February 6, 2016

REVIEW : AACH... AKU JATUH CINTA


“Walau 100 gunung di negeri ini meletus tapi ingatan tentang kamu tidak akan hilang.” 

Aach... Aku Jatuh Cinta seringkali dideskripsikan sebagai film Garin Nugroho yang paling ringan, santai, dan suka-suka gue. Mengingat dalam rentang waktu tiga dekade di karir penyutradaraannya Garin lebih banyak berkutat pada karya-karya berhembuskan isu sosial pekat dengan penyampaian tidak juga mudah dicerna – walau ya, tentu ada pengecualian – maka pendeskripsian tersebut terdengar menggugah selera apalagi selepas Cinta dalam Sepotong Roti, sutradara pencetak Guru Bangsa Tjokroaminoto ini tidak pernah lagi bermain-main di area percintaan muda mudi dan belakangan lebih asyik dengan panggung biopik plus politik. Proyek bersuka cita dari Garin Nugroho bertajuk Aach... Aku Jatuh Cinta (judul internasional, Chaotic Love Poems) ini semakin terdengar menggiurkan buat dijajal lantaran keberadaan duo pemain utamanya – hey, Pevita Pearce dan Chicco Jerikho, bro! – beserta guliran pengisahannya yang mengambil latar waktu dalam tiga dekade dengan penandanya berasal dari budaya populer. Benar benar... meng-gi-ur-kan. 

Seperti halnya Adam dan Hawa, Romeo dan Juliet, atau bahkan Tom dan Jerry, hubungan Rumi (Chicco Jerikho) dan Yulia (Pevita Pearce) diwarnai serentetan kekacauan sekaligus perasaan benci tapi sayang. Keduanya telah berteman sejak masih sangat belia, meski jalinan perkawanan mereka tidak memperoleh restu dari Ibu Yulia (Annisa Hertami) yang menganggap kehadiran Rumi di sekeliling Yulia hanya akan membawa dampak buruk bagi putri tunggalnya tersebut. Pun demikian, baik Yulia maupun Rumi tidak terlalu menggubris larangan Ibu Yulia dengan keduanya tetap saling berjumpa sampai masing-masing menduduki bangku SMA. Hubungan Rumi dan Yulia menjadi kian membingungkan, rumit, serta kacau seiring berubahnya zaman yang memporakporandakan kehidupan keluarga mereka berdua. Rumi mendadak menghilang tanpa kabar membuat Yulia merasakan adanya kekosongan dalam hatinya. Tidak lagi saling memberi kabar selama beberapa waktu, mereka kembali dipertemukan tatkala mulai beranjak dewasa. Pada fase inilah, Rumi dan Yulia mau tak mau harus membuat keputusan besar demi masa depan hubungan keduanya. 

Seringan-ringannya, sengepop-ngepopnya Aach... Aku Jatuh Cinta, tetaplah ini film buatan Garin Nugroho yang mungkin saja masih akan sulit diterima oleh penonton kebanyakan. Gaya berceritanya tetaplah pekat dengan nuansa teatrikal – kali ini lebih banyak dipergunakan untuk mengundang riuh tawa penonton, seperti saat beberapa pria mendatangi Ibu Yulia guna menjahitkan baju – dan puitis berkenaan dialog-dialognya. Bahkan, ada kalanya guliran pengisahannya terkesan melompat-lompat tanpa ada eksplorasi mendalam yang memang disengaja seperti diucap Pevita Pearce pada narasi di permulaan film yang menyebutkan bahwa kisah di Aach... Aku Jatuh Cinta disampaikan berdasarkan ingatan-ingatan acaknya yang dituangkan ke bentuk tulisan dalam buku harian. Ya, dibandingkan rentetan film sang sutradara sebelumnya, ini memang tergolong salah satu paling mudah dicerna karena tak banyak berkelebatan simbol-simbol memusingkan yang membutuhkan penafsiran lebih lanjut, lalu persoalan asmara ‘malu malu tapi mau’ atau ‘teman tapi mesra’ pun lebih relate dengan penonton muda, tetapi tentu saja kamu sedikit banyak harus membiasakan diri dengan cara Garin Nugroho dalam berkisah untuk benar-benar bisa merasuk ke filmnya itu sendiri. 

Ketika kamu bisa menerima bagaimanapun juga Aach... Aku Jatuh Cinta berada di semesta Garin, selanjutnya yang tampak di depan mata adalah keindahan. Atau lebih tepatnya, kekacauan yang indah. Seperti bukan padanan yang pas, tetapi begitulah Aach... Aku Jatuh Cinta. Penonton diboyong memasuki kisah percintaan penuh kekacauan Rumi-Yulia yang dihantarkan dengan sangat cantik melalui parade gambar penuh warna pula rasa ditunjang performa bagus dan lagu pengiring yang ‘berbicara’. Ya, ada berbagai corak warna menghiasi film dengan banyak diantaranya berasal dari kostum-kostum memukau yang dimanfaatkan pula sebagai penanda waktu (disamping perabotan dan suasana sekitar), begitu pula perihal rasa atau emosi yang tak kalah beragamnya. Tawa-tawa riang menyambut disana sini sedari Rumi-Yulia masih kecil sampai salah satu dari mereka siap mengucap ijab kabul, ada juga sensasi gemas-gemas gregetan melihat hubungan tarik ulur Rumi-Yulia (terlebih lagi setiap kali menyaksikan Pevita Pearce merajuk manja ke Chicco Jerikho), pilu-pilu bak teriris sembilu kala menjadi saksi atas perjuangan Ibu Yulia dalam menghidupi keluarganya usai ditinggal minggat sang suami, hingga senyam-senyum karena rasa manis romantis di penyelesaian masalahnya sehingga membuat penonton memaklumi segala kekacauan yang diperbuat Rumi-Yulia sepanjang durasi mengalun. Bagus!

Outstanding (4/5)

5 comments:

  1. Mungkin saya yg tdk terbiasa dgn cara bercerita Garin Nugroho yg seenak2 nya dia ...saya radah kecewa dgn film ini cerita nya serba tanggung menurut saya baik di sisi keluarga nya maupun romance nya...bahkan cara dialog bak puisi membuat khamstry mereka terasa aneh malah saya lebih menikmati gambar yg hadir penuh warna dan pas dgn zaman 90 an

    ReplyDelete
  2. Itu bacanya "ah" Apa A-A-ce-Ha ? bingung.. haha :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apa pula itu A-A-ce-Ha? Hahaha. Dibacanya 'ah' dengan desahan yang panjang ya. *kabur*

      Delete
  3. Dibacanya Aaaahhh *nada Pevita*

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch