September 10, 2015

REVIEW : TED 2


“There are no chicks with dicks, Johnny, only guys with tits.” 

Terima kasih kepada gagasan edan Seth MacFarlane, citra manis boneka beruang kesayangan anak-anak pun sedikit tercoreng. Betapa tidak, ketimbang menggambarkan sang Teddy Bear sebagai sosok manis menggemaskan seperti kita kenal selama ini, dalam Ted yang dilempar ke pasaran tiga tahun silam, MacFarlane mempresentasikannya serba kebalikan. Tingkah lakunya tidak senonoh, mulutnya luar biasa kotor (sampai-sampai sabun cuci paling ampuh sekalipun angkat tangan!), serta waktu senggangnya dihabiskan untuk menghisap ganja dengan sesekali bersenggama (yikes!). Bisa dibilang, menjauhi segala bentuk norma-norma kebajikan. Dan memang itulah kegemaran Seth MacFarlane, melontarkan banyolan-banyolan dengan gaya teramat kasar, jorok dan cenderung ofensif yang bercampur referensi budaya populer seperti yang kamu bisa temukan pada film-film arahannya termasuk Ted yang tidak dinyana-nyana membuat para kritikus dan penikmat film mencapai kesepakatan menyambut hangat kemunculannya. Tentu saja, mengingat Ted laris manis maka film kelanjutannya bertajuk (errr) Ted 2 pun dilepas dengan harapan mampu mendulang kesuksesan yang sama. Berhasilkah atau gagalkah? 

Ted (Seth MacFarlane) semula mengganggap pernikahannya dengan kekasihnya, Tami-Lynn (Jessica Barth), merupakan perwujudan nyata dari ‘bahagia untuk selamanya’. Keadaan berubah setelah gesekan-gesekan diantara mereka menjadi kian runyam begitu kehidupan rumah tangga menapaki usia setahun. Tidak ingin bernasib seperti sang sahabat, John Bennett (Mark Wahlberg), yang telah bercerai dari Lori (dalam film pertama diperankan Mila Kunis), Ted berinisiatif untuk memiliki anak sesuai saran rekan kerjanya sehingga pernikahannya dapat terselamatkan. Dengan Tami mustahil mengandung bayi lantaran kebiasannya mengganja berdampak pada rusaknya rahim, maka satu-satunya cara bagi mereka untuk menimang buah hati adalah mengadopsi. Hanya saja, perkara tidak terselesaikan sesederhana itu karena belakangan status Ted sebagai properti alih-alih manusia menyebabkan beragam persoalan lain. Disamping permohonan mengadopsi ditolak dan kehilangan pekerjaan, pernikahannya dengan Tami pun dianulir. Merasa diperlakukan tidak adil, Ted dibantu oleh John mencari pengacara untuk membereskan masalah ini yang membawa mereka ke pengacara rookie, Samantha Jackson (Amanda Seyfried). 

Saat mendengar Ted akan memiliki ‘adik’, saya tidak lantas menanggapinya antusias dan malah justru skeptis karena well, MacFarlane telah membangun standar tinggi untuk film komedi dewasa melalui Ted. Segala kegilaan – dari yang bisa terbayangkan di benakmu hingga sama sekali tidak pernah terlintas – telah diobral habis-habisan di jilid pertama sampai-sampai agak sulit membayangkan banyolan yang dilontarkan oleh MacFarlane dalam Ted 2 akan lebih sinting. Mudahnya, menilik betapa memuaskannya sang predesesor, apa lagi yang bisa ditawarkan oleh jilid ini? Betul saja, Ted 2 tampak tertatih-tatih dalam upayanya menandingi prestasi sang kakak. Banyolan-banyolan hasil pemikiran trio MacFarlane, Alec Sulkin, dan Wellesley Wild sekali ini tidak ada yang benar-benar memberi tendangan hebat yang memantik tawa berderai-derai. Mereka seolah telah kehilangan ide segar dalam melucu dengan beberapa diantara humor yang coba diapungkan berkesan basi dan repetitif (alat kelamin pria kulit hitam dan kedipan meminta bersenggama, seriously, guys?). Keberadaan elemen drama yang menyinggung isu hak asasi pun sedikit banyak berkontribusi terhadap melembeknya humor terlebih si pembuat film pun kebingungan untuk menyeimbangkan kedua elemen ini sehingga menghasilkan kombinasi yang aneh. 

Pun demikian, saya membual jika menyebut Ted 2 jauh dari kata lucu. Sekalipun memang kualitasnya mengalami degradasi – mengikuti moral Ted yang kian tidak tahu diri – tetapi Ted 2 tetap mempunyai beberapa momen yang akan membuatmu terbahak. Selain parade cameo dan referensi budaya populer (bersiaplah mendengar salah satu skoring musik legendaris dan berkunjung ke Comic Con!) yang masih tergolong nendang, komponen komedi kurang ajar dari Ted 2 yang masih tidak jauh-jauh dari elemen serang-serangan juga sesekali punya daya untuk mendorong munculnya gelak tawa walau sulit dipungkiri seringkali jatuh hambar. Malah tawa saya lebih sering bersumber dari sekuens singkat bak sketsa yang justru dibiarkan berlalu begitu saja dengan salah duanya saat Ted berpakaian bak PSK berusaha menjual dirinya di jalanan atau momen-momen kebersamaan Ted-John yang dipangkas cukup banyak oleh si pembuat film disini. Ya, mencoba memberi lampu sorot lebih pada hubungan romansa para karakternya dan drama pengadilan (maunya emosional) yang gagal tergali mendalam pula menarik, Ted 2 mengorbankan elemen buddy movie yang sejatinya kekuatan utama dari film pertama selain gila-gilaannya. Tidak heran jika lantas Ted 2 gagal bersinar lebih benderang apalagi bayang-bayang sang kakak masih kuat membayangi.

Acceptable

2 comments:

  1. Setuju sekali mas Tariz Solis....

    Banyak lelucon yang cuman sekedar repetitif, ......errrrr

    Yang paling nyebelin di konklusinya, fake tear-jerker yang menyebalkaaaaannnnn.

    Maaf, terlalu semangat kesal :p heheheh

    ReplyDelete
  2. Hahaha, saya memahami kekesalanmu kok.

    Ted 2 ini memang jauh dari pengharapan, terlebih film pertamanya luar biasa kocak dengan ending yang menyentuh

    Entahlah, walau masih cukup menghibur, Ted 2 ini memang seharusnya tidak perlu dibuat karena ya, beberapa film memang tidak ditakdirkan untuk dikembangkan menjadi franchise.

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch