May 16, 2015

REVIEW : LDR


“Tapi bukannya cinta Apollo itu bertepuk sebelah tangan? Obsesi dong namanya. Mana ada cinta abadi yang satu arah?” 

Dengan iklim jumlah penonton untuk film Indonesia mengalami pasang surut, para produser dituntut jitu dalam mengatur strategi. Mengedepankan idealisme jelas pilihan riskan apabila golnya adalah mendulang keuntungan. Bukan perkara mengherankan jika lantas kebanyakan rumah produksi memilih bermain aman di ranah horor atau romansa yang memang digemari. Tak cukup bergantung pada genre semata, mereka turut merekrut selebriti yang tengah naik daun sebagai pengisi departemen akting garda depan sekaligus menggelar lokasi pengambilan gambar di luar negeri. Setidaknya itulah yang dilakukan oleh Maxima Pictures di beberapa film terbarunya, tak terkecuali LDR. Dijual sebagai film percintaan remaja berembel-embel “inilah pertama kalinya film nasional bersetting di pegunungan bersalju”, LDR jelas mengandalkan pesona panorama Italia dan popularitas Al Ghazali beserta Verrell Bramasta sebagai daya tarik. Harapan Maxima kepada LDR sebenarnya sederhana saja: bisa mencicipi laris manis selayaknya Runaway yang juga mengedepankan Al Ghazali, keindahan lanskap negeri orang, dan disutradarai Guntur Soeharjanto. 

Menjadi tokoh utama dari LDR adalah seorang perempuan bernama Carrie (Mentari De Marelle) yang digambarkan konyol, ceroboh, namun tangguh, yang tengah berlibur ke Italia untuk menapaki jejak-jejak kebesaran cerita Romeo & Juliet. Hanya beberapa saat setelah menginjakkan kaki di negeri Pizza, kemalangan menimpanya. Terkatung-katung tanpa kejelasan, nasib mempertemukannya dengan Demas (Verrell Bramasta) yang berniat bunuh diri lantaran sang kekasih, Alexa (Aurellie Moremans), mencampakkannya setelah enam tahun menjalani long distance relationship. Memiliki karakteristik bertolak belakang, bisa ditebak perkenalan keduanya tidak berjalan mulus. Cekcok mewarnai hubungan mereka di menit-menit awal yang berangsur-angsur menghangat setelah Carrie bersedia menawarkan bantuan agar Demas bersatu kembali dengan sang pujaan hati. Selesai? Tentu saja tidak. LDR mencoba memperumit konflik melalui hadirnya novelis misterius yang angkuh, Paul (Al Ghazali), dan keinginan Carrie untuk menjalin kasih dengan Demas. 

Hanya berpatokan pada sinopsis ini, kentara terasa LDR tak lebih dari balada percintaan klasik yang problematikanya telah dikupas tak terhitung jumlahnya oleh sederetan film sejenis. Si cewek bernasib sial, lalu diselamatkan oleh si cowok, ada ribut-ribut kecil karena perbedaan sifat tapi semuanya diselesaikan secara mudah oleh satu kata: cinta. Sangat familiar, bukan? Persoalan yang dibentangkan oleh Cassandra Massardi, penanggung jawab sektor naskah, kurang lebih serupa dengan Runaway yang juga dilahirkan oleh rumah produksi sama. Hanya saja ada modifikasi kecil-kecilan yang dilakukan pada latar belakang tokoh utama beserta setting untuk memunculkan garis pembeda. Walau naskahnya teramat standar, tergolong klise dan tidak jarang konyol (contoh paling jelas; maskapai penerbangan rute internasional dipaksa delay satu jam demi menunggu seorang penumpang dari kelas ekonomi. You must be joking, rite?), namun masih cukup enak buat dinikmati sekaligus meninggalkan efek ‘oh, so sweet’ terlebih bagi penonton belia usia belasan. 

Kunci kenikmatan terletak pada kenyalnya adonan berisi humor-humor ringan khas anak muda, pemanfaatan tepat guna berbagai sudut Italia dalam menunjang kisah yang digelindingkan, beserta (tanpa dinyana-nyana!) performa lepas tanpa beban dari Mentari De Marelle yang menginjeksikan nyawa pada film. Saat ketiganya dikombinasikan, maka yang tersaji adalah produk hiburan untuk anak muda yang menyenangkan... paling tidak ini berlangsung di babak pertama hingga peralihan menuju babak ketiga. Tapi saat disusupkan sedikit twist yang mendesak tone film berubah sepenuhnya, cecapan rasa gurih yang semula masih terasa mendadak lenyap. Ada kesan dipaksakan seolah-olah belum sah jika tidak ada tumpahan air mata, sementara trio penopang pilar drama – Al Ghazali, Verrell Bramasta, Aurellie Moeremans – menginterpretasikan adegan yang dibebankan nyaris tanpa emosi khususnya para lelaki yang, errr... datar nyaris sepanjang waktu dalam intonasi maupun air muka. Jika sudah begini, bagaimana mungkin bisa termehek-mehek? Cenderung mustahil, kecuali kamu memang penggemar berat dua putra selebriti ini. Ah, seandainya saja LDR bertahan di ranah komedi romantis dan tidak dialihkan ke melodrama hasilnya mungkin lebih baik.

Acceptable



2 comments:

  1. mungkin sutradara mau berkiblat ke film-film korea kali ya bro, komedi romantis tapi bisa buat penonton termehek-mehek. Entahlah, cuma dalam satu sisi saya juga suka karyanya guntur yg bertema religi seperti 99 cahaya langit di eropa n assalammu'alaikum beijing

    ReplyDelete
  2. Yup, kentara terasa ada pengaruh film Korea disini yang coba dibawa ke melodrama di penghujung durasi. Sebetulnya sih LDR ini bisa di level yang sama dengan 99 Cahaya dan Beijing andai saja dikaruniai akting pemain yang kuat karena itulah poin lebih dari dua film tersebut.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch