March 13, 2015

REVIEW : CINDERELLA


“Have courage and be kind.” 

Popularitas Cinderella tak perlu lagi dipertanyakan. Everybody knows Cinderella. Who did not grow up with the story with the wicked stepsisters and the glass slipper?... unless you live under a rock, of course. Dibanding rekan-rekannya sesama putri penghuni negeri dongeng, kisah hidupnya yang pilu namun sarat akan keajaiban terbilang paling sering dikulik oleh para sineas perfilman dunia entah dalam wujud penceritaan ulang atau sekadar dimanfaatkan sebagai template untuk membangun guliran kisah anyar. Ya, semenjak profilnya melesat tinggi berkat film animasi klasik buatan Disney, Cinderella, berturut-turut versi lain bermunculan tanpa terkendali bak cendawan di musim penghujan. Dengan tren ‘modern retelling of fairytales’ tengah menghinggapi Hollywood mudah untuk menduga bahwa dongeng warisan dari Charles Perrault ini akan turut terkena imbasnya... dan memang tidak perlu menunggu waktu lama bagi kita untuk melihatnya divisualisasikan ke dalam bahasa gambar berbentuk live-action. Bagusnya, ketimbang neko-neko merombak ulang seluruh komponen penceritaan yang telah begitu familiar, Kenneth Branagh (Hamlet, Thor) malah sebisa mungkin setia pada sumber asli seraya mencoba kembali mengingatkan penonton kenapa Cinderella versi Disney banyak dicintai penonton. 

Tidak mudah menjalani hidup sebagai seorang Ella (Lily James). Kebahagiannya terus menerus direnggut secara perlahan dari kehilangan ibunda tercinta, mangkatnya sang ayah, hingga diperlakukan semena-mena selayaknya pembantu oleh ibu tirinya, Lady Tremaine (Cate Blanchett), dan kedua putrinya yang, errr... bodoh. Tanpa memiliki teman yang dapat diajak berbagi derita, Ella melarikan diri sejenak dari kepenatan hidupnya ke hutan dengan menunggangi seekor kuda. Pelariannya ini mempertemukan Ella dengan Prince Charming yang memperkenalkan dirinya sebagai Kit (Richard Madden). Terpesona oleh kecantikan, keberanian, dan kesopanan Ella – disebutnya sebagai “gadis desa yang jujur” – Kit pun menitahkan pasukan kerajaan untuk mengundang seluruh perempuan dari beragam lapisan sosial guna menghadiri Pesta Dansa dengan harapan bertemu kembali dengan Ella. Kabar membahagiakan ini menyebar secara cepat ke seluruh penjuru, termasuk ke telinga Lady Tremaine yang berencana memanfaatkan pesta tersebut untuk berburu menantu kaya bagi kedua putrinya yang tidak bisa diharapkan. And you already know the rest of the story, rite? 

Coba tanyakan pada dirimu sendiri, kapan terakhir dibuat terperangah – atau setidaknya merasakan sensasi magis – oleh sebuah film yang guliran penceritaannya didasarkan pada dongeng klasik? Well, jika diperkenankan memilih film animasi, maka jawabannya mudah saja... Frozen. Tapi memperbincangkan live-action, membutuhkan waktu cukup lama untuk memikirkannya hingga ingatan terhenti ke delapan tahun silam pada Enchanted. Dekonstruksi Disney terhadap sederet film keluarga klasik memang semakin lama terasa dipaksakan hingga membuat kepercayaan pada mereka sedikit meluntur, namun ini tidak berlaku pada Cinderella yang secara sukses meyakinkanku bahwa Disney belum sepenuhnya kehilangan sentuhan magisnya. Karena ya, tidak peduli seberapa sering mendengar dongeng ini dikumandangkan, Cinderella versi Kenneth Branagh masih ampuh menjeratku dengan segala pesona yang dimilikinya. Menghidupkan kembali sisi anak kecil dari setiap penonton dewasa yang berjingkrak-jingkrak penuh kegembiraan dalam duduk antengnya lantaran segenap imajinasi pada dunia dongeng yang didiami oleh sang putri dan pangeran impiannya dihamparkan dengan visualisasi yang sangat charming, luar biasa cantik, dan melenakan mata oleh Branagh hingga membuat kita berkata, “it’s pure magic!”

Mungkin ini terlalu dini untuk mencetuskan prediksi (atau semacamnya), namun jelas sangat keterlaluan apabila Oscars tidak bersedia memberikan setidaknya nominasi bagi Cinderella untuk kategori desain produksi, efek khusus, dan kostum. Ketiga departemen ini memberi polesan sempurna pada film yang membuktikan bahwa kemajuan teknologi memang seharusnya dirayakan. Lihatlah bagaimana kinerja tim-tim ini memberi gambaran menakjubkan pada keajaiban negeri dongeng; dari lanskap kerajaan yang membuai, transformasi labu beserta hewan-hewan mungil menjadi kereta kencana bersepuh emas dan pengawal Cinderella (begitu pula sebaliknya dalam sebuah adegan yang membuat jantungmu berpacu keras!), detil-detil ornamen yang menghiasi rumah Ella, alun-alun maupun istana, hingga paling penting... kostum dan sepatu kaca. It’s time for agree to disagree – atau mungkin menyebutku kelewat hiperbolis – tapi adegan pesta dansa akan membuat matamu terbelalak berkat parade busana-busana pesta mengagumkan utamanya gaun biru berkilau Cinderella yang aduhai cantiknya tiada tara. 

Tentu saja segala keindahan dan kemewahan ini akan berasa hampa tanpa dukungan memadai dari sektor lakon maupun naratif. Lily James adalah pilihan bijaksana untuk membawakan peran sebagai Cinderella. Paras eloknya yang sedikit banyak mengingatkan pada Kate Winslet muda berbanding lurus dengan kemampuan berlakonnya yang yah, simply stunning. Karakter Ella yang sekali ini sedikit lebih kompleks dibanding biasanya dihantarkannya secara menawan sehingga mudah bagi penonton untuk terpikat kepada sosoknya. Chemistry-nya bersama Richard Madden pun terajut indah pula meyakinkan yang membuat kita gemas penuh ketidaksabaran untuk melihat keduanya dipersatukan di pelaminan. Tapi jika dipaksa memilih jawaranya, hati ini tertambat pada performa luar biasa dari Cate Blanchett dan Helena Bonham Carter (berperan sebagai The Fairy Godmother). Meski hanya disediakan slot tampil terbatas, Helena Bonham Carter sanggup mencuri perhatian sedemikian rupa dengan peran komikalnya yang membawa keceriaan di tengah-tengah duka namun tetap memancarkan aura keibuan cukup kuat. Sedangkan Cate Blanchett... ah, dia menunjukkan betapa piala Oscars memang layak digenggamnya. Dibalik segala keanggunan yang menyertai Lady Tremaine, tersimpan keangkuhan, kebengisan, dan (ini yang tak tampak di versi lain) kerapuhan. Blanchett seolah tidak perlu berusaha keras untuk terlihat dingin mengintimidasi di satu momen, namun tak berdaya membutuhkan belas kasih pada momen lain. 

Dan, Chris Weitz yang mengemban tugas meracik ulang dongeng ini mempertemukan elemen klasik dan modern secara sempurna tanpa harus bertindak kurang ajar dengan mengacak-acak komponen penceritaan asli (seperti yang dilakukan oleh, errr... Maleficent, misalnya). Sentuhan anyar yang dibubuhkan seperlunya saja disana sini malah cenderung memperkuat penceritaan saat cinta yang tumbuh diantara Cinderella dan Prince Charming berasa lebih manis karena mengulik soal unconditional love yang menyentil juga mengenai pernikahan para pangeran atas dasar keterpaksaan... atau katakanlah, politik dan beberapa karakter utama memperoleh penggalian lebih mendalam khususnya sosok Cinderella yang sekali ini tidak lagi digambarkan sebagai one-dimensional character yang lemahnya tidak ketulungan melainkan lebih berwarna (dan kuat, tentunya) lantaran juga memiliki kecerdasan serta keberanian diatas tingkah lakunya yang santun menuruti amanat dari sang ibunda – sekaligus menjadi pesan moral utama dari film – “have courage and be kind.” Berkat kecermatan Weitz dalam meramu naskah yang lantas berpadu hebat bersama pengarahan kuat Branagh, kejelian departemen teknis, serta kegemilangan para pelakon inilah yang menempatkan Cinderella di kasta terhormat diantara adaptasi film klasik lain dari Disney (maupun studio-studio lain). Setidaknya, Cinderella masih mempunyai satu resep penting yang tidak boleh tertinggal dan menjadi alasan utama mengapa versi animasi milik Disney bisa menyandang status klasik, unsur magis. Inilah yang akan membuatmu berkata, “yak, harus nonton lagi!”, hanya sesaat setelah lampu bioskop dinyalakan. 

Note : Jangan terlambat memasuki gedung bioskop karena sebelum menu utama disajikan, kamu akan memperoleh hidangan pembuka yang imut menggemaskan melalui Frozen Fever.

Outstanding

7 comments:

  1. aku belom nonton filmnya, tapi setuju banget sama gaun birunya cinderella. aku udah naksir sejak filmnya belom rilis malah :D
    posternya aja udah magis

    ReplyDelete
  2. Ha, diriku sudah menduganya. Para cewek bakalan klepek-klepek liat gaun baru itu. Lha wong cowok aja banyak yang kesengsem. Hahaha.

    ReplyDelete
  3. nice review bang tariz, semua yg ingin kukatakan dlm 1 artikel hehee

    seriously ga bisa brenti mikirin Cinderella setelah nonton, teringat pd magical-nya segala sesuatu yg ada di pilem ini..
    bagian favoritku mungkin pd skrip-nya krn meski tdk ada twist, tp ada penambahan latar belakang pd karakter Ella, Prince Kit (hey he's got a name this time lol) dan Lady Treimane shg kita bisa paham dgn tindakan yg mreka lakukan, esp knp Ella bs sesabar itu ngadepin ibu dan sodari tirinya.. dan first meeting Ella&Kit bkin kita percaya mrk jatuh cinta krn kepribadian mrk, bkan krn fisik whatsoever XD

    fyi tau ga kalao trio Kenneth, Lily dan Richard bakal reuni lg dlm lakon teater Romeo&Juliet ? ughh i'm a new fans of their chemistry, mudah2an nanti ada yg mau ngupload ke youtube :D

    satu lg, selain first meeting Ella&Kit, scene favoritku itu Ball Dance mereka, gawddd itu pure magic bgt

    ahhh jd senyum2 sendiri hihii maaf bgt komennya panjang gini bang, malah numpang ikutan mini repiu disini XD

    ReplyDelete
  4. Toldja! Setuju banget dengan mini reviewmu - dan hey, nggak apa-apa kali berkomen panjang lebar di sini. Seneng bisa tahu pendapat pengunjung blog soal film2 yang aku ulas.

    Ada sesuatu yang magis dari film ini sehingga usai nonton kamu nggak bisa berhenti memikirkannya bahkan tergoda untuk menonton lagi, kan? Terkadang kesederhanaan bercerita adalah kuncinya. Daripada menciptakan plot baru yang niatnya nge-twist, Cinderella ini malah justru memberi kedalaman karakter dan sedikit ngerubah plotnya jadi segalanya terasa lebih make sense (tetep dalam koridor dongeng, tentunya). Dan skrip yang bagus ini bikin sisi magisnya lebih terasa kuat. Adegan Pesta Dansa itu emang, man... keren banget.

    ReplyDelete
  5. untung banget baca review ini dulu sebelum nonton, awalnya agak ragu ngirain bakal jadi cerita cinderella biasa eh ternyata keren banget... indah! suka liat cinderella yg nggak lemah kayak biasanya. top deh!

    ReplyDelete
  6. review yang menarik bang :D

    ball dance emang super keren banget tuh scenenya, chem richard-lily bener2 dapet banget di situ. cuma sayang wedding scenenya cuma segitu aja, dikit banget jadi ga puas lol ;D. dan mupeng abis sama gaun biru n wedding dressnya si Cendrillon aka Cinderella, cantiiiikkk <3

    satu lagi, tante helena walo munculnya cuma dikit tapi berkesan banget aktingnya buatku. abis nonton nih film jadinya pengen nonton lagi, hehehe

    ReplyDelete
  7. Wah, terima kasih banyak, kawan-kawan. Jadi tersipu-sipu malu nih. Hahaha.

    Bener, Helena Bonham Carter emang scene stealer film ini. Peran fairy godmother yang biasanya lempeng bisa disulapnya menjadi menarik; memiliki perpaduan lucu unik sesuai ciri khasnya dan hangat.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch