August 30, 2015

REVIEW : GANGSTER


“Saya tidak pernah percaya pada orang lain karena percaya pada orang lain bagi saya adalah kelemahan” 

Para penikmat film Indonesia tentu sama-sama tahu bahwa Fajar Nugros telah terbiasa berkecimpung di ranah komedi dan drama romantis – setidaknya dalam filmografinya didominasi genre ini. Maka ketika dia menjajal keluar dari zona nyamannya dengan menggarap film beraliran laga, respon pertama kali meluncur dari mulut adalah, “heh, Fajar Nugros dan film action?.” Sepintas terdengar sangat meremehkan, memang. Bukan apa-apa, genre yang memperkenalkan kita kepada Barry Prima atau George Rudy ini bukanlah tipe mudah dieksekusi... setidaknya di sinema Indonesia. Dalam kurun satu dasawarsa terakhir bisa dikata hanya segelintir film action produksi lokal berkualitas diatas rata-rata dengan dwilogi The Raid telah menetapkan standar begitu tinggi sehingga kemunculan film teranyar Fajar Nugros, Gangster, produksi Starvision ini sedikit banyak diiringi sikap skeptis bertingkat. Satu-satunya yang mendesak minat saya untuk tetap menyimak Gangster di layar perak adalah melihat Dian Sastrowardoyo mencak-mencak dalam three-way fight bersama Kelly Tandiono dan Yayan Ruhian. 

August 28, 2015

REVIEW : THE MAN FROM U.N.C.L.E.


“For a special agent, you're not having a very special day, are you?” 

Ada kejutan mengasyikkan yang diberikan oleh Matthew Vaughn di kuartal pertama tahun ini dalam wujud Kingsman: The Secret Service. Betapa tidak, tatkala Jason Bourne dan James Bond era Daniel Craig berusaha tampil lebih serius dari sisi penceritaan, film yang memperkenalkan kita kepada sosok Eggsy ini justru mengajak penonton untuk sekadar bersenang-senang menikmati geberan kegilaan tiada henti dengan tujuan utama mencoba mengembalikan genre spy movies ke jalurnya yang mengedepankan unsur fun. Tidak lebih. Semacam menjadi pionir, berturut-turut sederet judul film mata-mata tahun ini mengikuti formula ‘hura-hura’ Kingsman: The Secret Service dimulai dari Spy yang menunjukkan sisi lain dari Jason Statham, lalu Mission: Impossible – Rogue Nation yang turut mengentalkan laga beserta humornya, hingga paling gres, The Man From U.N.C.L.E. Judul terakhir disebut ini mungkin terdengar kurang familiar utamanya bagi telinga generasi masa kini, meski kenyataannya film arahan Guy Ritchie tersebut didasarkan pada serial televisi populer berjudul sama dari era 60’an yang memasangkan agen CIA asal Amerika Serikat dan agen KGB dari Rusia dalam satu tim! 

August 23, 2015

REVIEW : INSIDE OUT


“Take her to the moon for me, Joy.” 

“Pixar is back!” adalah seruan pertama yang saya lontarkan seusai melahap Inside Out di layar lebar. Rasa-rasanya, siapapun yang beranggapan empat tahun terakhir film keluaran Pixar tidak berada dalam kondisi prima pun akan melakukan hal serupa. Ya, paska Toy Story 3, studio animasi berlogo lampu meja ini seolah-olah kehilangan pegangan – bahkan perlahan tapi pasti dihempaskan oleh rekannya, Disney, yang semakin menggila produksi animasinya – dengan melempar proyek film-film kelanjutan yang secara kualitas terbilang medioker untuk ukuran Pixar. Di saat Pixar mulai meredup, Pete Docter, otak dibalik kecemerlangan Monsters, Inc dan Up, mengajukan gagasan ambisius untuk divisualisasikan di film teranyarnya bertajuk Inside Out. Hanya dengan mendengar premisnya saja, “bagaimana jika ada makhluk-makhluk kecil yang mendiami tubuh manusia saling bekerjasama untuk mengontrol emosi dan tetek bengeknya?” antisipasi seketika meninggi yang berarti masih ada harapan untuk studio penelur trilogi Toy Story ini kembali bangkit. Dan memang, Inside Out merupakan sebuah langkah awal sempurna bagi Pixar guna merebut lagi posisi penguasa dunia film animasi yang sebelumnya sempat mereka genggam. 

August 21, 2015

REVIEW : MAGIC HOUR


“Kenapa Tuhan menciptakan hati kalau cuma buat dipatahin?” 

Beberapa pekan lalu, (mungkin) tidak ada yang peduli dengan keberadaan film panjang perdana kreasi Screenplay Films, Magic Hour. Dengan dasaran kisah, jajaran pemain maupun rumah produksi tergolong kerap dijumpai wara-wiri di film khusus televisi sebuah stasiun televisi nasional, mudah untuk menganggap remeh film arahan Asep Kusdinar (Dawai 2 Asmara) ini. “Palingan juga nggak ada bedanya dibandingkan FTV,” begitu cibir beberapa rekan dekat. Bisa dibilang Magic Hour tidak mempunyai cukup amunisi untuk membuat penonton berduyun-duyun ke bioskop yang belakangan terbukti salah kaprah. Betapa tidak, film yang semula dipandang sebelah mata malah justru menggila di tangga box office dengan merengkuh 173 ribu penonton dalam tempo 5 hari saja! Sebuah pencapaian yang bisa dikata fantastis apalagi kompetitor di pekan sama terdiri atas remake film laris yang mengandalkan Chelsea Islan dan superhero movie. Seorang kawan menyebutnya sebagai sleeper hit (kuda hitam di industri film dan musik). Diri ini pun dibuat bertanya-tanya, “apa kekuatan utama film ini sampai-sampai ratusan ribu penonton tersihir untuk menyimaknya di layar lebar?”. 

August 16, 2015

REVIEW : LOVE YOU... LOVE YOU NOT...


“Gue kalau pergi, lo bakalan kangen nggak sama gue?” 

Seperti halnya menerjemahkan tulisan populer ke dalam bahasa gambar, membuat ulang sebuah film yang telah terbukti sukses merupakan proyek teramat beresiko serta penuh tantangan terlebih lagi jika materi asli masih segar di benak publik. Pro dan kontra akan senantiasa mengiringi sejak awal proses pembuatan dengan para penggemar berat kebanyakan memberi perhatian lebih terhadap “kesetiaan terhadap materi sumber” maupun “kecocokan pemilihan pemain”. Keluaran terbaru dari MVP Pictures, Love You... Love You Not yang diadaptasi dari film Thailand banjir penonton, I Fine... Thank You Love You, pun memancing keramaian di kalangan netizen jauh sebelumnya dilempar ke pasaran. Tudingan menjiplak dan plagiat (meski pihak produsen telah menegaskan berulang kali bahwa film ini telah membeli lisensi secara resmi. Duh!) sulit terhindarkan apalagi trailer Love You... Love You Not mengindikasikan pula film akan plek-plekan sama dengan versi Thailand. Jadi, pertanyaan pertama terbersit di benak publik adalah “apa yang lantas membuat Love You... Love You Not berasa istimewa jika well, si pembuat film hanya sekadar melakukan reka ulang?” 

August 14, 2015

REVIEW : FANTASTIC FOUR


"Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh."

Begini. Di atas kertas, proyek reboot dari Fantastic Four memang terdengar menjanjikan. Dengan versi satu dasawarsa lalu biasa-biasa saja, maka ya bukankah kecil kemungkinan film pembaharuan untuk superhero Marvel kepunyaan Fox ini akan lebih buruk mengingat sekali ini diperkuat oleh sutradara dengan jejak rekam mengesankan (hey, Josh Trank memberi kita film found footage keren Chronicle!) dan jajaran pemainnya yang boleh dibilang aktor aktris muda berbakat masa kini? Ya, seolah-olah mustahil memperoleh pengalaman sinematik penuh duka lara seperti saya alami awal tahun ini gara-gara Seventh Son dan Dragon Blade. Sebagai seseorang yang seringkali berhasil menemukan titik kesenangan dari suatu film – meski buruk sekalipun – maka diwanti-wanti oleh beberapa kawan tidaklah meresahkanku toh Fantastic Four-nya Chris Evans masih membuatku bersenang-senang. Segala sikap optimis yang diboyong ke bioskop tatkala menyantap film garapan Bang Trank seketika meluntur selayaknya eye shadow terkena tetesan air begitu mendapati Fantastic Four yang tengah diputar ini bukanlah superhero movie melainkan dongeng pengantar tidur! Damn, damn. 

August 11, 2015

REVIEW : MISSION: IMPOSSIBLE - ROGUE NATION


”The Syndicate is real. A rogue nation, trained to do what we do.” 

Rangkaian seri Mission: Impossible menguraikan definisi “tua-tua keladi, makin tua makin menjadi.” Saat banyak franchise mulai megap-megap begitu memasuki instalmen keempat, Mission: Impossible malah justru baru menunjukkan tajinya melalui Ghost Protocol yang seketika menempatkannya dalam jajaran ‘spy films’ dengan keberadaan patut diperhitungkan. Menghidangkan intrik spionase tingkat tinggi yang diinjeksi serum pemacu adrenalin hingga titik maksimal, Ghost Protocol memberi pengalaman sinematik memuaskan dalam menyaksikan sebuah gelaran action blockbuster. Telah mencapai level baru dengan menebar semua kegilaan yang sulit terbayangkan sebelumnya, maka agak susah sebetulnya membayangkan Christopher McQuarrie (Jack Reacher) akan memberi suguhan yang melampaui pencapaian film sebelumnya di jilid kelima bertajuk Rogue Nation ini khususnya setelah adegan bergelantungan di Burj Khalifa yang sulit dilupakan itu sampai, well, kamu membuktikannya secara langsung dengan melahapnya di layar perak sehingga bisa memberikan kesimpulan: Rogue Nation is a great addition to the Mission: Impossible franchise. 

August 8, 2015

REVIEW : PIXELS


“Pac-Man's a bad guy?” 

Sebagai seseorang yang menggemari karya-karya Adam Sandler sebelum era Jack & Jill (I know, I am in the minority here), mendengar kabar sang komedian mengambil peran di sebuah film berpremis unik “bagaimana jadinya jika bumi diserang oleh alien berbentuk karakter dari permainan dingdong (arcade games)?” yang materinya dijumput dari film pendek memikat rekaan Patrick Jean merupakan kebahagiaan tersendiri. Ada harapan mengapung Adam Sandler akan bangkit dari keterpurukan terlebih film bertajuk Pixels ini dikomandoi Chris Columbus (dua jilid pertama Harry Potter dan Home Alone) yang telah terbukti memiliki jam terbang tinggi di area fantasi keluarga serta diciptakan sebagai surat cinta bagi budaya populer era 1980’an yang menjadi zona kekuasaan Sandler. Selain itu, nostalgia ke video game lawas di Wreck-It Ralph tiga tahun silam juga membuahkan segudang puja-puji, jadi apa yang bisa salah dari ini? Jawabannya hanya ada satu: ketidakpekaan Adam Sandler yang masih kekeuh bertahan di zona nyamannya. 

August 5, 2015

REVIEW : LITTLE BIG MASTER


Setiap orang pastinya memiliki pemaknaan berbeda perihal film bagus. Bagi saya, tatkala emosi berhasil dilibatkan – entah itu tertawa, menangis, bersemangat, tegang, atau ketakutan – maka film tersebut telah layak menyandang label ‘bagus’. Sesederhana itu. Dengan semata-mata berpatokan pada definisi ini, maka film laris asal Hong Kong arahan Adrian Kwan, Little Big Master, telah sangat memenuhi kriteria untuk disebut sebagai film bagus. Melantunkan kisah sepanjang 112 menit yang dasaran kisahnya terinspirasi pada sebuah kisah nyata, Little Big Master tidak segan-segan dalam mengobrak abrik emosi penonton sejak menit-menit pembuka. Seperti melihat kombinasi antara drama pembangkit semangat asal Indonesia, Laskar Pelangi, dengan melodrama penuh air mata dari Taiwan, Mama Hao (My Beloved), Little Big Master hadirkan sebuah tontonan yang tidak saja akan membuat pelupuk mata penonton basah, tetapi juga menghangatkan hati dan menginspirasi. Definitely a must-see! 

August 4, 2015

REVIEW : 99% MUHRIM - GET MARRIED 5


Usai disodori jilid ketiga yang mengalami kemerosotan signifikan dari sisi kualitas, tidak ada lagi gairah menantikan seri terbaru dalam rangkaian seri Get Married. Hanya berharap Starvision segera mengakhiri franchise ini dengan hormat. Akan tetapi, saat kepercayaan mulai luntur, Monty Tiwa dan Cassandra Massardi yang memanggul tanggung jawab atas buruknya Get Married 3 menebus kesalahan mereka dengan memberikan Get M4rried yang tiada dinyana-nyana begitu mengasyikkan buat dilahap. Menyentil-nyentil fenomena sosial secara centil seraya menciptakan ledakan tawa disana sini. Dengan banyaknya kesenangan diperoleh tatkala menyimak seri keempat, maka pengharapan terhadap seri kelima sedikit banyak meningkat terlebih film berjudul lengkap 99% Muhrim – Get Married 5 ini dimaksudkan sebagai instalmen puncak. Dalam penanganan tepat, bisa menjelma sebagai ‘gong’ bagi franchise masyhur ini yang sayangnya tidak benar-benar terjadi. Memberi porsi kelewat besar untuk elemen reliji nampaknya menjadi pedang bermata dua bagi 99% Muhrim – Get Married 5

Mobile Edition
By Blogger Touch