December 24, 2015

REVIEW : BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA


Mengajukan pertanyaan besar, menggiurkan, serta provokatif berbunyi “apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?” lalu disahut “apa jadinya dunia tanpa Islam?” dan diakhiri “suamiku Muslim, apakah dia teroris?” kepada calon penonton, Bulan Terbelah di Langit Amerika terdengar seperti akan terhidang sebagai suguhan drama reliji yang jauh lebih menggugah pikiran dan menguras emosi ketimbang dwilogi pendahulunya, 99 Cahaya di Langit Eropa, yang cenderung bersahaja dalam menuturkan cerita (dan saya sangat menyukainya). Belum lagi ditambah fakta bawa film yang didasarkan pada novel berjudul sama rekaan Hanum Rais bersama sang suami, Rangga Almahendra, ini cakupan konfliknya melebar pula kian pelik dengan menyoroti kuatnya diskriminasi terhadap masyarakat Muslim di Amerika Serikat paska tragedi 11 September – sebuah isu yang seketika menerbangkan ingatan saya ke My Name is Khan yang mengedepankan fokus kurang lebih serupa dengan eksekusi cukup baik. Bulan Terbelah di Langit Amerika seolah siap untuk melesat kencang di tengah ketatnya persaingan film akhir tahun. Akan tetapi, apakah memang betul demikian? Sedihnya, saya harus mengatakan “tidak”. Mengusung ide besar, Bulan Terbelah di Langit Amerika gagal memenuhi segala potensinya dan malah berakhir sebagai gelaran melelahkan pula hambar. 

Meninggalkan Wina, pasangan suami istri Hanum (Acha Septriasa) dan Rangga (Abimana Aryasatya) kini menjejakkan kaki di New York. Masing-masing memiliki agendanya sendiri-sendiri di Big Apple; Hanum ditugasi atasannya untuk menulis artikel bertema “apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?” yang mengharuskannya mewawancarai seorang janda korban 9/11 bernama Azima Hussein (Rianti Cartwright) dan putrinya, sementara Rangga berupaya mendekati miliarder ternama, Phillipus Brown, guna melengkapi persyaratan S-3. Untuk memperlancar misi ini, keduanya pun meminta bantuan ke Stefan (Nino Fernandez) beserta kekasihnya, Jasmine (Hannah Al-Rashid), yang tinggal di New York. Hanya saja, tidak mudah bagi keduanya meminta narasumber incaran mereka untuk buka suara lantaran baik Azima maupun Brown kurang mempunyai kepercayaan terhadap media. Dalam upaya Hanum dan Rangga membangun kepercayaan para narasumber, persoalan lain datang menghampiri yang menempatkan kehidupan berumah tangga mereka di posisi genting. 

Sejatinya, niatan dari Hanum Rais dan Rangga Almahendra sebetulnya sangat baik. Mencoba mengklarifikasi pandangan salah kaprah khalayak kebanyakan yang kerap mengasosiasikan Islam dengan terorisme sekaligus mengembalikan kebanggaan para pemeluk Islam terhadap agama yang dianutnya. Tapi tentu saja sebuah film yang baik tidak semata-mata dibangun di atas fondasi niatan yang baik, melainkan membutuhkan pula komponen-komponen lain semacam skrip, lakon, sampai pengarahan yang sama baiknya. Sayang beribu sayang, Bulan Terbelah di Langit Amerika justru tidak sanggup menyuplai kebutuhan sebagian besar komponen pokok ini. Rizal Mantovani selaku sutradara kepayahan membangun storytelling yang mengalir lancar dan enak buat diikuti dari naskah yang digarap keroyokan oleh empat penulis. Jalinan pengisahannya seringkali kelewat tendensius sekaligus mencederai logika (terlalu banyak kebetulan sampai-sampai tidak lagi terasa logis) hanya demi menjawab pertanyaan besar yang diusungnya. Menjadi ironis saat kemudian pertanyaan ini tak pernah benar-benar memperoleh jawaban memuaskan sementara plot dari film – khususnya menginjak paruh akhir – telah dikorbankan untuk diacak-acak sedemikian rupa. Duh

Menonton Bulan Terbelah di Langit Amerika pun, pada akhirnya, tak ubahnya mendengarkan khatib Sholat Jumat yang terus menerus menyampaikan materi khotbahnya dengan nada di level berteriak sejak awal sampai akhir. Melelahkan. Ya, saat 99 Cahaya di Langit Eropa lebih halus dalam berkhotbah, Bulan Terbelah di Langit Amerika cenderung terlalu keras. Kesemrawutan sisi penceritaan ini semakin diperparah pula oleh salah penempatan lagu pengiring plus skoring yang sungguh efektif merobohkan suasana, pergantian adegan yang sama sekali tidak smooth malah cenderung melompat-lompat, dan ketidaktelitian pada detil-detil kecil (hmmm... bukankah film ini berlatar tahun 2009 ya? Kok bisa ada poster film Pan yang notabene baru dirilis dua bulan silam?). Well, mengingat Bulan Terbelah di Langit Amerika hanya berada kurang dari dua bulan di meja penyuntingan gambar maka segala bentuk kekacauan ini menjadi bisa dipahami. (lagi-lagi) Duh. Jika ada yang kemudian dapat menyelamatkan film dari jurang keterpurukan lebih dalam, itu adalah performa memikat jajaran pemain di garda depan. Berkat chemistry lekat Abimana-Acha yang telah teruji sejak dua film sebelumnya – sekali ini mereka mencoba mengingatkan kita betapa manisnya pasangan Rangga-Hanum – dan berkat Nino Fernandez yang kembali memberi keceriaan melalui sosok Stefan, setidaknya film menjadi sedikit lebih bisa dinikmati.

Acceptable

5 comments:

  1. terima kasih atas review nya min..
    setelah membaca nya sya sdh tahu film mana yg bakal saya tonton hehee :D

    ReplyDelete
  2. min film In the Heart of the Sea gak di review apa...sya sebenarnya sdh nonton 2 minggu lalu tpi penasaran saja dgn review dari kamu min. .

    ReplyDelete
  3. Kemungkinan besar sih tidak, ya. Lagi mencoba mengejar ketertinggalan mumpung libur dan kalau dimulai dari In the Heart of the Sea bakal susah ngejarnya. Sori :(

    ReplyDelete
  4. ya gpp min review ip man 3 ajah min.
    kmren lihat atrian banyak bnget yg mau nonton filn itu smpe tinggal kursi paling depan ajah ....

    ReplyDelete
  5. Tulisan di novelnya lebih bagus dan seru. Tapi, di film ada adegan yang membuat penonton terharu, yang mungkin kurang dirasakan saat baca novelnya. Yaitu, saat Azima membuka rambut palsu yang menutupi jilbab yang menutupi rambut aslinya. Mungkin, kesulitan memvisualkan semua yang ada di novel membuat film ini kurang greget. Saya setuju, 99 Cahaya di LE lebih bagus penggarapannya. ^_^

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch