June 20, 2015

REVIEW : POLTERGEIST


“They’re here.” 

Sekalipun cukup sering didaulat sebagai salah satu film memedi terbaik, sejatinya Poltergeist versi Tobe Hooper yang rilis 33 tahun silam bukanlah sajian yang menyeramkan... well, setidaknya bagi saya. Ketimbang membuat diri ini bergidik ngeri, meringkuk tak berdaya di kursi, atau bahkan memekik takut yang merupakan efek wajar dari menonton film di lajur horor, Poltergeist sekadar memberi sensasi tegang atas serunya jalinan penceritaan selayaknya film fantasi untuk keluarga. Tidak pernah lebih dari itu. Jika ada yang lantas membuat Poltergeist tampak mengerikan, itu berkat cerita menggemparkan di balik layar mengenai kutukan yang menimpa pemain dan kru. Maka saat ide pembuatan ulang dicetuskan dengan Sam Raimi menduduki kursi produser (menyenggol Steven Spielberg), dahi ini pun mengernyit. Apa yang akan dibubuhkan pada versi anyar untuk membuatnya tampil menggigit mengingat Poltergeist jelas telah kehilangan kadar keseramannya apabila ditonton bertahun-tahun setelah rilis? Itulah tugas besar yang menanti sang sutradara, Gil Kenan (Monster House). 

Tidak ada perubahan signifikan dari sisi pengisahan – malah bisa dibilang serupa dengan versi asli – masih berkisar tentang roh jahat yang mengganggu ketentraman hidup sebuah keluarga di rumah baru. Usai kehilangan pekerjaan, Eric Bowen (Sam Rockwell) memboyong istri, Amy (Rosemarie DeWitt), dan ketiga anaknya ke pinggiran kota untuk menempati hunian baru yang didapat dengan harga terjangkau. Hanya sesaat setelah mereka mendiami rumah tersebut, beragam kejanggalan mulai menampakkan diri terutama paling dirasakan oleh Griffin (Kyle Catlett) yang seringkali melaporkan adanya ketidakberesan kepada kedua orang tuanya. Awalnya menganggap keluhan Griffin tidak lebih dari sekadar ocehan manja, Eric dan Amy lantas dikejutkan fakta dari bisak-bisik tetangga bahwa rumah mereka dibangun di atas lahan kuburan. Gangguan demi gangguan yang menimpa keluarga Bowen ini mencapai puncaknya saat si anak bungsu, Madison (Kennedi Clements), terseret masuk ke dunia arwah. 

Tanpa ada perombakan berarti, Poltergeist milik Kenan ini memiliki bahasa gambar begitu serupa dengan sang pendahulu. Kesetiaan ini akan membuat sebagian orang menyebutnya malas terlebih inovasi pun minim diberikan – selain penyesuaian teknologi mengikuti zaman, seperti penggunaan drones, ponsel cerdas, dan penggantian televisi tabung ke layar datar – sementara sebagian lain menjulukinya sebagai penghormatan terhadap versi asli. Dimanapun keberpihakanmu, satu hal pasti: seperti halnya kepunyaan Hooper, Poltergeist gubahan Kenan ini pun sulit untuk dikatakan sebagai tontonan menakutkan. Tidak peduli seberapa banyak jump scares dengan skoring nyaring khas film horor murahan yang telah disisipkan, Poltergeist masih kesulitan untuk membuat saya terlonjak tampan. Boneka-boneka dan badut di kamar Griffin memang memiliki tampilan creepy, tapi itu adalah satu-satunya komponen dalam film yang memberikan sensasi merinding. Selebihnya, Kenan lebih suka memacu adrenalin penonton melalui gelaran aksi yang menghadapkan kita pada perasaan berdebar-debar. 

Apakah ini sesuatu yang buruk? Tidak juga. Walau kadar teror dari atmosfir tak mengenakkan semakin berkurang disini menyusul keputusan Kenan membawa mood film ke arah lebih light, Poltergeist tetap dapat terhidang sebagai tontonan hiburan yang mengasyikkan. Setidaknya, Kenan berhasil membawa kita melewati fase menghela nafas panjang, harap-harap cemas, seraya berteriak gregetan kepada satu dua karakter, “jangan kesana! Jangan kesana!” dengan sesekali diselingi humor-humor renyah pengundang tawa. Beruntungnya, Poltergeist pun diberkahi barisan pemain dengan performa mumpuni, termasuk para pemain pendukung, yang sanggup meniupkan chemistry meyakinkan sebagai satu keluarga. Harus diakui, inilah energi utama kepada film. Karakter yang sangat mudah didukung – sulit untuk membenci keluarga Bowen dan para ‘pengusir hantu’ – membuat penonton sedikit banyak merasa terlibat ke dalam penceritaan sehingga meski terornya tidak menyeramkan dan polesan efek khususnya sedikit menggelikan, tetap ada alasan untuk menikmati Poltergeist. Lagipula, laju pengisahannya juga tidak pernah membosankan... and it’s a good thing.

Acceptable


4 comments:

  1. buat saya, film ini lebih membosankan daripada insidious 3
    tidak seram sama sekali, cenderung 'bodoh' malah

    ReplyDelete
  2. Cuma keren 3D aja :D
    Lebih cocok di sebut film fantasi anak2

    ReplyDelete
  3. Film ini memang sulit untuk dikatakan sebagai tontonan yang menakutkan, bahkan saya sendiri sulit untuk menahan mata dari kantuk saat menontonnya. Entahlah apa yang membuat saya sukses terkantuk-kantuk pas nonton di bioskop, tapi yang pasti sejak beberapa adegan "kurang greget" terus-menerus menerjang penonton, walah walah... pikiran udah ga bisa diajak konsentrasi lagi. Maaf, bagi saya film ini ga serem sama sekali.

    ReplyDelete
  4. sayang banget filmnya malah jadi produk gagal, ga lebih baik daripada pendahulunya.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch