February 1, 2016

REVIEW : SURAT DARI PRAHA


“Tidak ada tempat untuk disesali. Kalaupun ada, saya menyesal sudah mengecewakan ibumu.” 

Ketidakelokan kualitas sederet film Indonesia berlatar negeri orang memang berpotensi menyebabkan khalayak ramai jera terhadap film sejenis. Kekhawatiran bahwa Surat Dari Praha akan berakhir seperti yang sudah-sudah – dalam artian, sekadar menjual panorama untuk memanjakan mata – pun sempat membayangi diri ini. Satu hal yang membuat saya percaya film ini tidak akan bernasib serupa adalah keberadaan Angga Dwimas Sasongko di balik kemudi. Bisa dibilang sebagai salah satu sutradara terbaik di Indonesia saat ini, Angga telah mencetuskan tiga karya hebat dari Hari Untuk Amanda, berlanjut ke Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (membawa pulang Piala Citra untuk Film Terbaik), serta paling anyar adalah Filosofi Kopi. Dengan hanya tinggal menunggu waktu untuk berkata, “In Angga, we trust”, apa yang mungkin salah dari Surat Dari Praha? Dan kenyataannya, kelahiran Surat Dari Praha bisa dikata merupakan momen paling tepat untuk akhirnya berseru keras “yes, Angga did it again!” karena ini adalah sebuah surat cinta yang terajut begitu indah, romantis, sekaligus menyimpan kepiluan mendalam. 

Kenangan terakhir Larasati (Julie Estelle) bersama sang ibunda, Sulastri (Widyawati), adalah pertikaian. Larasati merongrong Sulastri untuk meminjamkan sertifikat rumah untuk keperluan pribadi. Belum sempat permintaan Laras terkabulkan, belum sempat pula keduanya berdamai, Sulastri berpulang. Dalam wasiatnya dia menyatakan bahwa rumah miliknya diserahkan ke putri semata wayangnya tersebut. Hanya saja, ada satu syarat yang harus dipenuhi Laras sebelum menerima warisan. Dia dititahkan bertolak ke Praha untuk menyerahkan sebuah kotak dan sepucuk surat ke Jaya (Tio Pakusadewo), mantan eksil politik yang terdampar di Praha sebagai tukang bersih-bersih menyusul keputusannya menolak Orde Baru. Perjumpaan Laras dengan Jaya untuk pertama kalinya tidak berlangsung mulus terlebih masing-masing masih menyimpan luka dari masa lalu. Dipicu oleh satu peristiwa naas, Jaya pun mau tak mau menerima keberadaan Laras di apartemennya. Selama keduanya hidup berdampingan yang perlahan tapi pasti menciptakan hubungan tak biasa inilah baik Laras maupun Jaya belajar untuk memaafkan, mengikhlaskan, dan berdamai dengan masa lalu. 

Kita memang sudah tidak perlu lagi meragukan kemampuan bermain peran dari seorang Tio Pakusadewo. Tapi keahliannya dalam menyelami suatu karakter menunjukkan kelasnya tersendiri dalam Surat Dari Praha. Melalui pancaran mata, air muka, serta lontaran kalimat-kalimat kala berucap, penonton dapat mendeteksi adanya kesedihan berlarat-larat, kemarahan, maupun kesepian dalam diri Jaya. Yup, he’s that good. Adegan di permulaan film kala Jaya memberi pelukan erat pada anjing kesayangannya, Bagong, seraya berkata lirih “Sulastri seda (Sulastri meninggal)” begitu mendengar kabar cinta sejatinya telah tiada memberi tonjokan keras pada emosi. Tenggorokkan serasa tercekat, hati berdesir, sedangkan mata mulai berkaca-kaca. Kita pun lantas mafhum dengan caranya yang agak kasar memperlakukan Laras, meski tak bisa dihindari ada pula sedikit kejengkelan menyertai yang belakangan sepenuhnya sirna tatkala kita mengetahui alasan sesungguhnya dibalik penolakannya terhadap keberadaan Laras beserta sepucuk surat yang dibawanya dari Indonesia. Sosok menyebalkan itu perlahan tapi pasti mulai mendapatkan cinta dari penonton. 

Kegemilangan Tio dalam menginterpretasikan perannya ini ditunjang pula oleh rekan-rekannya. Julie Estelle tidak kelihatan kagok saat ‘dipaksa’ adu argumentasi melawan Tio memperdebatkan tentang kehancuran rumah tangga, cinta, sampai komunis, begitu pula ketika dia mulai menunjukkan tanda-tanda menyayangi (atau iba?) kepada pria tua yang sebagian besar usianya diisi kemuraman. Duet Larasati-Jaya membawakan tembang Nyali Terakhir diiringi dentingan piano merupakan salah satu momen terbaik dari film. Begitu manis dan syahdu. Jelas, Julie Estelle mengalami kenaikan kelas disini. Bersama Tio, keduanya mempertontonkan chemistry jempolan sehingga kita pun bisa merasa dekat dengan mereka. Bisa merasakan pula kepedihan-kepedihan, kekecewaan-kekecewaan, yang mereka rasakan. Butuh tissue? Mungkin belum sampai kamu berjumpa lagi dengan Widyawati. Kemunculannya di Surat Dari Praha memang hanya sekilas lalu, tapi dampak yang diberikannya luar biasa membekas. Beliau adalah aktris paling bertanggung jawab atas basahnya pelupuk mata penonton di penghujung film yang merobek hati. Beliau adalah sumbu ledak bagi Surat Dari Praha

Kekuatan Surat Dari Praha tak semata-mata bersumber dari jajaran pemain. Karya terbaik dari Angga Dwimas Sasongko sejauh ini (ya, bahkan lebih bagus ketimbang Hari Untuk Amanda dan Cahaya Dari Timur: Beta Maluku yang memukau itu, setidaknya bagi saya) juga unggul dari sisi pengisahan yang begitu mencengkram erat pula jitu menyisipkan elemen sejarah pada platonic love story-nya, lalu penataan gambar yang menawan dengan latar sudut-sudut Praha mampu berbicara banyak daripada hanya sekadar dimanfaatkan sebagai penghias, dan tentunya, sumbangan lagu-lagu kepunyaan Glenn Fredly – seperti Sabda Rindu, Untuk Sebuah Nama, Menanti Arah, dan Nyali Terakhir – yang penempatannya tepat sasaran sehingga meniupkan jiwa bagi film. Tersusun atas kombinasi-kombinasi maut tersebut, sinema Indonesia telah menemukan kontender kuatnya untuk film terbaik 2016 melalui Surat Dari Praha. Buagus!

Outstanding (4/5)



19 comments:

  1. Dari review nya kayaknya menarik patuh di tonton juga ini...:D

    ReplyDelete
  2. For Your Consideration:
    Indonesian Movie Awards 2016, Festival Film Indonesia 2016, Piala Maya 2016 (and any other Film Awards)

    Best Picture: Surat Dari Praha
    Best Achievement in Directing: Angga Dwimas Sasongko
    Best Actor in a Leading Role: Tio Pakusadewo
    Best Actress in a Leading Role: Julie Estelle
    Best Actress in a Supporting Role: Widyawati
    Best Writing, Screenplay Written Directly for the Screen: M. Irfan Ramli
    Best Music (Original Song): Sabda Rindu
    Best Music (Original Score): Glenn Fredly20

    ReplyDelete
    Replies
    1. @ardnas20: Noted, Cak.

      Cukup yakin sih paling nggak Tio bakal dilirik berbagai penghargaan film di akhir tahun, kecuali di 10 bulan ke depan banyak yang jauh lebih bagus.

      Delete
  3. belum nonton, tapi kemarin baca "versi cerpen" nya karya seorang dosen >_<
    film ini dituding menjiplak karya beliau, tetapi kayaknya jalan ceritanya beda ya, judulnya aja yang sama persis >_<

    ReplyDelete
    Replies
    1. ^ Nah, kebetulan saya sudah membaca cerpen tersebut. Selain kesamaan judul, tidak ada lagi yang benar-benar sama persis. Bahkan konfliknya jauh berbeda. Serius. Aneh jika disebut menjiplak dan lucunya, dulu juga ada buku berjudul Letters from Prague.

      Delete
  4. Saya suka sekali dengan reviewnya, bener2 sempurna dan indah seperti filmnya��!
    Saya termasuk orang yang jarang nonton film indonesia, awalnya saya nonton karena ngefans sama julie estelle, dan setelah menonton, bener2 ga nyangka kalo filmnya sekeren ini. Mungkin ini adalah film Indonesia terbaik yg saya tonton:). Sutradara,cast,script,semuanya top! Lagu2nya juga��. Bener2 film yang sangat cantik n nyaris sempurna. Semoga film ini mendapat apresiasi yg pantas dari masyarakat:)

    ReplyDelete
  5. Waduh, waduh. Makasih buanyak lho, Winda. Jadi terharu bacanya *ambil tissue, buang ingus*

    Dan yup, Surat Dari Praha adalah salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Nyaris sempurna di segala aspeknya terutama kejelian dalam memilih dan menempatkan lagu-lagu pengiring.

    ReplyDelete
  6. tadinya saya mau nonton ini tapi sayang nya sdh gak tayang lagi di bioskop biasa saya nonton sdh tergeser oleh film talak 3

    ReplyDelete
  7. konflik cerita tensinya diawal cerita saja,mnjelang akhir sudah adem ayem.seger ngeliatin julie estellenya,hehe,sayangnya disini diputernya sebentar banget

    sinematografinya sangat bagus disini,pncahayaannya pas banget klo saya lihat,.

    btw masih bingung sama endingnya,.jadi relationship laras sama pak jaya apa? ayah-anak apa????

    ReplyDelete
    Replies
    1. @bayu: kalau soal endingnya sih tergantung interpretasi penonton. Bebas suka-suka. Mau diartiin sebagai hubungan ayah-anak, boleh. Mau diartiin sebagai hubungan istimewa antara dua orang kesepian juga monggo. Disesuaikan selera saja. Hahaha.

      Delete
  8. Entah kenapa film ini agak mengingatkan saya Three Colors yg Blue dan Red, haha.
    Untuk ukuran Indonesia, Surat dari Praha bagus sih, tapi saya masih merasa filmnya agak nanggung. Saya ngerasa dinamika karakternya masih kurang kohesif.

    ReplyDelete
    Replies
    1. @keziarhh: lebih ngingetin ke Once sih, kalau saya, dan ternyata memang salah satu inspirasi sutradaranya dari film itu.

      makasih ya udah berbagi pendapat soal film ini.

      Delete
  9. sepi mungkin karena penonton indonesia gak gtu demen sama film 'kaya' kayak gini...

    demennya yang lebay2 bombay ada embel2 featuring JKT48 ato seksi2 dada silikon sama paha2 cherrybelle...

    Sayang yah... Film bagus ditawarkan sama penonton doyan sinetron yah gini nasibnya

    ---------------------------------------------------------

    Pecinta Bola Gabung di Sini

    Nonton Bola Makin Seru Sama Kita

    Prediksi Sporting Gijon VS Barcelona 18 Februari 2016

    Prediksi AS Roma VS Real Madrid 18 Februari 2016

    Prediksi Wuzburger Kickers VS Preussen Munster 19 Februari 2016

    Prediksi Anderlecht VS Olympiacos 19 Februari 2016

    Prediksi Saint Etienne VS Basel 19 Februari 2016

    Prediksi Sparta Praha VS Krasnodar 19 Februari 2016

    Prediksi Sporting Lisbon VS Bayer Leverkusen 19 Februari 2016

    ReplyDelete
  10. Maas maf mau tanya, apa mas masih ada novel suratdari praha? Tlong info ya mass terimaksihh

    ReplyDelete

Mobile Edition
By Blogger Touch