June 30, 2015

REVIEW : TERMINATOR GENISYS


“I'm not a man, not a machine... I'm more!”

Setelah Terminator Salvation babak belur dihajar oleh kritikus dan penonton film, upaya untuk tetap menghidupkan franchise Terminator terus dilakukan meski diterjang berbagai problematika di belakang layar (salah satunya, kasus perpindahan hak cipta). Alasannya sederhana: masih ada potensi besar yang terkandung dalam franchise berusia tiga dasawarsa ini untuk mengeruk keuntungan. Jadi, mengapa tidak dilanjutkan? Dengan respon jauh dari kesan hangat di instalmen sebelumnya, maka seri terbaru bertajuk Terminator Genisys ini mencoba mengawali segalanya dari baru – si pembuat film menyebutnya sebagai peremajaan alih-alih sekadar reboot – yang mengacak-acak sedemikian rupa linimasa yang berlaku di jilid-jilid pendahulu sekaligus menggandeng kembali sang ikon dari franchise ini, Arnold Schwarzenegger, untuk berlakon di garda terdepan. Hasilnya? Walau tidak pada tataran kesuksesan X-Men: Days of Future Past yang menjabani hal serupa atau bahkan berdiri tegak di deretan seri terbaik dari franchise ini, setidaknya Genisys masih lebih baik ketimbang Salvation

June 20, 2015

REVIEW : POLTERGEIST


“They’re here.” 

Sekalipun cukup sering didaulat sebagai salah satu film memedi terbaik, sejatinya Poltergeist versi Tobe Hooper yang rilis 33 tahun silam bukanlah sajian yang menyeramkan... well, setidaknya bagi saya. Ketimbang membuat diri ini bergidik ngeri, meringkuk tak berdaya di kursi, atau bahkan memekik takut yang merupakan efek wajar dari menonton film di lajur horor, Poltergeist sekadar memberi sensasi tegang atas serunya jalinan penceritaan selayaknya film fantasi untuk keluarga. Tidak pernah lebih dari itu. Jika ada yang lantas membuat Poltergeist tampak mengerikan, itu berkat cerita menggemparkan di balik layar mengenai kutukan yang menimpa pemain dan kru. Maka saat ide pembuatan ulang dicetuskan dengan Sam Raimi menduduki kursi produser (menyenggol Steven Spielberg), dahi ini pun mengernyit. Apa yang akan dibubuhkan pada versi anyar untuk membuatnya tampil menggigit mengingat Poltergeist jelas telah kehilangan kadar keseramannya apabila ditonton bertahun-tahun setelah rilis? Itulah tugas besar yang menanti sang sutradara, Gil Kenan (Monster House). 

June 18, 2015

REVIEW : MINIONS


“Doesn't it feel so good to be bad?” 

Kamu boleh setuju atau tidak, tapi bagi saya, makhluk kuning mungil bernama minions yang menjadi kaki tangan Gru di dwilogi Despicable Me adalah salah satu karakter paling menggemaskan di sejarah film animasi. Berkat tingkah polah konyol yang senantiasa mengundang tawa berkepanjangan – khususnya bagi penonton cilik – minions pun menjadi scene stealer, bahkan kepopulerannya semakin berkembang yang mengilhami lahirnya figure, game, maupun film pendek. Dengan para penguin bengal dari kawanan hewan Madagascar telah memiliki filmnya sendiri, maka tinggal menunggu saatnya bagi pasukan minions ini mengikuti jejak mereka... dan Universal Studios tidak membuang-buang waktu untuk ini! Selagi mempersiapkan jilid ketiga untuk Gru, Pierre Coffin ditemani Kyle Balda mencetuskan sebuah spin-off (sekaligus prekuel) yang secara khusus menempatkan makhluk unyu-unyu ini di garda terdepan. Ya, para minion ini diizinkan memiliki petualangannya sendiri tentunya dengan lebih banyak kegilaan yang bisa jadi akan membuat para penggemar beratnya bersorak-sorai kegirangan. Tapi benarkah demikian? 

June 11, 2015

REVIEW : JURASSIC WORLD


“Monster is a relative term. To a canary, a cat is a monster. We're just used to being the cat.” 

Apakah kamu masih ingat bagaimana perasaan yang muncul saat menyaksikan Jurassic Park garapan Steven Spielberg untuk pertama kalinya? Apabila sajian ini kamu tonton di era 1990’an – tak peduli melalui medium bioskop atau televisi – hampir bisa dipastikan terperangah dengan ‘rahang terjatuh ke lantai’ adalah pendeskripsian paling tepat. Sulit untuk menampik, efek khusus yang dipergunakan dalam memvisualisasikan dinosaurus pada Jurassic Park terbilang luar biasa (tentu, menurut ukuran kala itu). Spielberg mampu membuat kita berdecak kagum, selain meneteskan keringat dingin lantaran injeksi serum ketegangan pada film yang tidak main-main, yang menjadikan film tersebut sebagai salah satu blockbuster movie terbaik yang pernah dibuat oleh Hollywood. Lalu, mengharapkan kesuksesan serupa dengan suntikan dana lebih tinggi, Universal Pictures luncurkan The Lost World dan Jurassic Park III yang, well, tak sehebat sang pionir. Mengendurnya kualitas jilid ketiga seketika mematikan franchise laris ini (atau setidaknya itu yang kita kira) hingga diputuskan untuk dihidupkan kembali 14 tahun kemudian dengan upgrade sana sini berwujud Jurassic World

June 7, 2015

REVIEW : INSIDIOUS: CHAPTER 3


“If you call out to one of the dead, all of them can hear you.” 

Mengajak penonton mengarungi dunia astral untuk pertama kalinya pada empat tahun silam melalui Insidious, James Wan mampu menciptakan sebuah sensasi perjalanan menyeramkan yang meninggalkan kesan menghantui pada setiap penonton sampai berhari-hari sesudahnya. Bahkan, saat melangkahkan kaki ke luar gedung bioskop, tubuh ini masih bergetar hebat karena dibuat ketakutan. Memberi dampak rasa takut yang sedemikian kuat itu, maka jelas ada ekspektasi yang cukup tinggi terhadap film kelanjutan untuk Insidious. Kepenasaran dipicu satu pertanyaan: apa lagi trik yang hendak ditawarkan oleh Wan untuk membuat penonton meringkuk di kursi bioskop? Walau tak memberi mimpi buruk sempurna sesuai pengharapan yakni melampaui (atau minimal, memberi efek serupa) sang predesesor, Insidious: Chapter 2 tetap berhasil menghantarkan sajian yang memunculkan rasa berdebar-debar di sejumlah titik. Dengan adanya penurunan di seri kedua sementara Insidious masih diniatkan untuk berlanjut, benih-benih kekhawatiran mulai menampakkan wujudnya. Terlebih, Wan tidak lagi mengurusi penyutradaraan maupun penulisan skrip demi Furious 7
Mobile Edition
By Blogger Touch