November 23, 2015

REVIEW : THE HUNGER GAMES: MOCKINGJAY - PART 2


“Tonight, turn your weapons to the Capitol! Turn your weapons to Snow!” 

Babak pertama dari Mockingjay menyisakan banyak ketidakbahagiaan dari sejumlah pihak. Keputusan Lionsgate dalam memecah The Hunger Games: Mockingjay menjadi dua seri dinilai mengada-ada mengingat materi novel rekaan Suzanne Collins sendiri kurang memungkinkan untuk direntangkan melebihi satu film. Walau saya pribadi cukup menikmati Mockingjay Part 1 karena menilai intrik sosial politiknya yang memperbincangkan secara lantang soal propaganda, tipu-tipu media, hingga pertentangan kelas mempunyai intensitas cukup tinggi (bahkan terbilang thought-provoking), sulit untuk dipungkiri bahwa kesan bertele-tele dapat dirasakan di berbagai titik yang berdampak terhadap lambatnya laju penceritaan. Mockingjay Part 1 cenderung minim gegap gempita karena dikondisikan untuk membuka jalan bagi pertarungan akhir Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dalam melawan kesewenang-wenangan sang tiran di Mockingjay Part 2 sehingga penyusunan siasat berperang pun lebih sering diperbincangkan ketimbang peperangannya itu sendiri. Segala letupan-letupan pembangkit emosi yang diharapkan oleh para penonton, baru akhirnya benar-benar dimunculkan oleh Francis Lawrence di babak pamungkas ini. 

November 20, 2015

REVIEW : RELATIONSHIT


“Move on itu bukan melupakan, tetapi mengikhlaskan.” 

Berpegangan pada judul semata, Relationshit, penonton sebetulnya telah memperoleh gambaran menyeluruh mengenai plot yang ingin dikedepankan oleh si pembuat film. Jika kamu menduga pergunjingan di Relationshit tidak ubahnya film-film Raditya Dika perihal nestapa seorang jomblo yang berlarat-larat karena kesulitan menemukan separuh jiwanya, maka dugaanmu tepat sasaran. Embel-embel ‘based on a book, script editor Raditya Dika’ pada poster berdesain remaja banget, lalu keberadaan logo Starvision, merupakan bukti penguat bahwa film yang didasarkan pada buku bertajuk sama rekaan Alitt Susanto ini masih akan menyentuh topik generik tersebut. Salah? Tentu tidak sama sekali, toh bahan kupasan semacam ini nyatanya tetap memiliki banyak peminat dari kalangan penonton remaja. Hanya saja ada sebongkah kekhawatiran Relationshit bakal menghadapi kesulitan dalam menciptakan hiburan maksimal lantaran bahan pembicaraannya bukan lagi sesuatu baru dan telah berulang-ulang kali dikupas sebelumnya oleh maestro kegalauan, Raditya Dika. 

November 17, 2015

REVIEW : THE GIFT


“You're done with the past, but the past is not done with you.” 

Menilik jalinan pengisahannya yang berceloteh mengenai seseorang asing yang terlalu dalam mencampuri kehidupan pribadi sang karakter utama – telah dalam tahapan, terobsesi – sampai-sampai menciptakan teror tatkala dirinya mendapatkan penolakan atas ‘bantuannya’ tersebut, sepintas The Gift memang tidak ubahnya film thriller kebanyakan dari era 1990-an yang guliran konfliknya banyak mempergunakan template dari Fatal Attraction. Bahkan sang sutradara, Joel Edgerton, secara terang-terangan menyebut Fatal Attraction sebagai salah satu sumber inspirasinya untuk karya perdananya ini. Klise? Pada mulanya, begitulah tanggapan saya terhadap The Gift yang di atas permukaan memang menampakkan diri sebagai epigon lainnya dari film ‘percintaan maut’ Michael Douglas dengan Glenn Close ini dengan plot yang (sepertinya) masih seputar kucing-kucingan antara dua kawan lama. Akan tetapi, alih-alih patuh sepenuhnya pada formula dari film sejenis, Joel Edgerton justru memilih untuk sedikit berkreasi terhadap plot The Gift... dan inilah yang membuatnya berasa mengasyikkan buat disimak! 

November 13, 2015

REVIEW : BADOET


Apabila kepercayaanmu terhadap film horor buatan dalam negeri telah berada di titik nadir, maka Badoet adalah sebuah kesempatan emas bagimu untuk membangkitkan kembali kepercayaanmu dengan membuktikan bahwa sinema Indonesia sejatinya masih memiliki harapan untuk menghasilkan tontonan seram yang mencengkram erat. Ya, garapan terbaru dari Awi Suryadi (Claudia/Jasmine, Viva JKT48) yang menempatkan sesosok badut sebagai sumber utama berlangsungnya serangkaian teror – beberapa pihak membandingkannya dengan miniseri Stephen King’s It (1990) maupun Killer Klowns from Outer Space (1988) – ini rasa-rasanya tepat disebut sebagai film horor Indonesia terbaik dalam kurun beberapa tahun terakhir. Bagi kamu yang belum merasakan (nikmatnya) menjadi saksi secara langsung tebaran teror dari Awi ini di layar lebar mungkin akan menganggapnya agak berlebihan, tapi percayalah, label ini teramat layak disandang oleh Badoet apalagi sudah cukup lama saya tidak merasakan sensasi was was seraya meringkuk tampan di kursi bioskop dengan kedua bola mata tersembunyi di balik telapak tangan lantaran menyimak film memedi asal Indonesia. Phew. 

November 8, 2015

REVIEW : SPECTRE


“Welcome, James. It's been a long time. And, finally, here we are.” 

Dengan Sam Mendes telah standar begitu tinggi bagi franchise James Bond melalui Skyfall, sebetulnya sedikit tidak rasional mengharapkan film kelanjutannya akan lebih menakjubkan – melampaui segala pencapaian di seri sebelumnya – walau pada akhirnya ekspektasi tersebut sulit terhindarkan terlebih usai menilik barisan pemain anyarnya yang ‘wow’. Siapa coba tidak tergiur untuk menyaksikan Christoph Waltz, Monica Bellucci, serta Lea Seydoux (komoditi panas di dunia sinema saat ini) beradu akting dalam sebuah film Bond? Belum apa-apa, Spectre terlihat siap untuk bergabung bersama jajaran film terbaik dalam franchise ini. Mungkin tidak satu level dengan Skyfall apalagi Casino Royale, perwakilan seri terbaik dari era Daniel Craig, namun sudah cukup tinggi sehingga membuat para penggemar terus menerus mengenang kehebatannya. Akan tetapi, segala hype yang bergema dengan indahnya ini perlahan tapi pasti mulai terkena noda dimulai dari materi promosi asal jadi (dalam hal ini, poster) hingga lagu tema dari Sam Smith, Writing’s On the Wall, yang melempem. Kekhawatiran bahwa Spectre tidak akan sekuat dua kakaknya pun mulai menyeruak yang pada akhirnya memang dibuktikan oleh hasil akhir filmnya yang jauh dari kesan impresif. 
Mobile Edition
By Blogger Touch