel bertajuk When Rainbow Ends hasil olahan pencetus P.S. I Love You, Cecelia Ahern, pun mengedepankan problematika soal sepasang sahabat yang ditempa dilema saat percikan asmara mulai membayangi persahabatan mereka. Walau berputar di lingkaran serupa, Love, Rosie turut menggandeng permasalahan lebih rumit menyangkut hamil muda yang diharapkan dapat membawa daya hentak kuat pada konflik. Berhasilkah? 
Mobile Edition
By Blogger Touch