March 23, 2015

REVIEW : INSURGENT


“You can take the girl out of Abnegation, but you can't take the Abnegation out of the girl.” 

Divergent meninggalkan penonton pada kepenasaran tinggi saat konflik yang mulai meruncing diakhiri begitu saja yang memberi ending menggantung selayaknya film-film lain yang sari penceritaan dijumput dari novel young adult berseri. Masih teringat jelas, kala itu ada semangat menyeruak untuk menantikan kemunculan film kelanjutan, Insurgent, hanya sesaat setelah melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop dengan pertanyaan-pertanyaan semacam “apa langkah yang ditempuh oleh Tris dan Four berikutnya?” atau “akan sebesar apa pergolakan antar faksi ini seusai pemberontakan yang dilakoni si tokoh utama?” senantiasa membayangi. Dengan meruncingnya konflik di penghujung film pertama – dan momen perkenalan yang disuntikkan dalam medium pencarian jati diri telah berlalu – maka sudah sewajarnya harapan penonton menggelembung untuk memperoleh hidangan berisi plot rumit mengikat dengan aksi seru yang tak berhenti berdentum terlebih kesemua itu telah dijanjikan oleh trailernya. Tapi lagi-lagi, bukankah kita tidak seharusnya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada materi promosi demi menghindari kekecewaan? 

Berselang tiga hari setelah kekacauan besar di sarang Dauntless, Tris (Shailene Woodley), Four (Theo James), Caleb (Ansel Elgort), Peter (Miles Teller), dan Marcus (Ray Stevenson), menumpang sejenak ke markas Amity guna menghindari kejaran pasukan-pasukan kiriman Jeanine (Kate Winslet) yang membabi buta melacak keberadaan Tris setelah diketahui bahwa ada kemungkinan Tris memiliki kemampuan istimewa dibanding Divergent lain untuk membuka sebuah kotak misterius – semacam pandora box – yang menyimpan pesan dari leluhur. Tentu, Tris tidak menyerahkan diri begitu saja sekalipun beberapa aliansinya melakukan pengkhianatan untuk kepentingan pribadi masing-masing. Demi merebut tampuk kekuasaan dari Jeanine sekaligus melindungi Tris yang posisinya semakin sulit, Four pun mendekati Factionless – kumpulan orang tanpa faksi – untuk meminta bantuan meski ini berarti mengungkit kembali masa lalunya yang kelam berkaitan dengan pemimpin Factionless yang oportunis, Evelyn (Naomi Watts). 

Menapaki babak kedua dari trilogi distopia rekaan Veronica Roth, skala problematika yang menaungi Chicago masa depan memang semakin membesar dan penuh lika liku. Hanya saja, ini tidak menimbulkan efek apapun terhadap laju film yang seperti halnya jilid pertama mengalun begitu perlahan cenderung menguji kesabaran. Apabila Divergent masih memberikan semangat lantaran penonton (khususnya awam yang tidak pernah menyentuh versi novelnya) diberikan introduksi mengasyikkan soal dunia baru di masa depan yang dikotak-kotakkan dalam faksi sesuai karakter, maka Insurgent bagaikan kendaraan yang mulai kehabisan bakar bakar. Berjalan tertatih-tatih. Guliran soal upaya Tris dan Four melarikan diri dari kejaran Jeanine dengan berpindah-pindah ke markas berbagai faksi yang menyelimuti sebagian besar paruh awal dikemas oleh Robert Schwentke (RED, R.I.P.D.) secara tidak menarik, penuh repetisi, dan berasa menjemukan terlebih tanpa dibekali banyak tensi yang membuatmu mencengkram erat kursi bioskop. 

Tak seperti saga sebelah (maaf, terpaksa harus membandingkannya dengan The Hunger Games), persoalan besar yang seharusnya menjadi daya tarik utama pada penceritaan dalam Insurgent – entah itu berwujud serangan balasan dari kubu villain, mencuatnya ketegangan dalam faksi, atau sisi psikologis Tris yang terguncang – hanya melewati proses pengupasan di permukaannya saja tanpa pernah benar-benar digali lebih mendalam oleh si pembuat film sampai-sampai kubangan konflik yang dituturkan secara bertele-tele ini gagal mengikat hati dan hanya membuatmu menguap hebat. Alih-alih memunculkan ikatan afeksi kuat antara penonton dengan jalinan pengisahan yang seharusnya memunculkan keinginan untuk mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya, kita hanya ingin tuturan berbalut dialog-dialog menggelikan yang serasa kebingungan menentukan arah ini cepat diselesaikan dan dapat bergerak ke babak berikutnya sebelum benar-benar dibuat tertidur pulas di pertengahan film. 

Dan jika kau rela untuk bersabar, semenjak Kate Winslet menampakkan diri di layar yang mengungkap motifnya memburu Tris, film mulai menunjukkan pergerakan yang menarik untuk diamati. Perlahan tapi pasti ketegangan merangkak naik dengan bermunculannya rentetan adegan laga seru nan mendebarkan yang secara otomatis melunturkan seluruh kebosanan yang menghiasi babak awal. Tanda-tanda kehidupan dalam Insurgent mulai terlihat. Keseruan di Divergent yang hanya berkisar pada faksi Dauntless sekali ini diperluas jangkauannya walau arena pemacu adrenalin masih berlangsung di alam bawah sadar Tris akibat dari proses simulasi. Setidaknya, kita melihat Tris melewati rintangan penuh bahaya dalam durasi yang lebih panjang, divisualisasikan dalam efek khusus yang cukup memanjakan mata, dan merasakan gejolak-gejolak setelah puluhan menit lamanya menyimak air keruh yang tenang. Dengan kesemua ini, mimpi buruk yang dihadapi penonton dapat terlupakan. 

Ditinjau dari sisi naratif, Insurgent memang tampak kewalahan nyaris tak berdaya dan membuatnya tidak lebih dari sekadar epigon lainnya dari The Hunger Games. Puji syukur, film masih dikaruniai performa menawan dari jajaran pemain beranggotakan bintang-bintang papan atas – khususnya Shailene Woodley yang berlakon prima dalam menerjemahkan gundah gulana yang dihadapi oleh Tris dibalik sosoknya yang terlihat tangguh pula mematikan hanya lewat pancaran mata serta duo pemain senior Kate Winslet-Naomi Watts yang badass – dan gelaran teknis berupa efek khusus keren maupun tangkapan kamera dengan pergerakan dinamis yang rancangannya mengalami peningkatan signifikan ketimbang sang predesesor sehingga Insurgent masih bisa diselamatkan dari terperosok jatuh ke jurang keterpurukan sekaligus membangkitkan kembali keinginan untuk menantikan kelanjutan dari The Divergent Series meski tak bisa dinafikan kali ini gairahnya sudah agak menurun.

Acceptable

2 comments:

  1. Kalau film Insurgent kayak kehilangan arah, karena memang cerita dalam bukunya sendiri juga githu. Malah menurutku (dan bbrp pembaca) bilang versi film masih lebih baik dari pada buku.

    Penulis bukunya sendiri seperti kurang paham setting dystopia yang dia tulis, karena dalam wawancaranya dia pernah bilang salah satu inspirasi Divergent karena adegan topi seleksi di Harry Potter dan juga dia mau ada pesan moral bahwa seseorang hrs mampu mengambil sendiri keputusannya tanpa dipengaruhi faktor lingkungan #tepokjidat

    Beda sama The Hunger Games yang, pengarangnya membangun ide dystopia bahwa THG itu sebagai bentuk cara pemerintah mengendalikan rakyatnya supaya tidak memberontak melalui Hunger Games. Jadi idenya, "kalian rakyat tidak boleh macam-macam, karena kami menyandera anak kalian."

    Maaf kalau pangjang.

    ReplyDelete
  2. Wah, saya justru terima kasih banyak buat komentar panjangnya! :)

    Sangat membantu dan cukup informatif terutama bagi para penonton yang tidak membaca versi novelnya (sekaligus kurang mengenal latar belakang pembuatan novel young adult laris ini).

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch