July 16, 2015

REVIEW : MENCARI HILAL


“Memang bapak paling tahu soal agama, tapi tidak tahu bagaimana cara menjadi ayah yang baik!” 

Apabila saat diminta untuk mendeskripsikan suatu film hanya mempergunakan satu kata, maka tiada kata yang lebih tepat dalam menggambarkan Mencari Hilal kecuali... indah. Ya, sungguh tiada disangka-sangka diri ini akan dibuat jatuh hati sedemikian kuat terhadap garapan terbaru Ismail Basbeth ini. Selama beberapa saat tatkala lampu bioskop mulai dinyalakan, dengan credit title diiringi tembang menghanyutkan oleh Sabrang ‘Noe’ Panuluh, kedua bola mata masih sulit mengarahkan pandangan dari layar yang perlahan tapi pasti mulai menghitam. Apa yang baru saja saksikan? Kenapa tiba-tiba ada bulir-bulir air menggenang di pelupuk mata yang hanya membutuhkan sepersekian detik untuk lantas membasahi pipi? Apa ini disebabkan oleh debu-debu bertebangan karena para staf bioskop mulai beres-beres di dalam ruang pertunjukkan atau semata-mata saya dibuat takjub oleh betapa bagusnya film yang baru saja ditonton bersama segelintir penonton beruntung lainnya? Apapun itu, satu hal yang jelas, tidak mudah seketika mengekspresikan kekaguman terhadap Mencari Hilal sesaat setelah nonton karena ya ada semacam momen yang memaksa diri untuk merenung sejenak dan menetralkan emosi yang telah dihujam sedemikian rupa sepanjang durasi. Mencari Hilal was THAT good

Ketertarikan terhadap Mencari Hilal sejatinya telah mengemuka semenjak trailer film ini diluncurkan yang dimulai dari keheranan, “hah, Ismail Basbeth menggarap film religi?.” Apabila kamu mengikuti jejak rekam karirnya di semesta film pendek Indonesia (belakangan merambah ke feature lewat Another Trip to the Moon), maka telah hafal cara bertuturnya yang menjunjung tinggi surealisme atau mudahnya, absurd. Bukankah sungguh menarik untuk melihat kiprahnya dalam menangani tontonan bernafaskan agama yang cenderung komersil? Tapi jika kamu lantas memang tidak mengenal sang sutradara, daya pikat mencuat dari konten film itu sendiri yang sedikit banyak mengingatkan kita kepada Le Grand Voyage arahan Ismaël Ferroukhi yang sungguh menakjubkan itu. Kemiripan sebatas pada premis, tentu saja, karena sekalipun gagasan pengisahan kurang lebih serupa mengenai pasangan ayah-anak dengan hubungan buruk yang dipaksa bersatu dalam suatu perjalanan untuk memenuhi kebutuhan relijiusitas sang ayah, letupan-letupan konflik diantara ayah-anak ini dan problematika yang dijumpai sepanjang perjalanan pencarian hilal pun diarahkan ke jalur yang sama sekali berbeda menyesuaikan dengan kultur sosial yang berkembang di masyarakat Indonesia. 

Perjalanan mengarungi satu desa ke desa lain, satu kecamatan ke kecamatan lain, sampai satu kabupaten ke kabupaten di Mencari Hilal dimulai tatkala Pak Mahmud (Deddy Sutomo), seorang Muslim taat yang mengabdikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah, merasa terusik dengan berita penggelontoran dana miliaran rupiah oleh Kementrian Agama hanya demi menggelar sidang isbat (penetapan hari Lebaran). Tumbuh di lingkungan pesantren yang dulunya mengadakan kirab untuk melihat hilal – bulan sabit baru yang menandai dimulainya Ramadhan maupun Idul Fitri – Pak Mahmud tahu betul pencarian hilal tidak butuh merogoh kocek dalam-dalam. Perkara inilah yang lantas mendorong Pak Mahmud merencanakan perjalanan mencari hilal sebagai pembuktian bahwa ibadah tidak dibuat untuk memperkaya diri. Berada di usia tua dengan kesehatan telah memburuk, tentu rencana Pak Mahmud ditentang keras oleh putrinya, Halida (Erythrina Baskoro), yang mengkhawatirkan kondisi sang ayah. Ndilalah, saat Pak Mahmud ngeyel untuk tetap melakukan perjalanan ini, putranya yang telah lama hengkang dari rumah, Heli (Oka Antara), mendadak datang guna mengurus paspor. Melihatnya sebagai kesempatan mempersatukan dua kutub berbeda, Halida lantas memaksa adiknya tersebut untuk menemani sang ayah mencari keberadaan hilal yang entah berada dimana. 

Sebatas berpatokan pada sekelumit penggalan cerita ini, mudah bagi penonton untuk membentuk dugaan bahwa Mencari Hilal adalah tontonan reliji sangat serius penuh ceramah kelewat verbal yang membuat kening berkerut atau malah menguap jenuh. Di atas kertas, jalinan pengisahan dirakit oleh Bagus Bramanti dan Salman Aristo memang memiliki potensi bergerak ke arah sana, namun Ismail Basbeth bertindak sebagai sang eksekutor memilih untuk melantunkannya secara sederhana, ringan, dan meminimalisir keceriwisan berdakwah. Hasilnya, diluar dugaan. Siapa bakal menyangka Mencari Hilal akan menjelma sebagai sebuah gelaran hangat yang begitu mengasyikkan buat disantap sekaligus menggugah hati, pikiran, dan emosi? Siapa akan mengira Mencari Hilal bakal membuatmu tertawa begitu lepas, lalu merenung, dan pada akhirnya mencucurkan air mata tiada karuan? Meski telah menetapkan ekspektasi cukup tinggi untuk film ini, saya sejujurnya sama sekali tidak menduga akan mendapatkan perasaan semacam itu ketika menyaksikan Mencari Hilal. Tanpa harus disesaki adegan dimana para tokoh utama berteriak-teriak seraya beruraian air mata dengan iringan skoring (maunya) dramatis di setiap detik dan lebih sering mengandalkan bahasa gambar maupun gestur tubuh – serta, dialog secukupnya – Mencari Hilal malah jauh lebih efektif dalam mengiris-iris emosi. Kamu tidak akan pernah menyangka kapan air membahasi pelupuk mata, karena ya, kemunculannya sulit untuk diterka.

Bermain di ranah road movie, Mencari Hilal jelas tidak menekankan pada akhir perjalanan ziarah Pak Mahmud melainkan lebih pada perjalanannya itu sendiri – atau proses yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan. Hal inilah yang kemudian memberi film keasyikkan tersendiri karena ya, kamu tidak pernah benar-benar tahu apa yang akan berlangsung selama Pak Mahmud dan Heli mengembara. Ada lika liku yang membawa perenungan mendalam dalam penceritaan yang sekilas terlihat lurus. Salah satu contoh bisa disimak pada penggambaran karakteristik duo tokoh utama film ini. Di awal film, Pak Mahmud diperkenalkan sebagai sosok yang mengaplikasikan tuntunan agama di setiap lini kehidupan sehingga penonton akan memberinya label ‘alim, santun, dan lain-lain’. Sedangkan Heli adalah antitesisnya yang boro-boro menjunjung tinggi agama, sholat saja tidak. Prinsip yang dipegang teguh oleh Heli adalah menebarkan kebaikan ke sebanyak mungkin orang. 

Melalui penggambaran ini, besar kemungkinan penonton akan berpihak pada Pak Mahmud yang terlihat saleh dan mengutuk Heli yang berpaling dari Tuhan pula durhaka pada orang tua... setidaknya di menit-menit pertama. Lalu, lapisan cerita mulai tersibak yang menghadapkan kita pada kenyataan bahwa Pak Mahmud tidaklah sesuci itu dan Heli tidaklah sehina itu sehingga pertanyaan-pertanyaan pun mencuat, apakah mengabdikan diri untuk beribadah kepada Yang Maha seketika membuatmu menjadi pribadi lebih baik ketimbang mereka yang barangkali lalai terhadap perintah-Nya? Lalu, bagaimana jika sang saleh ternyata berbuat dzalim kepada sesama pula memandang buruk mereka yang tidak sepaham dengannya sedangkan sang durhaka menciptakan kebaikan untuk sesama dengan menjadi pribadi toleran? Bukankah menjadi ironis saat seseorang yang mengetahui seluk beluk mengenai agamanya, taat beribadah, malah lebih sering membawa keburukan ketimbang seseorang yang sebatas tahu permukaan? Dan, jika sudah demikian, apa sebetulnya kegunaan dari agama itu sendiri? 

Pertentangan ideologi antara Pak Mahmud dari kubu konservatif (cenderung saklek) dan Heli dari kubu liberal (menurut pemaknaan para ekstrimis) yang muncul silih berganti sepanjang durasi bukanlah satu-satunya yang membuat alunan penceritaan menjadi mengikat karena dalam perjalanan ini, si pembuat film lantas menyelimutinya dengan serangkaian kritik terhadap fenomena sosial di negeri ini yang akan membuat kita terhenyak, “kok gini banget sih Indonesia?”. Baik Pak Mahmud maupun Heli memang menjumpai banyak hal dari pemanfaatan agama untuk permainan politik, satu keluarga berbeda keyakinan, pemeluk Islam yang mencampurkan unsur kejawen ke praktik keagamaan, sampai ormas keagamaan yang semena-mena membubarkan ibadah pemeluk agama lain di suatu kampung yang memunculkan dialog menggetarkan, “kalau kita tidak bisa beribadah di rumah sendiri, lalu dimana kita beribadah?”. 

Bukankah ini sangat Indonesia? Maksudnya, tak susah menjumpai persoalan semacam ini di sekitar begitu pula sosok seperti Pak Mahmud yang katanya beragama tapi gemar menghakimi orang lain dan Heli yang malas beribadah tapi toleransinya tinggi. Ismail Basbeth pun tak lantas menyalah-nyalahkan satu pihak atau mendukung pihak lain karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang pada akhirnya dia beserta tim peracik skenario mencoba menawarkan solusi: adu otot hanya memperkeruh perkara, duduk bersama dengan kepala dingin adalah jawaban. 

Walau mayoritas karakter dalam film diceritakan Muslim, rilis bertepatan dengan momen hari kemenangan, dan garis besar penceritaan berkisar pada perjalanan ziarah, akan tetapi Mencari Hilal bukanlah film religi yang mengesklusifkan diri. Seperti halnya Le Grand Voyage atau PK (Peekay, menyoal penggunaan agama sebagai komoditas), Mencari Hilal mempunyai cita rasa universal yang tidak mengotak-kotakkan penontonnya berdasarkan suku, agama, ras, bahkan asal negara. Kamu tidak perlu menjadi seorang Muslim atau menjadi seorang Jawa untuk bisa terhanyut ke dalam guliran pengisahannya karena, well... bukankah problematika semacam ini dapat kamu jumpai dimanapun tak peduli apa agama dan sukumu? Mengedepankan persoalan yang dekat dengan keseharian inilah yang menjadikan Mencari Hilal terasa begitu nyata, menggugah, menyentil sekaligus penting. Menyadari potensi membuat kepala penonton pening – atau lebih jauh, memicu kontroversi – pembuat film menyampaikannya secara santai penuh kejenakaan yang akan membuatmu tanpa sadar tertawa lepas. Trik ini telah dipergunakan sejak menit-menit pembuka, dengan highlight berada di adegan paguyuban pedagang pasar yang menyambangi rumah Pak Mahmud. Lucu sekali! 

Mencari Hilal merupakan hasil perpaduan sempurna antara kebernasan naskah racikan duo Bagus-Salman, penyutradaraan cakap Ismail, lantunan tembang menghanyutkan Sabrang, iringan musik syahdu Charlie Meliala, penataan gambar kelas wahid Satria Kurnianto (tak terhitung jumlahnya bingkaian gambar luar biasa cantik yang membuat diri ini terpana khususnya adegan berpisah bus), serta paling utama, permainan dahsyat jajaran pemainnya terlebih chemistry menyengat antara Deddy Sutomo dan Oka Antara. Keduanya memberikan performa yang sangat cemerlang. Dari semula tampak membenci satu sama lain, perlahan tapi pasti kita menyadari bahwa bagaimanapun keduanya tetaplah ayah-anak yang mendamba kembalinya rasa kasih sayang yang telah menghilang lama. Dengan Pak Mahmud menganut hablum minallah (hubungan manusia dan Tuhan) sementara Heli berpegangan pada hablum minannas (hubungan sesama manusia) keduanya tetap membutuhkan satu sama lain untuk mencapai keseimbangan. Seperti halnya hubungan ayah-anak kebanyakan, pengungkapan cinta maupun penunjukkan kepedulian tidak diungkapkan secara verbal melainkan sebatas pada perubahan gestur tubuh dan mimik muka. 

Perhatikan adegan di dalam bis dan menit-menit menjelang tutup layar, Deddy Sutomo sungguh juara yang memberi kita perasaan bercampur aduk antara sebal dan iba hingga (lagi-lagi, damn!) tanpa disadari sapu tangan pun basah. Kontribusi cemerlang dari masing-masing departemen yang dipersatukan menjadi bahasa gambar utuh oleh Wawan I Wibowo inilah yang membawa saya kepada perasaan cenderung hiperbolis di paragraf pembuka. Sungguh, Mencari Hilal adalah sebuah tontonan indah, jujur nan bersahaja yang membuat saya ingin memberi pelukan hangat kepada ayah, serta berulang kali tertawa, tersentuh, maupun tertohok sepanjang film untuk kemudian merenunginya dan melahirkan pertanyaan, “apakah selama ini saya telah menjadi seorang Muslim yang baik? Atau jangan-jangan sekadar memanfaatkan agama agar memiliki identitas sebagai bentuk eksistensi diri?.” Salah satu film Indonesia terbaik tahun ini, bahkan beberapa tahun terakhir. Definitely an instant classic.

Outstanding



7 comments:

  1. reviewnya provokatif jadi penasaran pengen nonton, moga2 masih tayang

    ReplyDelete
  2. Ayo buruan ditonton, waktumu terbatas lho!

    ReplyDelete
  3. huwaaa....
    jadi ikut penasaraaaan
    pengen nonton jugaaaa
    moga2 masih tayang

    ReplyDelete
  4. Kalau ada waktu senggang, segerakan buat nonton film ini. Serius, statusnya udah stadium 4.

    ReplyDelete
  5. ngebaca ini, terasa lebih menyentuh dan dalam dibanding saat saya menonton filmnya.
    ceritanya indah, nyata dan dekat dengan saya. mungkinpun kita :)

    ReplyDelete
  6. Waduh, terima kasih banyak. Jadi terharu mendengarnya :)

    ReplyDelete
  7. Filmnya cukup menarik, namun saya belum menemukan bagaimana penyelesaian dari kasus kasus Pak Mahmud sendiri, apakah Pak Mahmud berubah atau tidak. Dalam film ini, kenakalan Pak Mahmud seakan selalu diberi pembenaran oleh orang orang di sekitarnya, termasuk oleh dua takmir Masjid Giriloyo sendiri. Dan akan lebih menjengkelkan jika Pak Mahmud juga menyalurkan intensi konservatifnya ketika ada penggerudugan gereja darurat beberapa warga

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch