August 5, 2015

REVIEW : LITTLE BIG MASTER


Setiap orang pastinya memiliki pemaknaan berbeda perihal film bagus. Bagi saya, tatkala emosi berhasil dilibatkan – entah itu tertawa, menangis, bersemangat, tegang, atau ketakutan – maka film tersebut telah layak menyandang label ‘bagus’. Sesederhana itu. Dengan semata-mata berpatokan pada definisi ini, maka film laris asal Hong Kong arahan Adrian Kwan, Little Big Master, telah sangat memenuhi kriteria untuk disebut sebagai film bagus. Melantunkan kisah sepanjang 112 menit yang dasaran kisahnya terinspirasi pada sebuah kisah nyata, Little Big Master tidak segan-segan dalam mengobrak abrik emosi penonton sejak menit-menit pembuka. Seperti melihat kombinasi antara drama pembangkit semangat asal Indonesia, Laskar Pelangi, dengan melodrama penuh air mata dari Taiwan, Mama Hao (My Beloved), Little Big Master hadirkan sebuah tontonan yang tidak saja akan membuat pelupuk mata penonton basah, tetapi juga menghangatkan hati dan menginspirasi. Definitely a must-see! 

Selepas mencopot jabatannya sebagai kepala sekolah di sebuah taman kanak-kanak kelas internasional lantaran tak lagi sepakat dengan sistem pendidikan yang diaplikasikan, Lui Wai-hung (Miriam Yeung) yang menderita tumor memutuskan untuk pensiun dan berkelana ke berbagai penjuru dunia bersama sang suami, Tse Wing-tung (Louis Koo). Rencana melancong, begitu pula seluruh kehidupan pasangan ini, mendadak berubah saat Lui Wai-hung memutuskan untuk kembali mengajar setelah mendengar berita mengenai sebuah taman kanak-kanak yang terancam gulung tikar karena kekurangan murid. Awalnya menerima pekerjaan berupah sangat rendah ini agar para siswanya memiliki kualifikasi mencukupi untuk dapat dipindah ke sekolah lebih layak, Lui Wai-hung yang memang memiliki passion tinggi dalam mengajar malah perlahan tapi pasti justru jatuh hati pada kelima muridnya dan bertekad menyelamatkan sekolah berusia setengah abad tersebut terlebih usai mendapati kenyataan pahit dalam kehidupan pribadi setiap muridnya. 

Dalam Little Big Master, Adrian Kwan sejatinya ingin mengkritisi sistem pendidikan modern yang dikomersialisasi sedemikian rupa sehingga menyulitkan kalangan bawah untuk memperoleh pendidikan. Alih-alih menyuarakan keberatannya melalui tontonan sarat kritik tajam pedas menyentil, si pembuat film memilih jalur drama tearjerker yang meliuk-liukkan emosi sedemikian rupa. Dengan topangan dari performa cemerlang setiap pelakonnya – pujian khusus patut disematkan pada Miriam Yeung sebagai sosok hangat yang mudah sekali untuk dicintai, Louis Koo memerankan suami yang penuh perhatian, dan para puteri-puteri kecil yang menjadi anak didik Lui Wai-hung – begitu pula isian musik yang tepat guna membangunkan nuansa sendu, penceritaan dan penggarapan cermat dari Adrian Kwan, Little Big Master tidak menjelma sebagai tontonan penguras air mata yang manipulatif maupun murahan. Kentara terasa film ini memang dibuat dari hati. Dan bagusnya lagi, penonton pun dikondisikan mengenal akrab para karakter inti sejak awal film sehingga kepedulian terhadap nasib mereka senantiasa mengiringi hingga tutup durasi. 

Sekalipun Little Big Master masih mendayagunakan metode konvensional lewat adegan-adegan klise untuk memancing tangis, ini masih bisa dibilang manjur. Menariknya, hati berdesir lalu kemudian tanpa disadari kedua sisi pipi basah justru bukan semata-mata dipicu karena menyimak serangkaian ketidakberuntungan yang dihadapi oleh keluarga para murid, melainkan seringkali muncul disebabkan oleh semangat juang tinggi dari Lui Wai-hung, murid taman kanak-kanak dan para wali yang masih mempercayai bahwa harapan itu akan selalu ada bagi mereka dalam kondisi apapun. Ya, Adrian Kwan tidak hanya mengkreasi Little Big Master sebagai melodrama mengharu biru belaka yang meminta penonton iba pada kondisi para tokohnya, melainkan juga memfungsikannya sebagai tontonan inspiratif sarat motivasi yang akan menggugah semangatmu untuk tidak mudah menyerah pada keadaan. Akan menjadi semakin menarik untuk disimak terutama jika kamu memang memiliki jiwa mengajar dan sosial sama tinggi, serta begitu mencintai dunia pendidikan, seperti halnya Lui Wai-hung. Pesan saya sebelum menonton film ini: persiapkan banyak tissue, percayalah, kamu akan membutuhkannya. Sungguh sebuah film drama humanis yang menarik!

Outstanding

No comments:

Post a Comment

Mobile Edition
By Blogger Touch